Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Tradisi Pernikahan Perang Bangkat dalam Budaya Religi Suku Osing di Desa Lemahbang Dewo, Banyuwangi

11 Februari 2019   16:46 Diperbarui: 11 Februari 2019   17:51 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KONDISI SOSIAL GEOGRAFIS

Desa Lemahbang Dewo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi yang terletak diantara daerah pegunungan dan persawahan dengan ketinggian 20 meter diatas permukaan air laut. 

Mayarakat di desa ini sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh pabrik kue khas Banyuwangi, yang mana rata-rata pendapatan ekonominya tergolong dalam masyarakat ekonomi menengah kebawah (rendah). 

Jumlah penduduk desa ini 3.317 orang secara keseluruhan dengan jumlah kepala keluarga 917 KK. Keamanan di desa ini cukup bagus, yang mana tidak adanya tempat terlarang. Desa ini merupakan suku osing dan merupakan salah satu desa di Banyuwangi yang melakukan tradisi perang bangkat.

PENGERTIAN PERANG BANGKAT

Perang Bangkat merupakan tradisi pernikahan suku Osing yang mana tradisi ini dilakukan apabila anak sulung berjodoh dengan anak bungsu, anak bungsu berjodoh dengan anak bungsu, dan anak sulung berjodoh dengan anak sulung. Dinamakan perang bangkat karena adanya sebuah sanggahan keluarga yang menginginkan anaknya mendapatkan pria sejati yang mampu mencintai, menyayangi, dan mencukupi kebutuhan dunia akhirat.

Perang Bangkat berarti "Perang Argumentasi" yang di pimpin oleh seorang dalang. Ki Bakat Waseso adalah sebutan bagi dalang mempelai wanita. Ki Bakat Purbo adalah sebutan bagi dalang mempelai pria. 

Dalam hal ini, pengantin pria disebut raja (prabu sekintal, raden dunyo, panji asmoro bangun), dan pengantin wanita disebut ratu (dewi sekilo, dewi rejeki, sekartaji, galuh ati candra kirana). Sedangkan dalang diibaratkan sebagai panglima perang dari seorang raja dan ratu.

Proses jalannya tradisi ini diawali dengan arak-arakan mempelai pria yang diikuti keluarganya dan membawa seserahan yang disebut Ubo Rampe. Ubo Rampe terdiri dari bantal-guling yang diikat dalam tikar, alat-alat dapur dan hasil bumi yang disusun rapi dan dipikul disebut ekrak, 2 ayam kampung (jantan dan betina), 2 telur ayam kampung, erus (sendok sayur) dan siwur (gayung mandi), 2 kelapa, beras kuning dan uang yang dibungkus atau dikantongi disebut kampil putih, dan kembang (bunga) pitungwarna.

Dengan membawa kebutuhan rumah tangga, iring-irangan (arak-arakan) rombongan pengantin pria tiba ditempat mempelai wanita. Mereka bermaksud meminang perempuan tersebut untuk dijadikan istri. Setiba di dekat rumah mempelai wanita, rombongan mempelai pria dihadang keluarga besar mempelai wanita. Terpasang selembar kain yang diibaratkan sebagai gerbang yang membatasi kubu lelaki dan kubu perempuan.

Ketika itu pengantin lelaki dan pengantin perempuan duduk dengan dipisahkan selembar kain putih tersebut. Masing-masing kubu didampingi seorang dalang yang akan mengadu pusaka mereka (ayam, telur, kelapa, erus, dan siwur). Dalang juga menjadi juru bicara atau membawakan pesan moral. 

Dalang dari pihak mempelai wanita menanyakan maksud kedatangan rombongan mempelai pria. Begitu dalang dari pihak mempelai pria menjawab maksud dari kedatangannya adalah meminang sang perempuan (mempelai wanita), dalang dari pihak mempelai wanita marah dan menolak mereka. Lalu disahuttlah kembali oleh dalang dari pihak pria yang mengatakan dengan tegas "saiki isun kudu biso ngulihaken lare wadon ikau (sekarang saya harus bisa mendapatkan anak perempuan itu)", argumen ini muncul karena rombongan mempelai pria merasa ditolak oleh rombongan mempelai wanita. Lalu disahutlah kembali oleh dalang mempelai wanita "kadung riko lanangan sejati ugo temenanan arep ngulihaken lare wadon ikai, tandingono isun sulung (kalau kamu lelaki sejati dan serius mau mendapatkan anak perempuan ini, bertanding sama saya dahulu)".

Teriakan argumen masing-masing dalang yang saling sahut-menyahut diungkapkan secara tegas, diplomatis,dan bersyarat, yang mana sambil beradu pusaka. Dan pada akhirnya dalang dari pihak mempelai wanita mengungkapkan "isun gelem riko jaluk, tapi kudu ono syarate (saya mau kamu minta, tapi harus ada syaratnya)". 

Syaratnya adalah memberikan kampil putih. Lalu syarat itupun diberikan kepada pihak rombongan mempelai wanita. Dan kemudian dibukalah selembar kain tadi yang mana berarti lamaran sang raja diterima oleh sang ratu, lalu mereka berdua dikoloni (dipertemukan) di kuade (bangku pelaminan).

Setelah pengantin pria dan pengantin wanita dikoloni, menandakan selesainya prosesi drama Perang Bangkat oleh sie dalang. Drama ini membuat banyak orang terpingkal-pingkal melihatnya sebab sie dalang membawakan drama perang argumentasi ini dengan kelucuan dan ciri khas yang dimiliki oleh setiap dalang tersebut. Tradisi ini merupakan tradisi unik dalam pernikahan suku Osing yang mengandung banyak makna dan pesan moral yang disampaikan kepada pengantin baru tersebut.

MAKNA PERANG BANGKAT

Didalam sebuah tradisi tentunya ada suatu makna yang terkandung didalamnya. Hal ini juga berlaku dalam tradisi pernikahan Perang Bangkat yang dilakukan suku Osing yang berada di desa Lemahbang dewo, kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi.

Perang Bangkat adalah drama yang menggambarkan seorang lelaki yang ingin meminang wanita yang dicintainya, namun ditolak oleh keluarga sang wanita. Di sinilah terdapat perang argumentasi dari pihak lelaki bahwa dia benar-benar harus meminangnya karena dia sangat mencintai sang wanita dan menjadikannya istri. 

Setelah perang argumentasi tersebut akhirnya keluarga sang wanita menyebutkan persyaratan (Ubo Rampe) yang harus dipenuhi oleh sang lelaki untuk meminang wanita tersebut dan untuk kehidupan mereka setelah menjadi suami istri. Kemudian persyaratan itu dipenuhi lalu mereka berdua direstui dari masing-masing pihak keluarga.

Perang Bangkat yang berarti "Perang Argumentasi" bermakna bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan apabila sudah memasuki usia yang matang untuk melakukan sebuah pernikahan pasti memiliki sebuah argumen untuk bisa hidup bersama. Argumen ini muncul ketika seorang lelaki ingin meminang seorang wanita yang dicintainya, pastilah ada campur tangan masing-masing pihak keluarga. Dalam hal ini masing-masing keluarga beragumentasi untuk kebaikan sang anak.

Perang Bangkat ini membawa pesan moral kepada sang pengantin yang bermakna bahwa orang tua (keluarga) menginginkan anaknya dipinang oleh lelaki yang sangat baik dan bisa membawa nya kedalam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah. Dan juga pesan ini mengingatkan bahwa di dalam suatu hubungan harus saling setia, melengkapi, menghormati, dan patuh pada suami sesuai ajaran agama yang dianutnya. 

Persyaratan (Ubo Rampe) itupun juga merupakan simbol dari pesan moral yang maknanya membawa pengantin masuk kedalam dunia masyarakat yang kompleks tanpa campur tangan orang tua. Disebutkan bahwa Ubo Rampe tersebut harus ada dan terpenuhi serta menjadi cikal bakal pegangan hidup untuk berumah tangga.

dokpri
dokpri
IMPLEMENTASI PERANG BANGKAT DALAM UNSUR KEBUDAYAAN RELIGI

Dalam Perang Bangkat terdapat persyaratan (Ubo Rampe) yang mana hal tersebut adalah sebuah simbol kepercayaan yang memiliki makna mendasar untuk hidup berumah tangga. Adapun persyaratannya adalah:

 Bantal guling yang diikat dalam tikar. 

Bantal guling itu haruslah lembut yang mana makna dalam simbol ini adalah bahwa setiap manusia yang berumah tangga haruslah saling menghargai, memahami, dan mengingatkan satu sama lain, serta diharapkan memiliki sifat yang lembut apabila mengalami suatu masalah rumah tangga. 

Bantal diibaratkan sebagai seorang wanita, dan guling diibaratkan sebagai seorang pria. Sedangkan tikar bermakna bahwa pasangan suami istri tersebut sudah hidup menjadi satu dan saling melengkapi. Adapun tali pengikatnya adalah kain kafan yang bermakna kehidupan rumah tangga yang sudah menjadi satu tersebut dapat sejahtera dan awet sampai ajal menjemputnya. Jadi persyaratan ini dipercaya menjaga keharmonisan dan kesejahteraan rumah tangga.

Ekrak
Ekrak adalah sebutan untuk alat-alat dapur dan hasil bumi yang diikat dalam sebuah bambu yang tersusun rapi dan dipikul. Alat-alat dapur bermakna pastilah seorang wanita untuk berumah tangga harus bisa memasak, dan menyiapkan kebutuhan pangan keluarganya. 

Sedangkan hasil bumi bermakna semua makanan yang didapat ialah rezeki berupa hasil bumi (beras, ubi, kacang, ikan, sayur,dll) yang dianugerahkan oleh sang pencipta kepada mahluknya. Sehinnga persyaratan ini dipercaya bisa m

Ekrak terdiri atas 3 bagian nama yang masing-masing bagian memiliki makna.

Perahu layar yang berarti dipikul sambil berjalan, yang bermakna bahwa ada sebuah tanggungan (suami istri yang berumah tangga) yang harus dipikul dan dilaksanakan (berjalan) terus menerus sampai pasangan suami istri meninggal tanpa campur tangan orang tua (menjalankan perahu /kehidupan sendiri).

Penjawangan yang berarti diletakkan di tanah (menerima rezeki), yang bermakna bahwa setiap rumah tangga memiliki perahu (rumah) atau kehidupan sendiri. Sehingga apabila ada rezeki yang datang menghampiri keluarga tersebut pastilah mudah untuk menemukan rumahnya dan menerima rezeki yang datang baik dari keluarga maupun orang lain.

Cangkalangan yang berarti ekrak tersebut harus dipikul dengan seimbang, yang bermakna bahwa dalam berumah tangga harus saling meredam keegoisan masing-masing (saling menghargai) guna mendapatkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah.

Kampil Putih (ponjen)
Kampil putih terdiri dari beras kuning dan beberapa lembar uang yang diikat dan dibungkus atau dikantongi dengan kain. Ponjen memiliki makna bahwa puji syukur kepada sang pencipta telah diberikan jodoh, dan bersyukur telah direstui oleh orang tua. 

Beras kuning adalah bahan utama untuk pangan, dan uang yang diikat maknanya adalah pasangan itu telah resmi menikah (dibuktikan dengan surat dan buku nikah) dan suami harus menafkahi istri dan keluarganya. Sedangkan dibungkus atau dikantongi maknanya adalah apabila istri sudah dinafkahi oleh suami maka sang istri harus pintar mengelola uang agar tidak boros dan dipercaya kehidupannya tercukupi.

 Kembang Pitungwarna
Kembang (bunga) pitungwarna ini terdiri dari kembang kemuning, kembang jambe, alang-alang, kembang andong, gedang sri, kelapa, dan beras yang ditempatkan ditalam yang ditutupi oleh sribit atau kain. Hal ini bermakna bahwa meskipun kehidupan bermasyarakat yang berbeda-beda harus tetap menjaga kerukunan antar sesama masyarakat yang diwadahi oleh tatanan lingkungan sekitar dan dilindungi oleh ketua masyarakat atau lurah. 

Beras dan kelapa maknanya setiap rumah tangga pasti bertetangga dan saling tolong menolong memberikan fitrahnya kepada orang yang tidak mampu, dan dipercaya menjaga silaturahmi antar sesama. Sedangkan gedang sri maknanya adalah dipercaya dan diharapkan agar sang suami selalu mengingat sang istri yang sudah merawatnya, menanti dan memasakkannya setelah kembali bekerja. Adapun bunga-bunga yang dipilih hanya sebagai pilihan warna bunga yang menarik dan berbeda-beda.

Selain persyaratan yang memiliki makna dan kepercayaan, pusaka yang digunakan untuk berperang juga memiliki makna dan kepercayaan pula. Adapun pusaka perang yakni :

Ayam 
Ayam yang ditarungkan adalah ayam jantan dan ayam betina yang maknanya sayap ayam tersebut sebagai simbol untul terbang dan dipercaya sepasang suami istri harus mendapatkan rezeki, khususnya suami harus menafkahi keluarganya guna mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Telur 
Dua buah telur ayam kampung ini ditarungkan agar telur ini pecah yang maknanya adalah telur yang masih utuh diibaratkan sebagai keluarga masing-masing pengantin. Ketika telur itu pecah dipercaya bahwa telah direstuinya kedua mempelai untuk mengarungi rumah tangga dan disebarkan atau diumumkan acara pernikahannya ke sanak keluarga dan masyarakat agar tidak terjadi fitnah.

Erus dan Siwur 
Erus (sendok sayur) merupakan pusaka dari mempelai pria, yang maknanya adalah sebagai simbol bahwa hanya ada satu lelaki untuk satu perempuan, dan dipercaya bahwa apapun halangannya bisa atau tidak bisa harus tetap menikah. Sedangkan Siwur (gayung mandi) merupakan pusaka dari mempelai wanita, yang maknanya adalah kiroto boso (kuto nganggo cerito), desomawacara, jer basuki mawabeyo. Hal ini dipercaya bahwa perbedaan kelahiran, asal tempat, bahasa, daerah, dll dari kedua mempelai bukan menjadi penghalang berjodohnya pasangan tersebut.

Kelapa 
Kelapa diibaratkan kerbau tanpa tanduk dan ditarungkan sampai pecah, yang maknanya adalah setiap laki-laki berhak mencintai seorang wanita manapun, begitu juga sebaliknya. Namun harus ada satu lelaki atau wanita yang akan menjadi teman hidupnya. Sebab pecahnya kelapa tersebut dipercaya menandakan bahwa setiap laki-laki atau wanita yang saling mencintai sudah dibuka jodohnya oleh Tuhan yang maha kuasa.

Selain itu, ada pula nama -- nama raja dan ratu yang diberikan oleh dalang dan memiliki makna dan kepercayaan juga. Adapun sebutan tersebut antara lain :

Prabu Sekintal 
Prabu Sekintal adalah sebutan bagi mempelai pria yang maknanya adalah jika istrinya pintar memasak, apapun banyak keinginannya suami pastilah mudah untuk dibuatnya. Hal ini dipercaya bahwa istri harus pintar menjaga suami dari pengaruh buruk lingkungannya.

Raden Dunyo 
Raden Dunyo (dunia) juga merupakan sebutan bagi mempelai pria yang maknanya adalah laki-laki (suami) itu sebagai pemimpin dalam keluarga yang menjaga dan menafkahi keluarganya selama hidupnya. Hal ini dipercaya bahwa setiap rumah tangga haruslah mempunyai bekal untuk hidup terutama suami harus mencari nafkah guna berlangsungnya kehidupan manusia.

Panji Asmoro Bangun
Panji Asmoro (asmara) Bangun juga sebutan mempelai pria yang maknanya adalah seorang laki-laki tentu menjadi kesenangan (rasa cinta dan sayang) bagi setiap perempuan. Hal ini dipercaya bahwa kesenangan tersebut menggugah (membangunkan) hati perempuan untuk bisa menerima lamaran sang pujaan hati (lelaki) dan menjadikannya teman hidup.

Dewi Sekilo
Dewi Sekilo adalah sebutan mempelai wanita yang maknanya adalah jika wanita tidak bisa memasak, apapun banyak (disimbolkan satu kilo) keinginan suaminya pastilah akan berat. Hal ini dipercaya bahwa istri harus pintar menjaga keinginan suaminya terutama dalam hal memasak agar suaminya betah dirumah.

Dewi Rejeki
Dewi Rejeki juga merupakan sebutan mempelai wanita yang maknanya adalah seorang wanita (istri) merupakan rejeki jodoh suami yang mana istri mengatur segala urusan rumah tangga dan juga menjadi faktor pendukung kesuksesan suami. Hal ini dipercaya bahwa istri yang patuh pada suami, mampu menjaga diri dari pengaruh buruk lingkungan, dan pintar mengatur urusan rumah tangga merupakan rejeki yang diberikan sang pencipta kepada sang lelaki (suami).

Sekartaji
Sekartaji pula merupakan sebutan mempelai wanita yang maknanya sekar itu bunga dan taji itu sari dari bunga tersebut. Makna ini dipercaya bahwa setiap wanita (diibaratkan bunga) apabila sudah memasuki usia matang berarti siap untuk menikah dan berumah tangga, serta harus patuh kepada suami agar keharmonisan keluarga terjaga seperti pengantin baru.

 Galuh Ati Candra Kirana
Galuh Ati Candra Kirana juga sebutan nama untuk mempelai wanita yang mana galuh itu bermakna memikat. Sedangkan ati maknanya hati, candra kirana maknanya tempat terjauh yang sekiranya tidak bisa dijangkau. Makna tersebut dipercaya bahwa setiap wanita memikat hati para lelaki dan ingin menikahinya. Kalau lelaki itu sudah cinta (sudah terpikat hatinya) sampai kemanapun wanita itu berada pasti dikejarnya sampai ia mendapatkannya (menikahinya).

Makna-makna diatas merupakan simbol dari suatu kepercayaan masyarakat yang mana sudah menjadi filosofi suggesti tersendiri dengan tetap berpegang teguh kepada Allah S.W.T atau Tuhan semesta alam yang telah menjodohkan sepasang manusia untuk menjadi suami istri (menikah) sesuai sunnah nabi Muhammad S.A.W guna mengembangbiakkan keturunan (khalifah) dan mendapatkan sumber daya manusia yang cerdas, jujur, adil, dan amanah baik di dunia maupun diakhirat. Serta memberi pesan moral kepada suami istri yang dipercaya supaya menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah.

dokpri
dokpri
KESIMPULAN

Perang Bangkat merupakan tradisi pernikahan suku Osing yang mana tradisi ini dilakukan apabila anak sulung berjodoh dengan anak bungsu, anak bungsu berjodoh dengan anak bungsu, dan anak sulung berjodoh dengan anak sulung. 

Dinamakan perang bangkat karena adanya sebuah sanggahan keluarga yang menginginkan anaknya mendapatkan pria sejati yang mampu mencintai, menyayangi, dan mencukupi kebutuhan dunia akhirat.

Perang Bangkat berarti "Perang Argumentasi" yang di pimpin oleh seorang dalang. Dalam hal ini, pengantin pria disebut raja dan pengantin wanita disebut ratu. Sedangkan dalang diibaratkan sebagai panglima perang dari seorang raja dan ratu. 

Tradisi bermakna bahwa setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan apabila sudah memasuki usia yang matang untuk melakukan sebuah pernikahan pasti memiliki sebuah argumen untuk bisa hidup bersama. Argumen ini muncul ketika seorang lelaki ingin meminang seorang wanita yang dicintainya, pastilah ada campur tangan masing-masing pihak keluarga. Dalam hal ini masing-masing keluarga beragumentasi untuk kebaikan sang anak.

Perang Bangkat ini membawa pesan moral kepada sang pengantin yang bermakna bahwa orang tua (keluarga) menginginkan anaknya dipinang oleh lelaki yang sangat baik dan bisa membawa nya kedalam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah. Dan juga pesan ini mengingatkan bahwa didalam suatu hubungan harus saling setia, melengkapi, menghormati, dan patuh pada suami sesuai ajaran agama yang dianutnya. 

Persyaratan (Ubo Rampe) itupun juga merupakan simbol dari pesan moral yang maknanya membawa pengantin masuk kedalam dunia masyarakat yang kompleks tanpa campur tangan orang tua. Disebutkan bahwa Ubo Rampe tersebut harus ada dan terpenuhi serta menjadi cikal bakal pegangan hidup untuk berumah tangga.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun