Mohon tunggu...
Dinoto Indramayu
Dinoto Indramayu Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar, belajar dan belajar....

Setiap saat saya mencoba merangkai kata, beberapa diantaranya dihimpun di : www.segudang-cerita-tua.blogspot.com Sekarang, saya ingin mencoba merambah ke ranah yang lebih luas bersamamu, Kompasiana....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cangkir (1)

17 Maret 2016   09:32 Diperbarui: 17 Maret 2016   09:59 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerita ini saya sadur dari berbagai sumber….

Alkisah, di sebuah perbukitan terpencil di India tinggalah seorang Biksu Zen yang amat sangat terkenal akan penguasaan ilmunya.  Lintas Negara, menembus benua.  Sampai-sampai, seorang ahli Zen yang telah lama bersarang di atas sebuah menara pun mendengarnya.

Semakin hari, makin banyak saja murid-murid ahli Zen itu yang membicarakan kehebatan Sang Biksu.  Memerahlah telinga ahli Zen setiap mendengarnya, meradang dan sangat penasaran untuk menemui orang yang diberitakan sangat hebat itu.

Semakin hari, makin banyaklah orang yang datang ke padanya yang membicarakan kehebatan Sang Biksu, membuat dirinya merasa penasaran dengan ilmu yang dimiliki.

Tanpa sepengetahuan murid-muridnya, beliau terbang ke India.  Menyusuri jalan padat dan perkampungan hingga sampailah di sebuah bukit terjal yang benarr-benar terpencil.  Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali sebuah rumah bambu kecil yang atapnya terbuat dari dedaunan.

“Pasti dia tinggal di sini!”  Pikirnya, tanpa ragu beliau memasuki rumah yang tak berpintu itu. 

Suara ramah seorang lelaki membuatnya makin yankin tidak salah alamat, “Silakan duduk.”

Ahli Zen itu pun duduk melantai berhadapan dengan lelaki tua.  Di hadapan mereka ada sebuah teko dan dua cangkir.  Salah satunya, yang tepat di hadapan tamunya, sudah terisi.  Kepulan asapnya terlihat, hangat rasanya.

“Sungguh hebat orang ini, tahu kalau mau ada tamu yang datang!”  Sekilas terbesit pikiran memuji, tetapi segera dihapus karena dirinya adalah ahli Zen terbaik dan murid berasal dari seluruh penjuru dunia.

Ketika keduanya berhadapan, tanpa diminta oleh Pendeta, ahli Zen menceritakan tentang dirinya yang datang jauh-jauh dari Paman Sam.  

“Saya seorang yang sudah malang-melintang menekuni Zen.  Profesor termuda yang menggeluti kebijakan dan kebajikan Zen dan sudah puluhan tahun mengajarkannya.  Murid-murid saya sudah mencapai ribuan orang yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.”  Katanya mengawali cerita tentang dirinya.

“Tuan adalah orang yang sangat mumpuni, ilmunya sangat tinggi, murid-muridnya banyak dan hebat.  Semuanya luar biasa.  Jadi apalah gunanya belajar dari hamba?”

“Tapi, saya harus belajar dari Pendeta.  Karena menurut murid-murid saya, termasuk orang-orang yang saya kenal.  Semuanya selalu mengunggulkan kehebatan Anda.”

Berbagai prestasi akademik yang diperoleh hinga kehebatan lainnya yang sulit tertandingi.  Deretan gelar yang diperoleh hingga puncaknya menjadi professor termuda. Tidak lupa diceritakannya detail satu per-satu murid terbaiknya.  Kalau muridnya sedemikian hebat, gurunya apalagi….

Sementara hali Zen itu terus bercerita, Pendeta Zen mengangkat teko yang di depannya.  Mengucurkan isinya tanpa henti.  Air the panas itu meluap tak tertampung. Pendeta tidak menghentikannya.  Terus mengucurkannya sambil serius mendengarkan cerita ahli Zen yang tiada berhenti.

“Pendeta, sudah penuh!”  Katanya kaget, duduknya mengingingsut, menghindari air panas yang meluber. 

Berkali-kali ucapan itu diulanginya, namun Pendeta tidak menghentikan kucuran airnya.  Sampai akhirnya air teko habis dengan sendirinya.

“Pendeta, kenapa ?”

Pendeta Zen menatap sendu orang yang di depannya, mimiknya tetap menunjukkan keseriusannya memperhatikan ahli Zen.

“Pendeta, kenapa?”  Tanyanya mengulangi, hingga beberapa kali.

Barulah kemudian pendeta berucap menghempas keheningan, “Cangkir Anda sudah sangat penuh, sampai air teko hamba kucurkan hingga habis pun isinya tidak akan tetap.  Tidak akan bertambah.”

“Air teh hangat yang sangat dibutuhkan orang lain itu hanya bercecer tak bernilai.  Terbuang percuma.  Sia-sia.”

Sebagai ahli Zen, wajahnya langsung kecut dan tertunduk malu.  Ternyata kehebatan dan berbagai keunggulan yang dimilikinya tidak berarti apa-apa di depan orang yang sangat bijak itu. 

Ditatapnya cangkir penuh di hadapannya.  Air teh yang berceceran dan teko yang sudah kosong.

Sungguh tidak berarti dirinya saat ini, bermaksud menuntut ilmu tetapi dengan kepala yang sudah penuh kepandaian.  Tidak akannad  lagi ilmu yang bisa masuk ke otaknya yang sudah berjibun prestasi.  Seberapa lamapun belajar, tak akan bertambah ilmunya.  Sampai habis ilmu yang dimiliki Pendeta pun, tidak akan ada yang menempel.  Hanya terbuang percuma.

Pandangannya beralih ke cangkir kosong di depan Pendeta.  Pikirannya melayang jauh, hampa, seharusnyalah demikian jika mau belajar.  Seperti cangkir kosong yang siap diisi, apapun isinya sampai batas kemampuannya menampung.

Sungguh malu hatinya, kehebatan ilmu dan pengalaman hidup dirinya tidaklah seberapa dibanding Pendeta yang baru saja di temuinya.   

Tanpa kata, professor termuda itu pergi meninggalkan gubug bambu itu.  Berjalan menyusuri jalanan kecil menembus perbukitan hingga akhirnya kembali ke kehidupan mapan Negeri Paman Sam.

Kira-kira, apa makna yang bisa diambil dari cerita di atas?

-          Kalau menuntut ilmu harus mengosongkan isi otak dulu

-          Kalau mau belajar harus mau menerima pendapat orang

-          Kalau mau belajar jangan sok pintar

-          Orang yang sederhana bisa saja jauh lebih pintar dari kita

-          Jangan menganggap orang lain bodoh

-          Orang sok pintar akan sulit menerima pendapat orang lain

-          …….. dan pasti banyak lagi pendapat lainnya.

Semuanya benar…!

Bahwa jika kita ingin mempelajari sesuatu hal, siapkan diri untuk belajar.  Seperti cangkir kosong yang siap menerima kucuran air dari teko.  Mungkin akan berbeda dengan pendapat kita, bertentangan dengan ilmu yang telah kita pelajari sebelumnya.  Semua itu akan memperkaya khazanah keilmuan kita.

Semoga bermanfaat.  Aamiin YRA.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun