Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - hanya tamatan smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kesenian dalam Pemerintahan Aceh

15 Juli 2024   19:48 Diperbarui: 15 Juli 2024   20:06 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Namun dari beberapa "kasus" yang pernah muncul seperti kasus Agnes Monica (AM), yang dikatakan telah memakai gerak tari tradisional Aceh sebagai pengiring gerak latar saat AM bernyanyi, mengisyarakatkan tentang siapa sebenarnya pemilik seni (tradisional) Aceh. Ketika itu yang serius menggugat AM adalah seniman-seniman Aceh di Jakarta. Penggugatan yang dilakukan itu memberi kesan bahwa kepemilikan seni tradisional Aceh yang dipakai AM adalah masyarakat Aceh.

Pandangan seperti ini tidak menjadi persoalan bagi masyarakat. Sepertinya masyarakat Aceh setuju saja kalau gugatan itu dilakukan. Dengan begitu, dipahami atau tidak, telah menyatakan bahwa seni tradisional Aceh "milik" masyarakat Aceh.

Kesenian di manapun dia hidup tetaplah milik penciptanya, yakni seniman. Seni-seni tradisional Aceh yang telah dinyatakan sebagai kesenian Aceh, bukanlah milik setiap orang Aceh. Tapi dia hanya sebuah kebanggaan, karena prinsip, nilai dan bentuknya, sebagaimana yang telah disepakati menjadi nilai-nilai keacehan, ada pada kesenian tersebut.

Jadi, tidak siapapun dapat dan diperbolehkan menyatakan bahwa satu atau banyak jenis kesenian pada satu daerah dinyatakan sebagai milik daerah atau masyarakat tersebut, termasuk juga masyarakat Aceh. Sebagai sebuah kebanggan bukan berarti setiap kita dapat dan berhak lebih jauh mengatur tentang eksistensi sebuah karya seni.

Pada masa di mana seseorang tidak berpretensi mengharap imbalan dari sesuatu yang dilakukannya, hasil dari perbuatannya itu tidak pernah diasumsikan orang-orang lainnya sebagai menjadi miliknya juga. Semua menyikapi mana yang menjadi miliknya, mana yang menjadi haknya, dan mana pula yang menjadi kewajiban. Semua berjalan dalam koridor yang aman.

Lalu entah dikarenakan prinsip kebebasan, dalam arti semua orang mempunyai hak, termasuk hak untuk menguasai milik/karya orang lain. Lantas semua orang dengan mudah begitu saja mengklaim bahwa kesenian itu milik masyarakat, dalam berbagai hak yang ada didalamnya. Dan dengan gagah berani menyatakan kepemilikan itu dalam suatu peraturan hukum. Sebuah perampasan resmi oleh kekuasaan terhadap hak cipta seni seorang seniman. Luar biasa, fenomena memilukan.

Dalam suasana pemahaman seperti inilah kesenian Aceh mengalami kezaliman luar biasa yang diprakarsai para penguasa. Secara khusus kesenian Aceh tidak mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintahan Aceh. Baik perlindungan berupa qanun maupun program-program yang terkait dengan persoalan-persoalan kesenian itu sendiri.

Hal ini mengingatkan kita pada Snouck Hougronje dalam bukunya "Aceh Dimata Kolonialis" jilid 2, hal. 67 menulis "secara keseluruhan kita mendapat kesan bahwa jiwa seni orang Aceh belum seberapa berkembang, kecuali pada tenun sutera di mana selera tinggi nampak dalam pewarnaan maupun polanya.

Pada masa kejayaan Raja-raja kota pelabuhan, pergaulan dengan orang asing, dan keinginan para bangsawan untuk bersaing dengan orang lain dalam hal pamer dan kemewahan, menyebabkan masuknya nilai seni untuk sementara, tetapi hal ini cepat menghilang karena kemerosotan politik. Peradaban asing yang pengaruhnya paling lama berlangsung bagi masyarakat Aceh, yakni agama Islam, tidak banyak membantu kebangkitan atau pengembangan nilai artistik".

Masih menurut Snouck Hougronje, kesenian Aceh terdiri atas seni musik, seni sastra, dan seni hiasan. Sedangkan seni tari, seni drama, lukisan, patung, belum ada. Seni musik diperlukan sebagai bagian dari upacara ritual, seperti perkawinan, bayar nazar. Seni sastra seperti hikayat, fabel, hiem, panton, sajak berirama, haba, hadih maja, fiksi/epik, berkembang sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan kisah.

Ada yang menarik dari apa yang ditulis Snouck Hougronje, yakni tentang gengsi. Tenun sutera sebagai karya seni tinggi di Aceh waktu itu, mendapat tempat tempat di hati para bangsawan dikarenakan dapat menjadi sarana pamer dan kemewahan. Tapi tentu apa yang digengsikan itu bukanlah karya seni yang diciptakan bangsawan tersebut. Bangsawan hanya mengambil manfaat daripadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun