Sajak Tak Bernama
apa yang tersisa bagi kita
sementara segala ruang terpenuhi
semua waktu terlewati dan sia-sia
ketika kita menatanya menjadi sistem-sistem
menjadi alat-alat, menjadi benda-benda
kita pun terlena, lupa diri
bahwa semua terbalik, menghantam diri sendiri
tiap sudut, menyudutkan diri
membakar dan merejam jiwa kita
baiklah, sejenak kita istirahat merebah diri
di sudut pesta mereguk wisky dan membayangkan
hidup adalah kepura-puraan,
tapi setelah itu, seusai pesta
kita berbondong-bondong berlari
berebutan kembali mengejar masa lalu dan impian ciptaan kitaÂ
dengan sisa aroma pesta, dengan tawa terbahak-bahak
tergaris sebuah puisi tentang kesia-siaan di wajah kita
tentang harapan, impian, dan masa lalu yang terlupakan
setiap saat kita berbincang
perdebatkan bahkan
dalam mimpi tapi
nasib tetap sama: kekecewaan
baiklah, lantas kita berdansa sampai pagi
sampai seluruh lelah bersatu melupakan penderitaan
(apa yang kita tangkap dari keheningan malam,
ketika kesepian menyelimuti batin kita, ah kesia-siaan)
betapa terasing kita ditengah kesepian
betapa memperdaya kita suara batin
dan percaya bahwa pikir mampu mengusir dusta
dan percaya bahwa rasa dapat mengobat luka
manusia telah melupakan masa lalu
sebab menganggap menakutkan
sejarah adalah cerita
masa lalu adalah permainan
setiap permainan harus berakhir
tapi permainan hidup
telah diseret pada permainan gundu
gasing dan layang-layang
apa yang tersisa bagi kita?
Banda Aceh, 1990
Â