Dalam pidatonya, pakar utama Australia tentang Laut China Selatan (LCS) Prof. Carlyle Thayer, menggambarkan China sebagai negara keamanan, yang telah melepaskan teror di China melalui pengawasan terus-menerus, mata-mata dan pemantauan ketat semua aktivitas dari 1,45 miliar orang.
Thayer, seorang profesor emeritus di University of New South Wales di Canberra, Australia, mengecam China karena aktivitasnya yang memaksa dan mengintimidasi di LCS. Dua hal ini sedang dilakukan oleh penjaga pantai China, milisi maritim dan armada penangkap ikan di LCS.
"Mereka melecehkan kapal penegak hukum maritim negara-negara pesisir dan kapal penangkap ikan mereka. Mereka melecehkan kapal survei hidro karbon asing untuk melayani perusahaan minyak nasional," kata Thayer.
China, menurut Tahyer, mengancam negara-negara yang tidak akan mengikuti garis China. Ia mencontohkan Australia yang menolak bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) China. Australia juga mengkritik China karena tidak transparan tentang asal muasal pandemi COVID-19, yang dimulai di Wuhan, China, pada bulan Desember 2019 dan menyebar ke seluruh dunia.
"Australia, sebagai negara kecil, sedang dihukum karena gagal memenuhi tuntutan China," ungkap Thayer.
"Itulah objek pelajaran bagi negara-negara lain di kawasan ini."
Pembicara lain Dr. Premesha Saha, seorang associate fellow di Observer Research Foundation di New Delhi, mengatakan bahwa India telah menghadapi ancaman dari China terkait masalah perbatasan. Pada bulan Juni 2020, pasukan kedua negara bentrok di lembah Galwan di mana beberapa tentara tewas dari kedua belah pihak.
India, menurut Saha, sangat mendukung sentralitas ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
"ASEAN adalah geografi pusat Indo-Pasifik," tutur Saha.
Perbedaan antara China dengan India adalah pendekatan mereka terhadap Asia Tenggara.
China mengklaim memiliki hubungan yang sangat baik dengan negara-negara ASEAN. Namun beberapa negara ASEAN tidak mempercayai China akibat perilaku agresif dan klaim ilegalnya di LCS.