Mohon tunggu...
Didin Zainudin
Didin Zainudin Mohon Tunggu... Freelancer - Didin manusia biasa yang maunya berkarya yang gak biasa.

mencoba memberi manfaat dan inspirasi bagi kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kesurupan 4 Setan

1 November 2023   20:49 Diperbarui: 2 November 2023   10:31 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Kalo kamu sekarang pergi ke Situ gunung, ada tanjakan berbelok yang cukup tajam tanjakannya, menjelang sampai ke Situ gunung, sebelah kanan nya ada sebuah tempat kemping namanya Cinumpang. Jaman Situ Gunung masih susah dijangkau, karena aksesnya gak sebagus sekarang, juga gak sekeren sekarang, tempat yang paling banyak di kunjungi orang terutama mereka yang hobinya kemping, ya Cinumpang. Hari itu Jumat kebetulan hari libur nasional. Lupa hari apa, yang jelas kami semua memang gak ada jadwal kuliah.

Kami berenam hari itu jalan ke Sukabumi, dengan tujuan ke Cinumpang. Sebagai anak muda (pada jamannya) kami memang hobi jalan. Entah itu piknik bawa mobil sendiri atau naik omprengan. Jalan rame-rame memang menyenangkan. Hari itu kami berenam, 3 cowok dan 3 cewek naik mobil omprengan ke arah pasar Cisaat. Turun dari situ kami ganti angkot yang lebih kecil. Berenam dengan tas ransel masing-masing, rasanya sudah bikin sesak mobil angkot tersebut. Untung abang angkotnya baik, gak pake ngetem lagi, begitu kami naik angkot gak lama langsung jalan. Hari sudah mulai siang. Terus terang tadi memang berangkatnya agak kesiangan. Janjinya jam 5.30 harus sudah ngumpul, jam 06.00 satu per satu baru bisa ngumpul. Belum ini - ina - itu, nyiapin tenda, sleeping bag, dan tetek bengeknya, jadinya berangkat jam 7 lewat lah. Ah, begitulah kalo jalan berame-rame. Ada aja yang ngaret. Ada aja yang lelet, slow motion.  Yah nikmatin aja.

Tibalah kami di tempat kemping di Cinumpang. Tempatnya sangat asri banyak pohon-pohon pinus dan pohon-pohon yang lain. Karena ini memang hutan. Ada sungai yang membelah area perkemahan. Tempat kemping sudah penuh oleh tenda-tenda. Karena memang bukan kami doang yang mau kemping ternyata. Karena kami sampainya udah kesiangan, kami akhirnya kebagian tempat yang agak jauh dari tenda orang-orang. Agak terpisah dari area tenda orang-orang. Berdampingan dengan delta sungai (tikungan sungai). Dimas, gw dan Arya mendirikan tenda. 3 cewek-cewek membantu menyiapkan perangkat tendanya. Membantu seadanya dan sebisanya.

Belum selesai tenda kami berdiri, Dimas sudah melipir main gitar di pinggir kali. Gak lama suara Azan dhuhur dari masjid kampung yang kelihatannya jauh dari tempat kemping kami berkumandang. Bunyinya kadang sayup-sayup dan kadang jelas. Arya gak peduli dengan azan. Dia masih tetap asyik gitaran. Gak lama lewat seorang ibu paruh baya, dengan topi caping yang lebar. Dia sepertinya pemetik teh yang ada gak jauh dari sini. Ibu itu terlibat berbicara dengan Dimas. Entah apa yang diomongin. Gw ngelihatin sambil benerin tali tenda ke pasak. Ujung-ujung nya ternyata ibu itu minta uang ke Dimas. Bukannya ngasih berapa kek, eh malah dicuekin oleh Dimas. Dimas kembali main gitar. Mengetahui dirinya dicuekin, ibu bercaping tadi menggerutu, marah. Dimas hanya mendengar dia mengomel dalam bahasa Sunda, dengan nada yang keras. Ekspresi mukanya kelihatan, dia kesel sama kami semua. Ibu itu berjalan meninggalkan kami, sesekali menengok ke arah Dimas dan kami dengan muka kesal.

Tenda akhirnya berdiri. Tenda cowok dan cewek berdampingan. Di depannya ada kali yang air nya mengalir cukup lancar. Gemericik air yang tertahan, bukan oleh sampah, tapi oleh batu kali yang menyumbul menghalangi aliran air. Ditengah kami sedang merapikan bawaan kami ke dalam tenda, tiba-tiba Dilla ngomel-ngomel: "Eh, ini perasaan rokok baru gw buka, kok kayak udah berkurang 5 batang?  Sumpah gw baru isep satu? Siapa yang ambil yah?" tanya Dilla heran ke arah kami. Eh, jangan nuduh kami ya? Emang siapa yang doyan Super? Cuma lo doang kali." Arya meladeni omelan Dilla. "Dicomot setan kali?" jawab Dimas, ngasal. Keributan itu akhirnya berlalu begitu saja. 

Gak ada acara special hari itu. Kami menyiapkan makan siang. Bekal yang sudah kami siapkan dari rumah. Kita masak air buat minum kopi atau teh panas. Kami berenam memang sudah berteman sejak SMA. Gw termasuk kakak kelas mereka. Yang paling kecil diantara rombongan kami adalah Leni. Dia baru kelas 1 SMA. Dia mau ikut karena diajak kakaknya Dila, yang sudah kuliah. Kebetulan Dilla satu kampus dengan kami. Kami memang anak kuliahan baru. Baru semester 2. Kecuali gw yang sudah semester 7. Karena paling senior, jadinya gw dianggap sebagai yang dituakan dalam grup ini. Banyak hal yang mereka selalu minta pertimbangan gw.  

Malam sudah mulai merambat. Bintang-bintang di langit sudah mulai menampakkan diri satu persatu. Malam itu memang gak ada bulan. Jadi langit dengan taburan bintang lebih terlihat. Dimas memainkan gitar nya. Vina, Dila dan Leni ikut bernyanyi-nyanyi. Kadang antara suara petikan gitar dan vocal saling bersalipan, gak akur. Maklum bukan penyanyi professional. Leni hanya sesekali nyanyi. Sadar mungkin vokalnya sering gak pas. Untung kami semua suka bercanda. Jadi suasana cair-cair aja. Gak ada yang protes kalo suaranya fales. Ditengah seru-serunya nyanyi, Leni mau buang air kecil. Gw yang sedang menikmati rokok sambil duduk di depan tenda, menegur Leni yang akan melewati kami. "Mau kemana Le?" Panggilan akrab dia memang cuma Le. "Mau buang air kecil bang," jawab Leni sopan. "Eh, Jangan sendirian atuh. Biar diantar sama Arya aja. Ya, Arya..! Gw memanggil Arya setengah teriak. "Tolong, anter Leni nih. Dia mau buang air kecil." Arya bergegas berdiri. Dia tinggalkan gelas kopinya yang baru dia hirup.

"Giliran yang manis-manis aja, langsung gercep deh lo." Timpal gw melihat reaksi Arya.

Leni sempet menolak diantar. Tapi gw bilang, "gak papa Le, biar diantar Arya aja. Takut ada apa-apa".

"Memang ada apa bang?"

"Paling cuma kunti yang liat!" kata Leni sambil tertawa kecil.

"Ngaco lo" jawab Arya. "Udah buruan jalan".

Gw duduk sendiri di dekat tenda mengahadap sungai yang gelap. Sesekali pantulan cahaya dari tenda kami memantul di gemericik air sungai. Bosen nyanyi, Dimas ngeluarin kartu gaplek. Gw berempat main gaplek. Yang kalah bakal diolesin bedak purol milik Vina. Di tengah-tengah kami lagi seru-serunya main gaplek, gw melihat ada sinar lewat. Ada sinar api seperti meteor melintas, jatuh tidak jauh dari tenda kami. Jatuh dibalik semak-semak. Entah apa itu. Gw tidak menghiraukan. Temen-temen yang main gaplek gak ada yang lihat apalagi peduli. Gw yang melihat sekilas, akhirnya tidak menghiraukan. Gak lama Leni dan Arya sudah kembali. Mereka akhirnya ikut join dengan keseruan gaplek.

Malam sudah semakin gelap. Jam di tangan gw menunjukkan 00.30. Kami sudah kecapekan semua. Satu persatu sudah masuk kedalam tendanya buat tidur. Malam cukup dingin. Tapi jaket sudah cukup buat mengahangatkan badan. Malam itu kami sepakat tidur bergantian, buat jaga tenda kami. Terutama buat cowok. Tiap 2 jam kami gantian tidur. Arya kebagian jaga duluan. Ditemani kopi dan rokok, Arya jaga di depan tenda cewek. Dia sambil memainkan gitar, melantunkan lagu-lagu slow, seolah seperti mengantar tidur kami. Petikan gitar Arya dengan lagu-lagu mellow nya membuat gw jadi terlelap.

Perasaan baru tidur beberapa menit. Kami tiba-tiba terbangun. Ada kehebohan di tenda cewek. Ada suara teriakan Leni, memecah keheningan malam. "Arrrggghhh....! Arrrghhh!!!" Arrrghhh!!!"... Gw segera terjaga. Suaranya seperti cewek yang kesakitan dan ketakutan. Perasaan gw gak enak. "jangan-jangan ada pelecehan seksual oleh Arya nih" batin gw. Gw masih tergolek di dalem sleeping bag. "Ah.. Arya bikin ulah apalagi nih sama cewek-cewek." Gw masih berprasangka buruk pada Arya. Bergegas gw keluar tenda. Dimas menyusul di belakang gw. Kami melihat Arya menahan tangan Leni. Sementara Leni meronta-ronta. "Arya Ada apa?" Gw bertanya ke  Arya. "Kenapa Leni?" Sambil tetap menahan tangan Leni yang terus meronta-ronta, Arya menjawab. "Dia mau mencekik gw Rud! Gak tahu kenapa?" Leni masih berteriak-teriak. "Aaarggghh...! Aaarggghh...! Aaarggghh...!!! Gw mendekati Leni. Matanya sesekali melotot. "Len!! Len!! Gw tepuk-tepuk pipinya. Gw bacain istighfar tiga kali. Alfatihah sekali. Biarpun gak sholat tapi gw masih bisa baca istighfar, Alfatihah, Al Ikhlas dan surat pendek lain. Masih melekat ajaran guru ngaji dan nyokap gw waktu kecil dulu. Pas SMA aja semuanya buyar.

Tenaga Leni akhirnya mulai mereda. Arya melepas tangan Leni. Vina dan Dilla, kakak Leni juga udah diluar. Mereka ketakutan. Gw berusaha menenangkan keadaan. Arya cerita, ketika dia duduk sambil gitaran di depan tenda cewek, dia merasa ada orang yang ngelihatin dia dari belakang. Tapi ketika dia menengok ketiga anak cewek ini tertidur pulas. Jadi akhirnya Arya tak menghiraukannya. Tapi gak lama, sosok yang menatapnya dari dalam tenda ini muncul lagi. Arya ini memang bisa merasakan kehadiran makhluk-makhluk halus. Dia agak indigo. Cuma gak terlalu tajam. Kepekaannya kadang-kadang aja muncul. Terutama kalo sosoknya (setannya) kuat. "Nah gw kan penasaran. Gw lihat 3 anak cewek ini satu persatu di dalam tenda. Mereka masih tidur pulas. Gw tatap mukanya satu-satu. Cuma muka Leni ini berbeda. Mukanya jadi jelek banget. Gw kaget banget, langsung mundur gw. Ah mungkin karena gw kecapekan atau karena lampu yang temaram. Jadi pandangan gw agak ngawur. Gw akhirnya keluar tenda lagi. Gitaran lagi. Nah gak lama, gw merasakan ada tangan yang perlahan-lahan akan mencekik gw. Pas gw nengok, Bener. Ternyata Leni sudah di depan muka gw dan tangannya siap mencekik gw. Makanya langsung gw tahan tangannya.

Gak lama, Leni menggeram lagi, Aaargghhhhh!!!... Matanya mulai melotot. Sekarang tenaganya gak sekuat yang tadi. Kami khawatir banget. Anak-anak cewek ketakutan dan menjauh. Takut dicakar kata mereka.  

"Leni kemasukan setan ini. Entah makhluk halus apa yang ada di dalam tubuh Leni. "Gw minta tolong ke penduduk kampung dulu ya. Kamu jagain Leni. Dimas, Vina temenin Arya ya. Gw sama Dila jalan ke rumah penduduk". Diantara 3 anak cewek ini, Dila termasuk yang paling sering naik gunung. Jadi kalo jalan doang nurunin bukit sih enteng. Jarak rumah penduduk cukup jauh ke bawah. Kami berjalan bergegas. Jalanan cukup terang dengan senter kami. Untung tadi pagi udah sempet ganti baterai everedy. Dila agak tersengal-sengal nafasnya karena mengimbangi jalan gw yang melangkah agak cepat. Kadang setengah berlari sih. Gw akhirnya menghentikan langkah. Di bawah sudah ada rumah-rumah penduduk kampung. Jaraknya masih 200 an meter lagi.  "Rumah mana yang akan kita ketuk ya?" Gw berpikir. Semua pintu tertutup rapat. Ah, gimana nih? Mau bangunin orang satu persatu. Takut menganggu. Gw jadi ragu. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 02.00. Kayaknya semua orang juga sedang terlelap, meringkuk dibalik selimut atau sarung yang hangat. Diluar udara memang cukup dingin. Ditengah keraguan itu, gw inget, tidak jauh dari tenda kami kira-kira 500 meteran, kan ada warung, yang kelihatannya orangnya tinggal disitu. Kenapa gak kesitu aja ya? Kenapa gak minta tolong ke dia aja ya. Akhirnya kami berbalik arah, berjalan bergegas ke arah warung tersebut. Setelah melewati jalanan yang naik dan turun sampai lah kami di warung yang kami maksud.

Benar aja, warung itu ternyata masih buka. Hanya pintu saja yang terbuka setengah. Cuma menandakan bahwa warung masih tetap buka. Tapi yang punya warung ternyata sedang meringkuk tidur di kursi. Kami mencoba memanggil-manggil pemilik warung. "Pakk...! permisi pakkk...!!" "Pakk...! permisi pakkk...!!" Volume suara aku tinggikan. Berharap dia segera bangun. Panggilan kelima barulah si bapak yang yang meringkuk dari balik sarung muncul. Mukanya seperti menahan kantuk yang berat. Matanya masih setengah terbuka. "Iya mas..!" sahut bapak warung lirih, sambil mengumpulkan nyawanya yang terbang saat dia tertidur. "Ehmm... pak mau minta tolong. Teman saya kesurupan! Ada yang bisa bantu gak ya?" Bapak itu gak menjawab. Dia beranjak dari duduknya, berjalan pelan ke arah sebuah meja. Langkahnya gontai, bunyi sandal diseret menandakan, langkahnya memang berat banget. Dia membungkuk ke arah meja warung di depannya. "Buk..! bu..! Bangun...!" Ini ada yang kesurupan!" Tak butuh waktu yang lama, ibu itu kebangun. Dari balik meja yang ternyata menjadi tempat tidurnya itu muncul seorang ibu paruh baya. Dia membetulkan rambutnya yang acak-acakan. Mengucir rambutya sekenanya, sembari berdiri dia betulkan letak kain sarungnya. Ibu ini berjaket dan berkain sarung. "Siapa?" Tanya ibu itu pada suaminya. "Ini, anak-anak kemping ini, temennya kesurupan." Sahut suaminya. "Oooh..." ibu itu menjawab dengan enteng, nyaris tanpa ekspresi. Kaget pun, tidak dia. Dia menatap kami sebentar.

Tanpa aba-aba, Ibu itu berjalan keluar dari warungnya. Kami mengikutinya dari belakang. Ibu itu gak bilang bisa mengatasi kesurupan atau gak. Setelah menanyakan lokasi tenda kami, dia langsung gercep aja, mau nolongin. Langkah ibu ini juga terbilang cepat. Gw aja keteteran mengimbangi langkahnya, apalagi Dila. Tak berapa lama kami sampai di tenda kami. Leni masih meronta-ronta lagi. Arya masih berusaha menenangkannya. Ibu itu langsung menghampiri Leni. Ibu itu mengambil alih tugas Arya. Ibu itu sambil memegangi pundak Leni mulai menenangkannya.  Ibu itu sekarang ngomong bahasa Sunda ke Leni. Gak tahu ngomong apa. Leni sudah pasti gak paham juga Bahasa Sunda, karena dia asli Jakarta. Bapaknya asli Jakarta, ibunya Palembang. Sudah pasti Bahasa Sunda diluar kebisaannya. Tapi ibu paruh baya ini ternyata sedang ngomong ke penghuni yang ada di dalam tubuh Leni. Ibu ini seperti melakukan negosiasi ke setan yang di dalam tubuh Leni. Semua disampaikan dalam Bahasa Sunda, yang jelas kami gak ngerti sama sekali. Tapi dari gerakannya ibu itu sedang mengusir setan yang masuk di dalam tubuh Leni. Ibu ini beberapa kali ngomong "Indit, indit sia!!". Belakangan kami tahu, "indit sia!" ternyata artinya minggat kamu, pergi kamu. Setelah 30 menitan negosisasi, Leni akhirnya tersadar. Setan yang ada di tubuh Leni sudah pergi. Leni masih lemas. Kami memberinya minuman air hangat. Dia gak tahu, kenapa kok rame-rame. Kenapa temen-temennya dan ibu paruh baya ini mengelilingi nya. Leni masih lemas.

Ibu ini mengenalkan diri, ia bernama ibu Sumi. Dia pemilik warung. Dia sudah sering nolongin orang-orang yang kesurupan, terutama anak-anak yang lagi kemping. "Dik, kalian jangan kemping disini, pindah ke bawah aja. Disini gak aman". Ibu Sumi memberi saran ke kami. Posisi tenda kami tidak aman menurut dia. Dekat dengan markas setan. Kami kaget dengan keterangan bu Sumi. Samar-samar melihat wajah bu Sumi, gw merasa pernah melihat. Kapan dan dimana ya? Kami menuruti apa kata bu Sumi. Malam itu juga kami kemasi tenda, dan memindahkannya di dekat warung bu Sumi, supaya lebih aman. Bu Sumi gak lama meninggalkan kami, kembali ke warung nya. Sebelumnya gw sempat kasih uang buat tanda terimakasih kami.

Dimas cerita ke gw,  bu Sumi itu ibu yang tadi siang bertopi caping, yang marah-marah karena gak dikasih uang. Oiya, gw baru inget. Tadi sembari membenarkan tenda yang baru terpasang, gw memang sempat melihat keributan antara ibu bercaping dan Dimas yang lagi gitaran. Tapi karena keributannya sudah berlalu gw gak menghiraukannya lagi.

Dini hari itu juga tenda kami kemasi. Tenda akhirnya berdiri tidak jauh dari warung bu Sumi. Biar aman. Kalo ada apa-apa minta tolongnya dekat. Leni dan 2 anak cewek meneruskan tidurnya. Sebenarnya sudah jam empat an pagi. Kami rencananya memang mau sampai hari Minggu kempingnya. Jadi masih 2 hari lagi. Tapi melihat situsasi begini, kayaknya kami memutuskan untuk pulang saja. Takut ada apa-apa.

Gw cuma tidur-tiduran aja di dalam tenda. Gak bisa tidur sebenarnya. Tapi untunglah kehebohan dan kericuhan semalam sudah berlalu. Semua sudah kembali normal. Siang nanti pulang. Gw keluar tenda. Dimas dan Arya sedang bikin mie instan. Pas banget. Gw memang sedang laper. Apalagi semalam lari-larian ke rumah penduduk, balik lagi ke warung bu Sumi, cukup menguras tenaga. Arya cerita, semalam waktu dia penasaran ada sosok yang melihat dia di dalam tenda cewek. "Nah ketika gw ngelihat muka Leni dari jarak dekat, gw ngelihat muka Leni berubah jadi jelek banget. Mirip muka tengkorak. Matanya hitam, seperti bolong. Hidung bolong, Giginya gak ada gusinya. Pokoknya serem banget. Arya kaget setengah mati. Dia langsung keluar tenda. Dan ketika negosiasi antara bu Sumi dan Kunti (setan di dalam tubuh Leni). Ternyata si Kunti mau keluar asal dicium sama Arya. Itu permintaan langsung si Kunti yang disampaikan ke bu Sumi. Dengan terpaksa gw cium Leni. "Anjingg... bau banget mulutnya. Gw cuma cium pipi aja", tukas Arya. Hahahahaha... kami tertawa. "Kalo dalam keadaan normal, suruh nyium Leni siapa yang nolak. Gadis manis begitu". "Berarti memang Kunti nya naksir ke lo Ya" kata Dimas, sambil menyendok mie instan ke dalam mangkok. "Kenapa gak nempel ke lo aja ya? Salah sasaran kali si Kunti?" sambung Dimas lagi. "Hush, jangan ngomong sembarangan ah" gw memotong omongan Dimas.

"Eh, makan Super mie gak ajak-ajak"...  Oiya, dulu mie instan yang populer bukan Indomie tapi Supermie. Dila, kakaknya Leni keluar dari dalam tenda. Gak lama Leni dan Vina juga keluar tenda. Mungkin aroma mie instan ini yang memancing mereka jadi bangun. "Habis makan nanti kita kemas-kemas ya, kita putusin pulang siang ini". "Ok semua kan?" gw menegaskan kepada semua teman-teman, mumpung sudah ngumpul semua. Semua nya menikmati mi dengan lahap. Kelihatannya memang peristiwa semalam membuat semuanya jadi kelaparan. Eh, tapi memang udah pagi ding ternyata. Udah jam 07.00 pagi. Habis makan, kami rokokan dulu. Dila tiba-tiba ngomel-ngomel, "perasaan rokok gw kok cepet habis ya? Siapa yang nyuri rokok gw ya?" Tanya Dila kepada kami keheranan. "Eh, emang siapa disini yang doyan Djarum Super, kecuali lo. Gw sama Arya Samsu. Dimas GG. Kagak ada yang doyan Super. Lo kali, lagi boros ngerokoknya.

"Sumpah Rud, gw kan ngerokok kan cuma habis makan, atau mau be-ol. Selain itu nggak. Jarang banget maksudnya". Auk ah... Ya udah, biarin aja deh. Sahut Dilla lagi kesal.  "Di rokok ama setan kali", jawab Dimas sekenanya. "Lo kali setannya...?" Sambar Arya.

Jam 12an kita udah siap-siap meninggalkan tempat kemping. Masih-masing sudah membawa tas ranselnya. Ransel gw dan Arya yang paling berat. Karena memang isinya tenda. Kami sempat pamitan ke bu Sumi dan suaminya sebelum pulang. Kami jalan menyusuri jalanan setapak menuju arah jalan raya. Suasana sudah cair. Semua sudah ceria kembali. Gak ada yang ketakutan lagi. Dimas sempat bercandain ke Leni." Len, ati-ati lo, setannya masih  nempel di ransel. Minta digendong" Leni cuma tersenyum aja. Dimas dan yang lainnya tertawa. Arya malah menimpali, "mending gw aja yang gendong Leni, setannya biar lo yang gendong Dim". Hahahahahaha... Arya gak kalah seru menimpali gurauan Dimas. "Ya, setuju-setuju..." sahut Vina. Kami berjalan beriringan. Menyusuri jalan setapak yang cukup dilintasi oleh 1 orang atau 1 motor. Tak terasa kami sudah sampai di jalan raya. Masih jalan kampung ding, maksudnya sudah keluar dari gerbang Cinumpang. Kami menaiki mobil angkot/omprengan ke pasar Cisaat. 

Dulu kalo kemping-kemping begini jarang foto-fotoan. Paling mewah bawa tustel dengan isi film cuma 36 slides. Kalo mau film yang murah pakenya Sakura. Kalo yang bagusan bisa pake Fuji Film atau Kodak. Kami gak banyak foto-foto. Kamera poket yang gw bawa juga sisaan dari hajatan akikah anaknya kakak gw. Cuma sisa 10 slides. Lumayan kami sempet foto-fotoan di tempat kemping tadi. "Rud, lo bawa in pasak tenda ya...!" Ini gw bawa tas nya Leni. Dia mulai lemes banget katanya." Pinta Arya sambil mencolek gw. Gw ngelihat ekspresi Leni yang masih lemas. Karena dia anggota geng kemping yang paling muda, jadi kami memakluminya. Gak lama kami sudah sampai di pinggir jalan di pasar Cisaat. Kami menurunkan barang-barang.

Kami menunggu bis yang menuju Bogor dipinggir jalan. Tas-tas yang berat aku sususn di pinggir jalan. Ransel yang ringan kita panggul di punggung. Teman-teman menunggu di pinggir jalan. Arya, Dimas, Gw dan Dila, sambil menunggu bis, ngisep sebat dulu. Merokok itu temen yang baik dan menenangkan. Leni dan Vina hanya duduk di kursi kayu milik pedagang, yang gerobaknya sedang tutup. Leni sesekali berdiri, terus duduk lagi. Kadang dia berdiri melihat bis yang tak kunjung datang, tapi duduk lagi. Gw berjalan mendekati Leni. Tiba-tiba Leni berdiri mengibas-ngibaskan tangannya ke arah tengkuk nya. Seperti ada lalat atau tawon di lehernya. Tapi gak ada apa-apa yang kita lihat. Leni kemudian berlari menyebrang jalan. Sambil tanganya tetap mengibas-ngibaskan ke arah belakang tengkuknya. Kita semua terkaget. Lennnn...!!! Gw langsung teriak hendak menarik dia.  Takut kalo ada mobil atau motor yang nyelonong dan menabrak Leni. Untung Leni selamat sampai di sebrang jalan. "Leniiii..!!" kita teriakin dari sebrang jalan, tapi dia gak peduli. Aku akhirnya berlari menyebarang jalan, menjemput Leni.

Len, kenapa? Kita kan arah bis nya kesana,  ngapain nyebrang? Takutnya dia linglung. Leni tidak menjawab. Dia membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu. Ekspresi dan gerakannya kadang malah mirip monyet. Arya menyusul gw. Dia melihat gerakan aneh ini, langsung membisiki ke gw. "Kesurupan lagi dia".

"Waduhh..." Kan kemarin udah kesurupannya? Sahut gw asal.

Leni tiba-tiba lemas. "Arya, bantu gw, itu ada masjid kita bawa ke situ aja". Kebetulan gak jauh dari situ ada masjid. Leni kita papah berjalan menuju masjid. Leni kita dudukkan di lantai masjid. Ternyata di situ sedang ada pengajian ibu-ibu. Kayaknya pengajian RT. Karena jumlahnya hanya 15 -- 20 an orang. Melihat kedatangan kami, yang kelihatannya sedang kesusahan, ibu-ibu itu jadi kepo. Tepatnya sih empati. "Kenapa mas temennya?" Leni hanya diam aja. Matanya sesekali melotot. "Kesurupan bu..."  Sahut gw sambil menolong Leni memposisikan kakinya yang selonjor di lantai masjid. "Eh, coba minta tolong pak ustad ya, siapa tahu bisa bantu." Beberapa ibu-ibu yang lain menyiapkan minum air putih buat Leni. Leni menolak. Dia sesekali membuat gerakan seperti orang gagu. Suara yang keluar seperti orang cadel. Pokoknya aneh banget. Kadang mengamuk dengan suara cadel. Semua dalam Bahasa sunda yang cadel. Bahasa sunda dengan suara yang bener aja kita gak paham, apalagi cadel. Tambah liuer... Babaliyeut pokoknya.

Pak Ustad yang dimaksud ibu-ibu itu akhirnya datang. Dia memang sedang mengisi pengajian ibu-ibu. Pengajiannya akhirnya bubar. Semua jamaahnya mengerubuti Leni dan kami. Waduh jadi ngerepotin orang banyak nih. Arya aku minta dampingin Leni. Gw mau jemput temen-temen, biar ngumpul disini semua. Jadilah gw menjemput teman-teman yang masih ada di sebrang jalan. Gw berdua Dimas harus gotong-gotong tas tenda dan ransel-ransel kita sendiri. Kami akhirnya ngumpul di masjid. Entah nama masjidnya apa. Yang jelas dia di dekat pasar Cisaat, gak jauh dari pinggir jalan. Ustad tadi ternyata sedang berkomunikasi dengan Leni. Ternyata ada 4 setan di dalam tubuhnya Leni. Pak Ustad nanya ke kita, emang habis dari mana? Kami ceritakan bahwa kami habis kemping di Cinumpang. "Ooo... disitu ada bu Sumi, tukang warung, yang suka main klenik. Kalo kurang ajar sama dia  suka dikerjain. Beberapa ibu-ibu juga mengingatkan kami untuk hati-hati dengan ibu warung tersebut. Harus baik-bikin, gak boleh kasar atau kurang ajar sama dia. Nanti pasti kenapa-kenapa. Hati gw langsung, deg! Waduuhh...!! Apa ini gara-gara Dimas yang cuekin ibu Sumi ya? Jadi sekarang semuanya kena imbas.   

Si setan cadel yang ada di dalam tubuh Leni, minta kopi hitam. Cara ngomong setan cadel juga aneh. Dia sering menjulurkan lidah nya setiap ngomong. Jadi makin gak jelas lah ngomong apa nih setan. Bayangin setiap satu suku kata dia menjulurkan lidah. Untung pak Ustad yang bisa komunikasi dengan setan mengerti maksudnya. Salah satu ibu pengajian dengan sigap, pesenin kopi di warung. Gak lama kopi panas datang. Langsung disodorin ke  Leni. Kopi hitam pahit yang panas. Melihat kopi panas datang, setannya melet-melet. Gak pake ditiup-tiup dulu, seperti normalnya orang minum kopi panas. Langsung tenggak aja. Glek, glek, glek. 3- 4 kali tenggakan langsung ludes, tandas itu kopi.

Habis itu setan yang lain minta juga. Kali ini setan gagu. Dengan gerakan mirip-mirip monyet dia minta rokok. Disodorin rokok Gudang garam punya pak ustad, dia nolak. Maunya Super. "Aum Uper", kata setan, eh Leni maksudnya. Ustadnya yang menjelaskan ke kami, bahwa setannya minta rokok jarum super. Gw langsung kepikiran Dila. Dia lah si perokok Super. Segera gw samperin dia.

Gw minta rokok super ke Dila. Sebungkus langsung gw samber setelah Dila menyodorkan rokoknya ke gw. "Eh, sebatang aja Rud, jangan semuanya!!" Teriak Dila, yang udah gw tinggalin. Rokoknya langsung  gw sodorin ke pak Ustad. Dia yang menjadi penyambung komunikasi antara setan di tubuh Leni dengan kami. Tidak seberapa lama, setannya udah ngerokok. Bukan sebatang. Tapi lima batang sekaligus.  Gw pastiin yang ngerokok itu bukan Leni. Karena dia gak suka ngerokok dan ngopi pahit. Cara setannya ini ngerokok juga aneh. Seperti cuma dihembus-hembuskan dari mulut. "Ngerokok yang bener dong, dihisep, masukkin hidung". Dimas berkata ke arah Leni. Eh setannya ngejawab, "Gak punya hidung, Tuh, tanya temenmu yang pernah lihat muka gw, setannya sambil nunjuk ke arah Arya. Ibu-ibu yang mengerubutin Leni kontan menoleh ke arah Arya. Yang diliatin pura-pura sibuk ngerapihin tas ranselnya. Gw baru nyadar, tadi pagi Arya cerita detil muka setannya. Yang matanya bolong hitam, hidungnya bolong hitam, giginya gak ada gusinya. Kotor dan bau banget. Yang bisa ngelihat dan ngerasain itu semua ya cuma Arya.

Permintaan setan gak berhenti disitu. Setan yang lainnya minta ayam Cemani hidup. Dia mau minum darahnya. Yang ini agak mengerikan permintaannya. Nyusahin lagi. Gak tahu lagi ini setan yang mana. Suaranya yang jelas berbeda dari yang 2 sebelumnya. Ada dimana nyari ayam cemani.  Berapa juga harganya. Mana duit tinggal 100 ribu buat ongkos pulang. Kita udah pasrah. Pak Ustad menyarankan untuk kembali ke warung bu Sumi. Dia punya ayam cemani. "Waduhh!!" kami terkaget. Balik lagi kayaknya jauh deh, dan itu makan waktu lama. Kasihan juga si Leni. Setelah nego dengan setannya beberapa kali. Akhirnya disepakati, setannya mau ayam bakar utuh. Nah, kalo ini di sekitar pasar Cisaat, ada.  

Dimas dan Vina yang akhirnya kebagian nyari ayam bakar. Mereka sempat diberi petunjuk oleh salah satu ibu pengajian, lokasi pedagangnya. Tak berapa lama, datanglah Vina dan Dimas dengan bungkusan ayam bakar utuh. Mirip ingkung. Yang ditusuk dari bagian brutu (pantat) sampai ke leher nya. Setelah disodorkan ke Leni, dengan lahap dia langsung lumat ayam bakar itu sampai habis. Tak ada tulang yang tersisa. Semua di makan, ludes. Yang tersisa hanya batang bambu yang dipakai buat nusuk ayamnya. Gak biasanya Leni rakus gitu. Dia mah si pemilih makanan. Gak semua makanan dia doyan. Kalaupun doyan porsi makannya gak banyak.  Jadi fix, yang makan itu ya setan.

Leni sudah kelelahan. Matanya masih sesekali melotot. Mulutnya sering keluar suara-suara aneh. Pak Ustad hanya bisa komunikasi dengan setan di dalam tubuh Leni. Dari tadi diusir, tapi setannya masih betah di dalam. Proses negosiasi ini sudah hampir 2 jam. Gw khawatir kalau Leni pingsan. Bisa lebih gawat. Kerumunan orang sedikit berkurang. Tapi masih rame. Gak lama ada seorang pria turun dari bis, berjalan ke arah kami. Pria, bapak-bapak muda, cukup bersih, berbaju batik. Dia menanyakan kepada pak Ustad. Ternyata keduanya saling kenal. Pak Ustad memanggil pria berbatik tersebut dengan sebutan "pak Guru." "Ada apa ini pak ustad?" kata pak guru keheranan. "Kesurupan pak guru," sahut pak ustad. "Nah mumpung ada pak guru nih, siapa tahu bisa membantu." Tolongin nih pak," pak Ustad mempersilahkan pak guru mengambil alih tugasnya. Karena pak ustad tidak berhasil mengusir setan di dalam tubuh Leni.  "Beliau ini punya ilmu tenaga dalam. Selain kepala sekolah, beliau juga guru silat," pak Ustad menjelaskan kepada kami. Kami tersenyum, sambil berharap. Pak guru, kemudian mendekat ke arah Leni. Dia mengucapkan istighfar 3  kali, kemudian komat-kamit dalam Bahasa Sunda di deket kuping Leni. Tangan kanan pak ustad memegang ubun-ubun Leni. Gak sampai lima menit, satu persatu setan yang ada di dalam tubuh Leni keluar. Setiap ada yang keluar, tangan pak ustad mengibas ke arah luar. Seperti mengusir angin. Gerakan seperti itu, berulang beberapa kali. Yang keluar pertama setan cadel, setan gagu, setan hidung bolong, dan terakhir kuntilanak yang semalam merasuk di Leni masih nempel juga ternyata.

Akhirnya keempat setan yang merasuki tubuh Leni, tuntas keluar semua. Terakhir jempol kaki Leni dipencet/dipijet oleh pak guru. Buat mengunci, supaya gak gampang kesurupan lagi. Leni tersadar. Dia kelelahan. Kami berikan minum air putih. Aku lihat, lidah nya gak terbakar karena minum kopi panas tadi. Alhamdulillah... semua setannya udah keluar. Ibu-ibu yang sedari tadi mengerubungi kami juga kompakan berucap, Alhamdulillah... Pak guru terakhir titip pesan ke kami, "kalau di gunung jangan manggil-manggil setan, atau ngomongin setan. Juga harus bersikap sopan dengan alam dan orang-orang di sekitar gunung. Jangan ngalamun, dan selalu berpikir posiitif. Jaga diri baik-baik ya."

Kami lega semuanya sudah kembali normal. Kami sangat berterimakasih pada pak guru, dan pak ustad. Perjalanan masih jauh. Kami masih harus meneruskan perjalanan ke Bogor dan Jakarta. Hari sudah makin sore. Temen-temen cewek trauma dengan peristiwa ini. Perjalanan pulang berjalan lancar. Kami akhirnya sampai Jakarta dengan selamat. Hari sudah jam 10 an malam. Bis sudah gak ada, angkot juga jarang. Kami gak ada yang mau pulang ke rumah sendiri. Terpaksa mereka ngumpul di rumah gw. Kami tidur jadi satu. Untungnya kamar gw cukup lega. Kami sempet bersih-bersih badan, dan mandi sebelum rebahan di kasur. Gak ada bercanda-canda atau obrolan sebelum tidur, semua sudah kecapekan. Satu persatu akhirnya kami tepar, tertidur pulas.  Bener-bener kemping terhoror dan terempong yang pernah gw alamin.

Depok, November 2023

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun