Mencintaimu dengan sederhana adalah sepenggal karya puisi epic dari Sapardi Djoko Damono yang bejudul "Aku Ingin". sebuah kalimat sederhana dengan kedalaman makna penuh hasrat.
seperti sepenggal kisah yang harus melawan takdir, seperti halnya tetesan embun pagi yang sirna diterjang sapaan matahari pagi.Â
Tejo melangkah menyambut hari, seraut wajahnya tampak letih namun terbalut senyum yang membungkus kelam, kelam adalah wajah penuh luka, kelam adalah amarah dan kecewa, serta kelam adalah selaput yang menutupi jiwa. Tejo membunuh kelam demi dunianya yang baru, demi cintanya yang dalam namun setipis kabut yang kesiangan.
Selalu ada ragu ketika kakinya menginjak memasuki halaman sekolah, gerbang itu begitu kokoh dan sombong, dan Tejo adalah bagian dari kesombongan di masa lalu. yah kesombongannya menantang hidup, kesombongannya melawan matahari yang selalu meniadakan bulan ketika pagi mengintip dari balik peraduan.
Tejo merasa hampa dan kecil dari segala sisi, Tejo adalah pribadi yang introvert, dia lebih senang menghabiskan waktunya seorang diri, bukan berarti dia anti sosial, hanya saja menyendiri membuatnya merasa nyaman, nyaman dari kemunafikan yang selalu ada dibalutan hari.
Tejo jatuh cinta dengan seorang siswi bernama Surti, entah setan mana yang mampu membuatnya jatuh sedalam itu terbalut asmara. Surti adalah gadis yang hangat, periang, menyenangkan dan pintar, berbanding terbalik dengan Tejo seperti beauty and the beast.
tetapi Surti mampu mengubah dunia dengan senyumnya, karena senyumnya mampu meruntuhkan langit, karena senyumnya mampu menjatuhkan bintang di langit, karena senyumnya mengalahkan senyum Layla dan membuat Layla cemburu kepada Majnun. Apakah Surti cantik? tidak menurut Tejo, apakah Surti begitu sexy? tidak juga bahkan jauh dari kata itu. Surti adalah rembulan di mata Tejo, Surti adalah kesejukan, Surti adalah desiran ombak di waktu senja.
Hari-hari Tejo selalu dalam bayangan Surti, tak terasa 2 tahun berlalu, dan Tejo memendam hasrat itu seorang diri, mencintai tanpa memiliki adalah luka, dan itu adalah luka yang disengaja, luka yang dinikmati Tejo selama ini. Menjadi daun penjaga bunga tak akan bisa cukup untuk menjadi pemilik bunga, karena pemiliknya adalah lebah, lebah yang lebih berhak menjaganya, dan Tejo bukanlah lebah, Tejo adalah daun, dia hanya mampu menaunginya dari terik matahari, melindunginya dari tetesan air hujan, dan menutupinya dari terpaan angin utara.
Tejo ingin menjadi lebah, lebah yang dapat menyentuh sang bunga, lebah yang mampu menggandeng dan memeluk sang bunga. Sebuah pemikiran yang absurd untuk sebuah daun. Aku harus berani ujarnya dalam hati, berani menyampaikan apa yang kurasakan selama ini kepada Surti, walaupun kebimbangan kembali hadir di pelupuk mata. Apakah matahari akan langsung terbenam jika aku mengutarakan isi hatiku, padahal hari masih pagi? apakah angin berhenti berhembus andai aku berterus terang? sejenak merenung menatap langit, ah.. biarlah dunia berhenti berputar sekali ini batinnya.
Kesempatan adalah butir kejujuran yang hanya muncul pada saat tertentu, kesempatan adalah buah dari pohon penantian, dan kesempatan itu hadir, kesempatan itu mempertemukan Tejo dan Surti di suatu tempat, di suatu suasana yang sebenarnya canggung namun penuh rasa keharusan. Tejo tak pernah berani menatap wajah Surti, wajah yang selalu dibalut kelembutan menurutnya, wajah yang selalu dia hindari agar tidak makin jatuh terperosok ke dalam rasa cinta yang tak pernah habis, namun wajah itu adalah wajah yang selalu ingin dilihatnya sepanjang hari, sepanjang helaan nafasnya dan sepanjang degub jantungnya.