Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - tamat smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesenian Aceh dalam UUPA

15 Juli 2024   21:03 Diperbarui: 15 Juli 2024   21:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena Aceh disepakati terdiri dari beragam suku, tentu kebudayaan dan bentuk-bentuk keseniannya berbeda pula. Namun, apakah keragaman budaya dan kesenian yang telah dipersatukan itu lantas disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh?

Selama ini beragam kebudayaan dan kesenian itu dipahami dengan sebuah nama yakni Aceh. Kebudayaan dan kesenian yang beragam itu disebut saja sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh. Pemahaman seperti ini dipengaruhi oleh pemahaman secara politik dan hukum.

Berbagai suku yang tersebar di wilayah politik dan hukum Aceh otomatis disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Aceh.

Pemahaman seperti ini tidak menjadi permasalahan, karena masyarakat Aceh tidak mempersoalkannya. Tetapi, penamaan yang seragam itu sebenarnya dapat merugikan identitas kebudayaan dan kesenian yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri.

Lebih terhormat bila kita mengembalikan penamaan itu sesuai dengan latar belakang dari masing-masing kebudayaan dan kesenian yang ada. Untuk penamaan kebudayaan kita sebut saja dia sebagai kebudayaan Aceh, Gayo/Alas, Kluet, Jamee, dsb.

Sementara untuk penamaan kesenian sudah sesuai dengan nama dari masing-masing bentuk kesenian itu sendiri.

Mengapa untuk penamaan terhadap kebudayaan itu dikembalikan pada identitas semula? Karena hakekat sebuah kebudayaan merupakan kesepakatan bersama dari kaum/suku itu sendiri, baik berdasarkan garis keturunan/asal-usul, bahasa, adat. Sehingga antara satu dengan suku lainnya terdapat perbedaan yang nyata. Inilah identitas yang semestinya kita hormati. Dia telah ada sebelum kesepakatan politik dan hukum itu lahir.

Apabila keseragaman penamaan disepakati karena alasan politik dan hukum, tentu saja hal itu perlu dipertimbangkan kembali. Kita tentu tidak ingin politik dan hukum dapat mengatasi kebudayaan dan kesenian, dan bahkan menjadi penguasa yang layak dituruti. Justeru sikap seperti ini tidak mencirikan sebuah peradaban yang tinggi dan terhormat. Kita tentu tidak ingin hidup ini diatur oleh kekuasaan pemikiran yang hanya mementingkan poitik semata. 

Sama halnya ketika Indonesia dengan gagap menyebut semua identitas kebudayaan dan kesenian masing-masing daerah sebagai kebudayaan dan kesenian Indonesia. Dicarikan argumentasi agar penamaan itu dapat dianggap legal. Salah satunya adalah dengan menyatakan bahwa puncak-puncak kebudayaan dan kesenian daerah dapat disebut sebagai kebudayaan dan kesenian Indonesia. Sementara kita tidak pernah diberi pengetahuan mana yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan dan kesenian daerah itu.

Dengan semangat UUPA kita berharap kesalahan yang dilakukan Indonesia tidak terulang di Aceh. Untuk hal hukum dan politik kita sepakat beragam identitas yang ada ini disebut sebagai Aceh. Tapi untuk kebudayaan dan kesenian kembalikan saja penamaan itu pada masing-masing identitasnya. Karena memang nama itu telah lama ada. Dia sudah merupakan harga diri dan kebanggaan dari masing-masing warganya.

Apabila kita ingin juga melahirkan sebuah kebudayaan yang bernama Aceh, mungkin dapat dimulai dengan sebuah penelitian, misalnya apakah tata cara perkawinan dari masing-masing identitas itu, terutama yang prinsip dan nilainya sama, dapat dipersatukan dan menjadi sebuah nama yakni Aceh?   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun