Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - Penyair, penulis esai dan sutradara drama

Senang melihat orang lain senang Susah melihat orang lain susah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hati, Jambu dan Durian

16 Juli 2024   19:30 Diperbarui: 16 Juli 2024   19:34 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Orang bijak itu seharusnya bisa dan mau melihat kenyataan yang ada pada orang lain, baik tentang kesalahan maupun kebenaran yang ada padanya. Orang bijak itu juga harus bisa dan mau melihat kenyataan yang ada pada dirinya, baik tentang kebenaran maupun kesalahan yang dimilikinya itu. Begitulah semestinya posisi seorang yang bijak bestari.

Sebenarnya inti dari itu semua adalah bersikap adil. Kehidupan ini membutuhkan banyak sekali orang-orang yang bisa dan mau bersikap adil. Adil kepada diri sendiri, maupun adil kepada orang lain. Karena keadilan merupakan dasar utama dari niat seseorang. Keadilan sangat menentukan apakah kehidupan bisa menjadi (lebih) baik, atau bahkan menciptakan kekacauan yang luar biasa. Keadilan bukan hanya milik Allah, tapi keadilan seharusnya (wajib) ditegakkan oleh setiap manusia.

Pemimpin, masyarakat biasa, pemuka agama, pemuka adat, tokoh pemuda, politisi, cendekiawan, ilmuan, pengemis, anak-anak, lelaki dan perempuan, kakek-nenek, siapapun dianya wajib menegakkan keadilan pada dirinya.

Konon Allah menciptakan kehidupan ini, semua makhluk, berdasarkan keadilan. Perjalanan planet di ruang angkasa, terlaksana dengan baik karena keadilan. Tetumbuhan diciptakan Allah karena untuk keadilan. Margasatwa yang hidup sebagaimana yang terjadi adalah berdasarkan keadilan.

Para Malaikat dan Jin diciptakan Allah karena keadilan. Dan manusia adalah makhluk yang utama diamanahkan untukmenjalankan keadilan. Dalam pandangan agama, sikap adil menentukan tentang baik-buruknya seseorang itu.

Seseorang yang bisa adil adalah ketika di mana dirinya tidak ingin memiliki sesuatu, baik yang menjadi hak maupun milik orang lain. Orang yang suka hidup sederhana, bersyukur dengan apa yang ada padanya, merupakan orang yang menjunjung tinggi hakekat keadilan. Mungkin itu pula mengapa Rasulullah SAW. tidak ingin hidup dengan kemewahan, meski hal itu mudah untuk Beliau dapatkan.

Kesederhanaan hidup Rasulullah SAW, di mana Beliau sering hidup dengan hari ini makan dan besoknya tidak makan, tidak pernah menyimpan uang di malam hari, memberikan makanannya kepada orang lain, di mana Beliau sendiri belum makan apapun, merupakan sikap yang tidak hanya terpuji tapi juga mengisyaratkan bahwa keadilan itu akan terjadi dengan sikap hidup seperti yang Beliau contohkan.

Lalu apakah kita yang mengaku sebagai pengikut ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. itu telah benar-benar menjalankan apa yang telah Beliau ajarkan? Lalu apakah ajaran yang kita lakukan itu telah juga dengan benar kita laksanakan sebagaimana yang Beliau contohkan? Terutama sikap hidup

Beliau yang amat sederhana, bila diperbandingkan dengan cara pandang sekuler, kehidupan Beliau dinilai sama dengan sikap hidup orang-orang melarat. Subhanallah.

Tahukah kita, pernahkah kita meluangkan waktu agak sejenak untuk merenungi dengan sungguh-sungguh apa sebenarnya yang terkandung dari sikap hidup sederhana, sebagaimana yang Beliau contohkan itu? Apakah sikap hidup itu menandakan bahwa manusia hidup mestilah bersusah-susah, menderita, melarat, kelaparan, hidup adalah lembah airmata?

Kita lalu bersikap bahwa kita adalah manusia biasa, yang dengan sungguh-sungguh kita yakini diri, kita mestilah hidup dengan senang, boleh memiliki harta yang berlimpah, atau setidaknya hidup sederhana, tidak kelaparan. Karena kita telah direcoki oleh semangat bahwa manusia juga dibolehkan untuk menjadi kaya-raya.

Dalam sebuah buku berjudul “Kiamat”, maaf penulis lupa siapa pengarangnya, ada satu bab yang membahas bagaimana sebenarnya manusia mendengarkan sebuah musik. Di situ disimpulkan bahwa tidak setiap manusia dapat mendengarkan sebuah musik, terutama musik-musik yang membangkitkan birahi, yang dapat menggoda hati untuk cenderung berbuat maksiat, terutama dari khayalan birahi yang dimunculkan musik dimaksud. Disebutkan bahwa tingkatan iman seseorang menentukan musik yang bagaimana selayaknya didengarkan. Semakin tinggi tingkatan nilai keimanan seseorang, maka dia dapat mendengarkan musik-musik yang dapat menggoda birahi.

Bertolak dari cara pandang seperti ini, tidak setiap manusia boleh menjadi kaya-raya, tentulah tergantung dari setinggi mana nilai keimanan yang ada padanya. Apabila nilai keimanan seseorang itu masih rendah dan dia memiliki kekayaan yang berlimpah, hal ini sangat dicemaskan, orang tersebut cenderung akan berbuat kezaliman, sombong, angkuh dan riya.

Sebab, dengan harta yang banyak akan menimbulkan godaan yang banyak pula. Contoh untuk ini pernah terjadi terhadap Qarun. Karena keimanan Qarun masih lemah, dan ketika dirinya mendapat harta yang berlimpah, justeru yang terjadi Qarun telah “lupa diri terlambung tinggi” seperti ungkapan syair Chairil Anwar. Qarun bahkan menjadi serakah, ingin memiliki semua harta dengan sebanyak-banyaknya. Dan dengan begitu timbul pula keinginan untuk menjadi Tuhan.

Hal serupa juga terjadi pada Midas, tokoh dalam mitologi Yunani, yang berkeinginan menjadi kaya, dan ketika semua benda dan bahkan makanan yang dipegangnya berubah menjadi emas, barulah dirinya menyadari tentang keserakahan yang ada padanya.

Manusia adalah makhluk yang merugi, ini ditegaskan Allah didalam Al-Qur’an. Maksud sederhana dari ayat ini ialah manusia adalah makhluk yang suka sombong, cenderung lupa diri, karena manusia adalah makhluk yang lemah.

Namun, kelemahan manusia ini sebenarnya bisa diperkuat dengan nilai-nilai keimanan yang terus-menerus ditingkatkan. Dan untuk meningkatkan nilai keimanan ini tentulah mesti mengikuti sikap hidup Rasullullah SAW. Karena Beliau telah mengetahui bagaimana sebenarnya bahaya yang ditimbulkan dengan harta yang melimpah. Dan Beliau sudah memahami bagaimana sebenarnya manusia hidup dengan sederhana.

Dari sikap Beliau yang Al Amin, suka menolong, berbaik hati, jujur, amanah, tahu diri, semestinya kita juga menyadari bahwa sikap hidup yang Beliau contohkan itu dapat menyelamatkan manusia dari bahaya besar, yakni keangkuhan.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang berlimpah dengan kekayaan, suka memiliki harta yang banyak, dapat menjalankan amanah untuk bersikap adil, untuk mensejahterakan rakyatnya? Mustahil pemimpin seperti ini mampu menjalankan amanah dengan sebenarnya. Apalagi bila keimanan pemimpin itu masih sangatlah lemah.

Jangankan pemimpin seperti itu, seorang yang memiliki keimanan yang tinggi juga sering terjerembab dalam keserakahan. Kita banyak melihat pemuka-pemuka agama yang cenderung korup, menyelewengkan amanah, karena tidak mampu melawan godaan yang begitu besar.

Kemewahan dapat membuat manusia lupa diri. Manusia yang hidupnya senantiasa “berumah diatas angin” seperti ditulis WS Rendra, adalah manusia yang tidak pernah mau tahu dengan panasnya terik matahari.

Harta yang memiliki sedikit manfaat, dapat kita umpamakan seperti buah jambu air. Buah jambu air ini berbuah sangat banyak, rasanya manis, warnanya mengundang selera, tapi hanya sedikit yang dimanfaatkan oleh manusia. Selebihnya jatuh berserakan membusuk dan bahkan ada yang dipijak-pijak manusia.

Begitulah kalau harta yang dimiliki bagi manusia-manusia kikir. Sedikit yang bisa dimanfaatkan orang lain. Kalau memberi sedekah hanya sekedar uang recehan seribu, atau paling banyak sepuluh ribu rupiah.

Lain pula kalau harta yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain, seperti manfaat buah durian, berduri, berkulit tebal, memiliki isi yang rasanya sangat nikmat, tapi apabila dimakan terlalu banyak akan mengundang penyakit kolesterol tinggi.

Batang jambu air dan batang durian justeru tidak pernah mau memiliki apalagi memakan buah yang dihasilkannya itu. Kesemua buah-buah itu hanya dipersembahkan bagi makhluk lain.

Demikianlah hendaknya manusia dalam memiliki harta, bermanfaat bagi orang banyak, dan kalau perlu tidak sedikitpun mau memakan hartanya itu. Hal seperti inilah barangkali yang dilakukan Rasulullah SAW. semua harta dan bahkan makanannya diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Sehingga tidak mengherankan apabila Beliau hanya mewarisi harta sepetak tanah yang telah diwakafkan, seekor unta, dan sebilah pedang. Padahal Beliau juga memilki isteri dan anak.

Untuk itu, setiap pemimpin, setiap manusia, apapun status sosialnya, mestilah menjaga hati agar tidak terjerembab kedalam keangkuhan dan keserakahan. Hati yang segempal tangan, seperti Sabda Rasul, menentukan nasib seseorang dan orang lain yang dipimpinnya.

Apabila baik hati itu, maka baik pula nasibnya dan nasib orang lain. Apabila sakit hati itu, tentu akan sakit pula nasibnya dan nasib orang lain. Karena hati satu-satunya sarana bagi penentuan takdir setiap manusia di dunia ini. Mari jaga hati dengan selalu bertasbih memuji-Nya, karena sepertinya hanya itu, bertasbih, yang dapat membentengi hati dari berbagai bentuk godaan malapateka.

Dan, pemimpin yang mau dan bisa bersikap adil adalah pemimpin yang senantiasa bertasbih, hidup sebagaimana sikap hidup Rasulullah, karena telah menyadari dengan sesungguhnya bahwa kepergian diri dari dunia (kematian) hanya membawa sehelai kain, yang bernama kafan. Selebihnya ditinggal dan hancur menjadi tanah.

Hanya amal dan ibadah yang dapat mendampingi dan menentukan nasib (setiap) manusia di hari perhitungan nanti. Selamatkan hidup ini dengan hati yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun