Setiap Manusia Memiliki Persoalan
Dengan Dirinya
Puisi bagiku lebih sebagai sebuah catatan kehidupan. Kehidupan adalah interaksi antara diriku dengan keadaan dan kenyataan alam, yang aku simak melalui rasa dan pikir, yang bersandarkan "kelemahan/ketakberdayaan" sebagai manusia.Â
Puisi adalah juga cermin bagiku untuk melihat apakah diriku telah sebagaimana yang aku tulis?Â
Apakah rasa (amarah dan segala macam perilaku) dan pikiranku (sikap dan semua penilaianku) telah mampu mengakomodasi semua "ilham" yang aku peroleh dan kutulis menjadi sebuah puisi, lalu kujadikan keduanya itu sebagaimana "ilham" yang kuperoleh.
Menulis puisi, bagiku, adalah menulis realitas hidup yang aku simak dan hayati sepenuhnya.Â
Menulis puisi, bagiku, merupakan catatan-catatan realitas yang telah mendapat respon sesungguhnya dari rasa dan pikiranku.Â
Menulis puisi, bagiku, adalah juga sebuah sikap, perlawanan, terhadap sebuah realitas yang tidak sesuai dengan hakikat dan kebenaran hidup yang sesungguhnya.
Puisi-puisi yang terdapat dalam Kumpulan Puisi "Hanya Melihat Hanya Mengagumi" ini kutulis sejak tahun 1990 sampai
sekarang, adalah puisi-puisi yang mengisahkan tentang realitas hidup yang terjadi di tempat mana aku hidup, puisi-puisi tentang
perjalanan batin-spiritualku, tentang sikapku, sebagai seorang manusia (yang teramat lemah dan tak berdaya) dalam memandang dan menyikapi hidup dan agamaku.Â
Hampir seluruh puisi-puisi yang kutulis terhimpun dalam buku ini.
Sebagai penyair tidak terkenal, tentu ada rasa takut untuk menyatakan apa yang kutulis ini disebut sebagai puisi.Â
Ketakutan itu telah lama ada dalam batin-pikiranku.Â
Namun, dari beberapa peristiwa sastra, puisi-puisi yang kutulis ternyata dapat diterima dan masuk juga dalam beberapa buku antologi puisi bersama penyair-penyair lain, dan termuat juga dalam beberapa koran yang menyediakan halaman sastra.
Dari peristiwa-peristiwa seperti itu timbul keberanian untuk menerbitkan buku kumpulan puisi yang memuat puisi-puisi yang saya tulis selama ini.Â
Tujuan utamanya ialah bagaimana puisi-puisi itu dapat terdokumentasi dengan baik, dan tentu dapat menjadi bacaan dan ingatan bagi anak-anak saya nantinya.Â
Namun, keinginan untuk menerbitkan buku kumpulan puisi sendiri terkendala dengan biaya percetakan dan untuk diterbitkan oleh penerbit terkenal, tentu belum mendapat tempat yang layak.
Entah bagaimana, ternyata Allah memberi jalan terbaik kepada saya, Kakanda Ali Djauhari, orang Aceh Singkil yang telah
lama tinggal di Jakarta, dan saya kenal melalui media sosial Facebook, menyatakan bersedia membantu biaya untuk menerbitkan puisi-puisi saya ini.Â
Bantuan lain datang dari sahabat asal Minang, Riri Satria.Â
Seperti mendapat durian runtuh, dengan rasa haru dan bangga, bantuan dari Kakanda Ali Djauhari dan Riri Satria saya sikapi dengan menghubungi Adinda Mustafa Ismail.
Kepada Mustafa Ismail, yang mengelola penerbit Imaji, saya mintakan kesediaannya mencetak dan menerbitkan buku kumpulan puisi ini.Â
Gayung bersambut, Penerbit Imaji, melalui Mustafa Ismail, bersedia menerbitkan buku "Hanya Melihat Hanya Mengagumi" ini dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang ada, dengan rasa syukur tak terhingga, kepada Kakanda Ali Djauhari dan Riri Satria, saya aturkan rasa terima kasih atas kesediaan membantu biaya penerbitan buku ini. Kepada Adinda Mustafa Ismail dan Penerbit Imaji, saya aturkan terima kasih atas kesediaan menerbitkan puisi-puisi ini. Semoga keberadaan buku puisi ini dapat memberi arti bagi kita semua dan bagi kehidupan ini. Amiin.
Banda Aceh, 1 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H