Mohon tunggu...
Dini Rachman
Dini Rachman Mohon Tunggu... -

saya pengen ikutan ngumpul-ngumpul di rumahnya para penulis, skalian pengen belajar nulis :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan, Memanusiakan Manusia

28 April 2010   02:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32 1818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kami menginginkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan... itu bukan karena kami ingin menjadikan perempuan menjadi saingan lelaki... tetapi... kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberikan Ibu Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama... Kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya... untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis.

Cuplikan Surat Kartini kepada Profesor G.K. Anton dan Nyonya dari Jena, 4 Oktober 1902 (Vreede-de Steurs, Sejarah Perempuan Indonesia, hlm. 68-69)

Seratus tahun lalu, kurang dari 1 persen perempuan Indonesia mengecap pendidikan formal. Kalaupun segelintir perempuan dari golongan priyayi mendapatkan kesempatan sekolah dasar, toh mereka tetap harus berhenti pada usia 12 tahun, lalu dipingit, untuk dikawinkan. Kartini berteriak demi kaumnya, demi masa depan masyarakatnya, yaitu mereka yang lahir dari dan dididik oleh perempuan (ibu).

Data Badan Pusat Statistik tahun 2008 menyebutkan 98% anak perempuan berusia 7-12 tahun menikmati bangku sekolah dasar, 85% yang berusia 13-15 tahun mengenyam SMP, dan 55% SMA/K. Tetapi, apakah betul dengan semakin meningkatnya angka partisipasi sekolah bagi perempuan, masyarakat menjadi lebih baik?

Sayangnya, masyarakat Indonesia hari ini bergumul dengan kemerosotan ahlak. Dari tataran elit, korupsi dan suap bak racun meresap pada air dalam kolam, kata-kata kotor rendah etika diumbar lantang, menghalalkan segala cara demi kekuasaan pribadi dan golongan. Seolah tak ada ruang bagi pejabat yang bersih. Di tataran kaum muda, ada mahasiswa dan dosen yang menodai kesucian intelektualitas dan integritas dengan melakukan plagiat, siswa-siswa difasilitasi kemalasannya dengan jawaban UN belian, semakin banyak yang terlibat tawuran, seks bebas, narkoba, rokok, dsb.

Mengevaluasi Pendidikan

Kalau demikian, apakah dihapuskan saja pendidikan bagi kaum perempuan? Tentu ini pendulum ekstrim yang konyol. Pendidikan tak boleh dihapuskan. Mengutip pernyataan Nicholas P. Wolterstorff "human beings are creatures for whom education is inescapable", manusia (pria dan wanita) adalah ciptaan yang untuknya pendidikan adalah (kebutuhan) yang tidak terhindarkan.

Jadi, akar masalahnya sesungguhnya pasti bukan pada ada atau tidak ada pendidikan. Tetapi pendidikan seperti apa yang selama ini dilaksanakan di tanah air? Mengapa pendidikan tersebut tidak mampu menghasilkan suatu masyarakat yang semakin beradab? Atau, mengapa masyarakat yang lebih terdidik tidak mampu menciptakan sistem pendidikan yang baik?

Pertama, adalah salah bila kita berasumsi bahwa hanya ada satu arah pengaruh, yaitu sekolah atau pendidikan mempengaruhi masyarakat. Kegagalan sistem pendidikan adalah penyebab, sedangkan masyarakat adalah hasil akhir kegagalan tersebut. Sebab sesungguhnya, sekolah dan masyarakat adalah dua entitas yang terkait erat, tak terpisah, dan saling mempengaruhi.

Dalam masyarakat yang buruk dan korup, sangat sulit mengajarkan pendidikan yang baik dan bersih kepada peserta-didik. Sayangnya pelaku-pelaku pendidikan, baik yang berada di departemen maupun dalam institusi sekolah, adalah pewaris budaya korupsi dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan Indonesia telah kopong karena esensi pendidikan untuk menanamkan karakter dan nilai-nilai (Educating for Life, N.P. Wolterstorff, hlm. 229), telah digeser dengan keserakahan banyak oknum pendidikan. Pohon yang buruk tak mungkin menghasilkan buah yang baik.

Kedua, pelaksanaan pendidikan harus dikembalikan kepada hakikatnya. Saat ini, pendidikan hanyalah mesin pencipta tenaga kerja bagi pasar yang rakus dan kejam. Sekolah-sekolah menjanjikan lulusannya akan mudah mendapatkan pekerjaan. Manusia telah direduksi begitu rendahnya sebagai "robot" pekerja. Gilanya, kaum perempuan menganggap ini sebagai "emansipasi" yang "meningkatkan" martabat mereka.

Manusia telah alpa bahwa martabat bukan diukur dari banyaknya uang dan tingginya pendidikan, ataupun mulusnya karir seseorang, martabat dibangun dari keluhuran nilai yang dijalankan setiap hari. Manusia bukan sekedar mesin atau robot yang bisa bekerja, kawin, makan, minum, nonton sinetron dan tidur. Manusia jauh lebih mulia daripada itu. Manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Dan pendidikan haruslah membuat manusia menyadari dan menghidupi kemuliaannya ini.

H.A.R Tilaar dalam bukunya Manifesto Pendidikan Nasional, mengungkapkan hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan manusia yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka hidup membudaya. Pendidikan harus mendorong manusia, yang dibesarkan dalam habitusnya, untuk menciptakan dan merekonstruksi budayanya itu sendiri.

Sebagai wakil Tuhan, manusia membentuk budaya. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia diberikan daya kreatifitas untuk berproduksi secara bijaksana, bukan secara rakus. Manusia mengelola alam, bukan merusaknya. Dalam hidup dengan sesamanya, bersikap hormat dan mengasihi, bukan dengan diskriminasi dan penindasan. Mengusahakan perdamaian, bukan menyulut peperangan. Sebagai pemegang otoritas, manusia menegakkan keadilan dan menjalankan hukum.

Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang membentuk manusia-manusia seperti ini, manusia yang hidup sebagai manusia, bukan sekedar "mur-baut" bagi mesin ekonomi. Suatu tugas yang berat memang, tetapi agung.

Dalam momentum memperingati jasa Kartini, maka tulisan ini dibuat dengan harapan agar melalui pendidikan, manusia -khususnya perempuan- merindukan, dan kembali kepada kemanusiaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun