Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - hanya tamatan smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kesenian dalam Pemerintahan Aceh

15 Juli 2024   19:48 Diperbarui: 15 Juli 2024   20:06 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Lalu bagaimana dengan seniman pencipta tenun sutera itu? Apakah dianya hidup layak dari hasil tenun sutera itu. Tidak ada jawaban, karena tidak ada data dan penelitian. Dan karena kemerosotan politik, kesenian menjadi terabaikan. Terabaikan bukan tidak lagi diciptakan dan dipergunakan sesuai kebutuhan, namun, mutu dari karya seni itu yang tidak tergarap secara mendalam, sebagaimana sebuah karya seni mengalami proses perenungan senimannya.

Dengan begitu dan melihat kondisi selama ini, kesenian bagi penguasa di Aceh tidak lebih sebagai gengsi, upacara ritual dan sarana penyampaian pesan-pesan moral dan keagamaan. Kesenian benar-benar difungsikan semata sebagai sebuah alat. Alat untuk status (sanggar-sanggar pendopo), untuk hiburan (semata memperoleh uang), dan untuk penyampaian. Dan ketika krisis politik (perang) terjadi, kesenian dijadikan alat pengalihan emosional dan sebagai penglipurlara saat bencana tsunami melanda Aceh.

Haram

Kesenian yang baik tidak hanya memberi penyegaran kepada masyarakat penonton, tapi juga memberi pencerahan dan pencerdasan. Keseimbangan pilar-pilar logika dengan etika dan estetika mestilah menjadi perhatian serius bagi setiap seniman.

Kesenian yang mempertimbangkan pilar-pilar logika, etika dan estetika yang semestinya diberikan kepada masyarakat. Sehingga dapat membantu pemerintah dalam memajukan masyarakat sebagai manusia yang berkepribadian. Akan tetapi kesenian seperti yang diharapkan itu sedikit sekali tercipta, itupun tidak diminati (dipahami) masyarakat, karena memang persepsi masyarakat terhadap seni semata sebagai hiburan.

Bila masyarakat membangun pemahamannya atas kesenian sebagai hiburan, dan mereka berkenan mengeluarkan biaya untuk membeli tiket masuk, itu salah satu tujuan dari keberhasilan kesenian di Aceh. Ketika kerajaan Aceh tidak mencampuri urusan kesenian (tidak ada dana kerajaan untuk kesenian), hal itu memang sudah demikian adanya.

Tapi, ketika pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran kesenian (meski anggarannya tidak sebanding dengan persoalan kesenian), sementara kesenian dengan berbagai persoalan yang dihadapi ratusan tahun tidak pernah diakrabi, apalagi diberipeduli, terpuruk di sudut-sudut eforia kemunafikan sambil mengelus-elus penyakit seperti lepra. Inilah yang peru dipertegas kembali dengan pertimbangan-pertimbangan yang bijak.

Sekedar untuk mengingatkan, apabila sesuatu tidak memberi manfaat bagi kehidupan, artinya hanya mudharat ketimbang manfaat, dia dapat dinyatakan berbahaya, dalam bahasa agama, haram hukumnya.

Oleh karena itu, apabila kesenian, dengan berbagai dilema yang dihadapi, tidak memberi manfaat bagi kehidupan, alangkah baik bila Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan fatwa bahwa kesenian itu haram . Wallahualam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun