Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - tamat smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sebuah Episode Kontekstual

20 Agustus 2024   07:40 Diperbarui: 20 Agustus 2024   07:41 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah Episode Kontekstual

selamat malam politisi
angin yang menggiring awan menutup bulan
adalah angin menggigil sukma merapatkan kemeja
segala yang pernah diucapkan di mana tersimpan

selamat malam mahasiswa
hujan memberi isyarat dari kelopak mata yang sembab
kenangan telah kehilangan ingatan
kapal menggigil dipelabuhan

selamat malam penyair
tenggorokan hanya angin yang lembab,
menyekap suara mata pena menganga perlahan berkarat

kuceritakan sebuah kisah
negeri yang pernah jaya
pemimpinnya adil taat beragama
rakyatnya rajin tekun beribadah
teguh bersatu mencipta kedamaian
satu sakit yang lain menjerit

lama berganti tahun berjalan
bermula peristiwa kesalahpahaman
lalu tercipta paham perselisihan
terpendam lama dalam perasaan
akhirnya mengoyak darah bertumpahan
perpecahan menjalar dimana-mana

persaingan menjadi modal utama
kecemburuan menghebat serta menggila
menjadi siksa dan malapetaka
genderang perang berdentam bertalu-talu
kematian menjerit bersahut-sahut
prahara menjelma hingga kehulu
 
dikota kehidupan seperti biasa
hanya beberapa siap berjaga-jaga
menghadang bencana yang mungkin ada
menikam mereka dalam istana
nafsu dan kata saling berlomba
maju menyerang menghantam semua

brahim tewas ditengah sawahnya
mae ambruk dikedai kopinya
rusli diculik tengah malam buta
sisiti menjadi seorang janda
sesepi kuburan desa jadinya
lenguh kerbau jadi peningkahnya

saksikan orang-orang berkuasa
bicara hak dan kemerdekaan
tetap menghajar yang tak berdaya
tragedi berdarah terjadi juga
nafsu ambisi menjadi kuasa
fitnah berlanjut penangkapan biasa

penembakan silih berganti
membanjir darah jadi erosi
jiwa dan raga telah tergari
tanpa pas jalan nyawa pun bisa pergi
sering aku bertanya-tanya tentang hal ini
apa yang terpikirkan bagi pemimpin negeri

saksikan tragedi berdarah dilayar kaca
sambil mencicip gula-gula
atau merancang sebuah rencana
pembangunan desa jadikan kota
para pemiliknya entah di mana
sambil menguras harta yang ada
 
hutan dan rimba disikat saja
padi dan pala turun harganya
cengkeh dan kelapa tiada artinya
keadilan hanya sebuah kata
kebebasan hanya dimulut saja
hak asasi berganti dengan hilang nyawa

kita juga berpikir seperti mereka
berbicara tanpa perbuatan nyata
bak singa mengaum dalam penjara
angin bulan menggigilkan jiwa
kebebasan kepak elang dalam belanga
jiwa tertindas entah untuk berapa lama

kemerdekaan milik semua duhai manusia
hanya tertulis didinding istana
keadilan miliki semua duhai manusia
hanya terucap dalam upacara
anginnya mendemamkan jiwa
kehidupan manusia jadi tak berharga

selamat malam politisi
semangat telah gugur
selamat malam mahasiswa
angin telah padam
selamat malam penyair
hati terbakar hangus

aku pergi menuju kelam
disini harapan telah tiada
hanya kenangan yang menyiksa

Banda Aceh, 1996

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun