“Tuan adalah orang yang sangat mumpuni, ilmunya sangat tinggi, murid-muridnya banyak dan hebat. Semuanya luar biasa. Jadi apalah gunanya belajar dari hamba?”
“Tapi, saya harus belajar dari Pendeta. Karena menurut murid-murid saya, termasuk orang-orang yang saya kenal. Semuanya selalu mengunggulkan kehebatan Anda.”
Berbagai prestasi akademik yang diperoleh hinga kehebatan lainnya yang sulit tertandingi. Deretan gelar yang diperoleh hingga puncaknya menjadi professor termuda. Tidak lupa diceritakannya detail satu per-satu murid terbaiknya. Kalau muridnya sedemikian hebat, gurunya apalagi….
Sementara hali Zen itu terus bercerita, Pendeta Zen mengangkat teko yang di depannya. Mengucurkan isinya tanpa henti. Air the panas itu meluap tak tertampung. Pendeta tidak menghentikannya. Terus mengucurkannya sambil serius mendengarkan cerita ahli Zen yang tiada berhenti.
“Pendeta, sudah penuh!” Katanya kaget, duduknya mengingingsut, menghindari air panas yang meluber.
Berkali-kali ucapan itu diulanginya, namun Pendeta tidak menghentikan kucuran airnya. Sampai akhirnya air teko habis dengan sendirinya.
“Pendeta, kenapa ?”
Pendeta Zen menatap sendu orang yang di depannya, mimiknya tetap menunjukkan keseriusannya memperhatikan ahli Zen.
“Pendeta, kenapa?” Tanyanya mengulangi, hingga beberapa kali.
Barulah kemudian pendeta berucap menghempas keheningan, “Cangkir Anda sudah sangat penuh, sampai air teko hamba kucurkan hingga habis pun isinya tidak akan tetap. Tidak akan bertambah.”
“Air teh hangat yang sangat dibutuhkan orang lain itu hanya bercecer tak bernilai. Terbuang percuma. Sia-sia.”