978-602-02-5099-1
Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat merupakan dua kata yang sudah sangat dekat di telinga bangsa Indonesia.Hal ini tidak lain karena tujuan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat tidak bisa dilepaskan dari pemberdayaan masyarakat.
KUBI mengartikan “daya” sebagai kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.Sehingga pemberdayaan masyarakat kira-kira dapat diartikan sebagai upaya untuk menjadikan masyarakat untuk mampu melakukan sesuatu.Sementara “masyarakat” sendiri diartikan sebagai sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Pemberdayaan masyarakat memang sudah lama dilaksanakan di negeri ini, bahkan mulai Orde Baru dikenal berbagai program pembangunan yang intinya pemberdayaan masyarakat.Tetapi apakah pembangunan berbasiskan pemberdayaan masyarakat selama ini sudah berhasil mensejahterakan masyarakat itu sendiri?
Dr. Yansen TP menyatakan, “Tidak!”
Kajian ilmiah beliau menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan selama ini, khususnya di Kabupaten Malinau adalah karena pemberdayaan masyarakat hanyalah slogan semata, pada kenyataannya masyarakat selalu ditinggalkan dan hanya menjadi obyek pembangunan semata.
Dalam kepemimpinan beliau selama dua tahun di Kabupaten Malinau, sebagai wujud visi dan misinya semasa kampenye beliau menggelontorkan program yang diberi nama Gerakan Desa Membangun (GERDEMA).Desa dipilih untuk menjadi titik sentral karena merupakan ujung tombak pembangunan yang paling dekat dengan masyarakat.
Tetapi, apakah pelaksanaan GERDEMA telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Malinau?
Buku Revolusi dari Desa : Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, yang merupakan blue-print pelaksanaan GERDEMA di Kabupaten Malinau menguraikan mulai latar belakang hingga hasil implementasi GERDEMA di Bumi Intimung.
Berawal dari Keprihatinan
Sebagai birokrat yang berhadapan langsung dengan masyarakat, Penulis paham benar tentang konsep pembangunan yang selama ini diterapkan di seluruh nusantara.Berbagai perubahan metode ternyata tidak menghasilkan kerja nyata.
Orde Lama, Orde Baru bahkan setelah masa lalu itu direformasi ternyata tetap saja menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan.Hal inilah rupanya yang menyebabkan pembangunan di nusantara, khususnya di Kabupaten Malinau tidak juga dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat tidak juga mampu memanfaatkan kesubur-makmuran alam Kabupaten Malinau yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa untuk mensejahterakan diri dan keluarganya.Pengangguran masih tetap tinggi.Angka kemiskinan pun jauh di atas rata-rata nusantara (26 %).
Bahkan pembangunan yang selama ini berlangsung cenderung meningkatkan kesenjangan, yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin miskin.Tidak mengherankan kalau Penulis sampai mengibaratkan hal ini dengan peribahasa, “Tikus mati di lumbung padi.”
Masyarakat Kabupaten Malinau tetap tidak berdaya dalam gelimang kesuburan alamnya.Mereka hanya menjadi obyek pembangunan yang tidak pernah diketahui kapan dan dari mana datangnya, apalagi maksud dan tujuan serta manfaat yang sebenarnya.
Bahkan setelah iklim pemerintahan berbalik, mengkritisi kebijakan Orde Baru yang sentralistik sekalipun, otonomi daerah serta kebijakan pembangunan bottom up hanyalah jargon untuk tetap melaksanakan pola pembangunan sentralistik, kebijakan top down.Masyarakat tetap menjadi pelengkap penderita kegiatan bernama pembangunan di segala bidang.
Berdasarkan pengalaman dan kajian akademis yang bisa dipertanggungjawabkan, Dr. Yansen TP menggelontorkan konsep pembangunan yang diberi nama GERDEMA (Gerakan Desa Membangun).Inti dari konsep pembangunan ini adalah bahwa pembangunan haruslah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kata kuncinya adalah pemberdayaan masyarakat.Masyarakat bukan lagi sebagai obyek pembangunan tetapi menjadi pemilik pembangunan itu sendiri.Masyarakat terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, bahkan pengawasan dan pengendalian.
Lembaga terdekat dengan masyarakat dalam struktur pemerintahan adalah desa.Oleh karena itu Penulis menjadikan desa sebagai wilayah yang benar-benar harus diberdayakan.
Sebanyak 33 kewenangan diberikan kepada Pemerintahan Desa, beberapa diantaranya merupakan kegiatan yang memberi mandat kepada Pemerintah Desa untuk menggali Pendapatan Asli Desa (PADes).Sesuatu yang hampir tidak dikenal di Kabupaten/Kota lain.Selain itu, Pemerintah Desa juga diberi kepercayaan untuk mengelola anggaran yang tidak sedikit, untuk tahun 2014 sebanyak Rp. 1,2 milyar/desa.
Dengan kewenangan dan pendanaan yang tidak sedikit ini maka diharapkan pembangunan di level pemerintahan terendah dapat berhasil menjadikan masyarakat sebagai pemilik pembangunan.Masyarakat bukan hanya terlibat dalam perencanaan pembangunan, tetapi juga dalam pelaksanaan serta pengawasan dan evaluasinya.
Dua Tahun GERDEMA
Dua tahun sudah GERDEMA dilaksanakan di Kabupaten Malinau, masyarakat sudah mulai merasa memiliki pembangunan yang dilaksanakan.Mereka bukan lagi sebagai obyek pembangunan semata, tetapi terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di desanya.
Setelah dua tahun dilibatkan secara langsung dalam pembangunan Kabupaten Malinau, benarkah masyarakat benar-benar sudah berdaya?
Dalam Bab VII Rekam Jejak Sebelum dan Sesudah GERDEMA, diuraikan tentang kondisi sebelum pelaksanaan dan sesudah GERDEMA diimplementasikan.Selain 15 indikator yang dinyatakan secara kualitatif relatif meningkat, Penulis juga mencoba menyampaikan secara kuantitatiftentang perubahan yang terjadi dalam pembangunan di wilayah yang dipimpinnya.
Ternyata jika tabel-tabel yang dicantumkan diolah sedikit lagi saja maka akan ketemu bahwa sesungguhnya keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan di Kabupaten Malinau masih sangat kurang, hanya berkisar antara 27.53 % hingga 55.03 % saja.Masyarakat relatif mengetahui tentang pelaksanaan pembangunan tetapi sangat amat belum memahami adanya pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan di desanya.
Secara lengkap gambaran keberdayaan masyarakat Kabupaten Malinau dalam pembangunan baru mencapai 41.86 % dengan perincian sebagai berikut :
- Pemahaman masyarakat dalam proses perencanaan hanya 41.34%
- Pemahaman masyarakat dalam proses penganggaran hanya 43.56%
- Pemahaman masyarakat dalam pelaksanaan hanya 55.03 %
- Pemahaman masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian hanya 27.53 %
Tabel 1. Rata-rata Pemahaman Masyarakat dan Aparatur terhadap Pelaksanaan GERDEMA (%)
NO.
U R A I A N
APARAT DESA
SKPD
LPMD
BPD