Dengan piala di tangan kanan, Laras mendengus kesal. Dia seharusnya senang karena berhasil memenangkan lomba pidato antar kota kali ini. Hey, itu kemenangan yang selalu ia impi-impikan! Namun nyatanya, hanya rasa kesal yang ia dapati. Semenjak kepergian sang ayah tahun lalu, sebagai anak semata wayang, hanya ibunyalah yang Laras miliki saat ini. Keluarga mereka sangat terpukul saat ayah pergi setelah 6 bulan berbaring di rumah sakit. Kemenangan ini akan Laras dedikasikan kepada sang ibu, oleh karenanya, sudah sejak satu bulan lalu Laras berpesan kepada sang ibu untuk menyempatkan diri melihat lombanya.Â
Namun kenyataannya, di pagi hari saat lomba berlangsung, ibunya membatalkan janji karena alasan pekerjaan. Jadilah Laras bersungut-sungut datang ke lomba pidato hari ini. Selama ayah berbaring di rumah sakit, ibu selalu menemani. Namun, kenapa untuk datang ke acara lomba saja ibunya tidak bisa? Apakah ibunya tidak takut kehilangan dirinya? Batin Laras dengan sedih. Kemenangan ini seharusnya menjadi momen yang membanggakan, namun terasa hampa tanpa kehadiran sang ibu.Â
*****
Pagi itu, Nada, Ibunda Laras terbangun dengan perasaan bahagia. Sudah lama sejak ia merasakan perasaan ini, apalagi semenjak kepergian sang suami satu tahun silam. Hari ini merupakan hari yang istimewa. Hari ini, Laras akan melaksanakan lomba pidato antar kota! Nada menjadi saksi bagaimana sang anak berusaha bangkit dari keterpurukan dan memberikan dedikasi penuh mempersiapkan lomba tersebut.
Nada mempersiapkan kemeja terbaiknya, memilih yang berwarna cerah dan nyaman. Ia ingin terlihat rapi dan penuh semangat untuk hari yang sangat penting ini. Dengan hati berdebar, Nada membayangkan betapa bangganya dirinya saat melihat Laras di atas panggung nanti. Namun, saat ia hendak menyelesaikan persiapan terakhir, telepon genggamnya berdering. Nada menjawab dengan senyum penuh harapan, tapi senyumnya segera memudar saat mendengar suara di ujung telepon.Â
"Maafkan Ibu, Laras," bisiknya pada dirinya sendiri saat ia menyiapkan peralatan kerjanya. Dalam hati, Nada berdoa agar Laras memahami bahwa meskipun ia tidak bisa hadir, dukungan dan cintanya tetap ada. Nada berharap Laras dapat merasakan kehadirannya dalam setiap kata dan semangat yang telah ditanamkan dalam persiapan lomba tersebut.
***
Setelah pulang dari lomba pidato, Laras meletakkan piala kemenangannya di meja belajar. Dengan hati yang penuh campur aduk, ia mulai menggeser map-map yang berserakan. Tiba-tiba, di bawah tumpukan kertas, ia menemukan sticky note kecil yang terlipat rapi. Ketika membukanya, Laras membaca tulisan ibunya dengan penuh haru: "Laras, Ibu dan ayah bangga padamu." "H--14 lomba, Laras anak ibu paling hebat!" "Semangat dan percayalah pada dirimu!"
Laras terdiam, air mata mulai mengalir. Ia baru menyadari bahwa menulis pesan kecil seperti itu bukan kebiasaan sang ibu. Dulu, kebiasaan itu adalah milik ayahnya, yang harus pergi bekerja di pagi hari saat Laras masih tertidur, dan pulang di malam hari. Ayah selalu bilang, "Ayah mungkin tidak selalu terlihat, tetapi kasih sayang ayah selalu ada." Sekarang, semenjak kepergian ayahnya, ibu melanjutkan kebiasaan itu---meskipun dengan segala kesibukan dan kesulitan yang ia hadapi.
Momen ini mengingatkan Laras pada betapa dalamnya kasih sayang ibunya. Ibu telah berusaha keras untuk terus memberikan dukungan dan semangat, bahkan dalam keadaan yang penuh tantangan. Laras merasa lebih mengerti dan menghargai perjuangan ibunya yang telah menggantikan kehadiran ayah dalam bentuk yang berbeda.
Dengan tekad baru, Laras berjanji pada dirinya sendiri untuk menyambut kepulangan ibunya dengan penuh gembira. Piala lomba pidatonya akan ia dedikasikan kepada ibunya, sebagai simbol dari kasih sayang dan dukungan tanpa henti yang telah ibunya berikan.Â
***
Nada membereskan meja kantornya dengan tergesa. Dengan hati yang masih dipenuhi kekhawatiran dan kepenatan, ia harus segera pulang, tetapi entah mengapa, ia tidak langsung mengarahkan mobilnya ke rumah. Sebaliknya, tanpa rencana sebelumnya, ia membelokkan mobilnya menuju toko martabak kesukaan Laras dan almarhum suaminya.
Sebelum suaminya meninggal, mereka selalu menikmati martabak ini setiap minggu, menjadikannya salah satu kenangan manis yang sangat berharga. Namun, sejak setahun lalu, Nada belum pernah membelinya lagi. Rasa kehilangan dan kesedihan masih begitu mendalam, sehingga mengingat momen indah tersebut masih terasa menyakitkan.
Hari ini, Nada merasa Laras telah berjuang keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa dalam lomba pidatonya. Sebagai bentuk apresiasi dan dukungan atas semua usaha Laras, Nada memutuskan untuk membeli martabak sebagai kejutan. Ia ingin memberikan sesuatu yang spesial, yang mengingatkan mereka pada kebersamaan keluarga yang bahagia.
***
Ketika Nada memasuki rumah, hatinya berdebar. Ia siap menerima kemarahan Laras karena ketidakhadirannya di lomba pidato tersebut. Namun, saat melihat Laras, ia terkejut. Laras tidak menunjukkan kemarahan, melainkan langsung memeluknya dengan penuh rasa syukur.
"Piala ini untuk Ibu," kata Laras dengan suara serak. Nada merasa haru saat Laras menunjukkan piala kemenangan yang ia raih.Â
Dengan mata berair, Nada menyodorkan kotak martabak kepada Laras. "Ini untukmu, sayang. Martabak kesukaanmu dan ayah." Mereka berdua berpelukan dengan haru. Keduanya sadar, martabak ini,bukan hanya makanan; ia adalah simbol kenangan indah bersama ayah, yang kini dihidupkan kembali dalam momen kebersamaan mereka.
Satu kata tentang kasih sayang adalah bagaimana dirimu akan selalu mementingkan kebahagiaan orang yang kamu sayangi di atas segalanya. Sore hari ini, dalam pelukan mereka, ibu dan anak tersebut menemukan kembali makna kasih sayang yang tulus dan mendalam.
Biodata Penulis:
Indah Putri Ramadhani, kabupaten bogor, menulis di waktu senggang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H