Mohon tunggu...
din saja
din saja Mohon Tunggu... Seniman - hanya tamatan smp

suling pun bukan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kesenian dalam Pemerintahan Aceh

15 Juli 2024   19:48 Diperbarui: 15 Juli 2024   20:06 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Seniman dalam pandangan segelap apapun merupakan sosok penting dalam kehidupan. Dia penting tidak hanya karena salah satu asma Allah adalah Jamal (keindahan). Juga dalam kitab suci Al-Qur'an terdapat ayat yang berjudul As-Syu'araa (Penyair). Bahkan dari tiga pilar sebuah negar terdapat satu diantaranya estetika, selain etika dan logika. Begitu pula halnya tiga pilar yang sama terdapat dalam diri setiap manusia dan dalam karya cipta. Namun, apakah sosok penting itu telah benar-benar menjadi penting selama ini di Aceh? Apakah seniman yang sering menjadi sanjungan, idola, harapan, kebanggaan, bagi negerinya, ketika dirinya hadir dengan sambutan yang mengagumkan dari orang-orang di negeri lain, pada sebenarnya memang sosok penting di negeri sendiri?

Pengertian penting di sini tentu tidak saja ketika seniman itu mendapat sambutan karena karya seninya dinilai bagus. Kita bisa melihat bagaimana ketika dulu seorang ceh seudati Syeh Lah Geunta mendapat sambutan luar biasa ketika tampil diberbagai negara Eropa dan Amerika. Setibanya di kampung halaman lantas mendapat penghormatan dan menjadi pembicaraan masyarakat dan kebanggaan pejabat. Ke mana saja Syeh Lah Geunta hadir, selalu menjadi tatapan pandangan mata orang-orang yang melihatnya. Tetapi, benarkah Syeh Lah Geunta, sebagai salah satu contoh dari sekian banyak seniman-seniman yang telah membawa nama baik Aceh dengan karya seni yang diciptakannya, telah benar-benar dipandang penting dalam berkehidupan di Aceh selama ini?

Hal serupa kini juga dialami Rafly, yang mendapat sambutan hangat ketika tampil pada setiap konser musiknya. Sering diundang dalam berbagai kegiatan yang didalamnya terdapat para pejabat, politisi, pengusaha dan orang-orang penting lainnya. Sepertinya mereka (Syeh Lah Geunta, Rafly Kande, (almarhum) Nek Rasyid, Tgk. Adnan PMTOH, Syeh Lah Banggeuna, Hasyim KS, Maskirbi) menjadi sosok penting yang seakan-akan memiliki status yang sama dengan orang-orang penting lainnya. Tetapi, apakah benar mereka itu sosok penting dalam kehidupan ini? Sepenting apakah sosok seniman bagi kehidupan di Aceh ini?

Tak Berdaya

Membaca fenomena kehidupan di Aceh seperti melihat seseorang sedang mereguk secangkir air dari gelombang kepahitan yang teramat menyekat. Setiap tarikan nafas bagaikan kelelahan yang terurai dan menimbun jadi kegamangan. Harapan seperti telah menjadi labirin, menjemukan, menakutkan, bahkan dapat menggoyahkan kepercayaan. Seperti tak nampak ruang kesempatan untuk bergerak dari sebuah himpitan. Semua bagai terseret dan terjebak dalam gelombang yang sama, keputusasaan. Semua yang dipikirkan, diangankan, dikerjakan bagai membangun dengan pasir di tepi pantai, datang ombak sirna tiada bekas. Kehampaan, tak berguna, seperti kepompong kosong.

Nihilisme menakutkan itu telah mulai, tulis Goenawan Mohammad.

Manusia hidup ditakdirkan memiliki pilihan. Dengan pilihan manusia dapat melanjutkan kehidupan. Pilihan dimulai dengan sebuah pertanyaan, lalu dia hadir bagai deret ukur, semakin panjang, dan pada akhirnya bertemu jalan buntu. Manusia ternyata tidak ditakdirkan untuk menentukan pilihannya sendiri. Manusia ditentukan hanya untuk memilih, berusaha meneruskan pilihannya sambil berdoa, semoga apa yang dicita-citakannya itu dapat dikabulkan oleh Sang Takdir.

Begitulah realitas manusia, berada antara keinginan dan kenyataan. Nasibnya bukan ditentukan oleh kehendaknya sendiri. Manusia bukanlah Sang Penguasa sebagaimana yang ditafsir oleh manusia itu sendiri. Itu hanyalah sebuah keinginan, sebuah ambisi.

Sang Tuan

Kalau kita simak lebih seksama apresiasi masyarakat terhadap kesenian Aceh, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwasanya kesenian Aceh, dalam hal ini seni tradisional, milik masyarakat Aceh.  Dalam berbagai perbincangan, diskusi, seminar bahkan kongres yang berbicara tentang kesenian Aceh, hampir semua sepakat menyatakan bahwa seni tradisional itu milik orang Aceh.

Pandangan masyarakat seperti itu tidak menjadi persoalan penting. Umumnya perbincangan lebih kepada bagaimana agar seni (tradisional) Aceh tidak terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh luar, terutama yang dapat merusak nilai-nilai keislaman yang menjadi panutan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun