Mohon tunggu...
Dini Amelya Putri
Dini Amelya Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengikuti tren melalui situs portal berita.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Konflik "Fatherless" dan Cuti di Indonesia

8 Juni 2024   23:48 Diperbarui: 8 Juni 2024   23:49 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah ‘Fatherless’ banyak dikeluhkan oleh orang-orang terutama Gen-z yang merasakan hal ini. Fatherless sendiri dapat diartikan sebagai kondisi dimana seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari sosok ayah. 

Kondisi tersebut akan berdampak pada masa selanjutnya yaitu anak akan mencari perhatian lain dari seseorang agar perhatiannya dapat tercukupi. Menyikapi hal tersebut tentu ada kaitannya dengan peran sosok ayah dalam kehidupan. 

Anak dapat memiliki ikatan yang baik dengan ayahnya apabila diberikan perhatian yang baik oleh ayahnya sejak dari lahir yang selalu mendampingi.

Menilik pada saat ini banyaknya massa yang berkomentar bahwa kurang mendapatkan peran ayah dalam hidupnya perlu dilakukan analisa mengenai masalah ini. 

Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan melihat peran ayah saat lahirnya anak. Sayangnya, di Indonesia tidak mendukung sepenuhnya untuk ayah dapat selalu hadir di sisi anak menemani istri yang telah melahirkan. 

Hal tersebut terdapat pada Pasal 4 ayat (3) UU KIA yang dikatakan bahwa syarat cuti melahirkan sampai 6 bulan menurut UU KIA aturan ibu melahirkan bisa mendapat cuti sampai enam bulan. Paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan jumlah waktu cuti ayah yang dijelaskan pada Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang saja disahkan DPR RI. Dalam undang-undang itu, suami mendapat hak cuti maksimal tiga hari untuk mendampingi istri yang melahirkan. 

Negara memang sudah memberikan perhatian atas kelahiran tiap anak dari warga negaranya, namun dapat diperhatikan kesenjangan waktu yang diberikan. Padahal, seorang istri yang sudah melahirkan juga membutuhkan peran suaminya untuk dapat membantu begitu pula dengan anaknya.

Kondisi tersebut dinilai sebagai stereotype pada masyarakat yang menimbulkan kurangnya perhatian ayah pada anak karena merasa sudah dipenuhi oleh satu pihak yaitu dari ibu. 

Padahal peran ayah benar-benar perlu dalam pendampingan tumbuh kembang seorang anak. Anak akan merasa lebih terarah dan tenang apabila mendapat perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya. 

Alangkah lebih baik apabila ada pembenahan revisi terkait undang-undang yang mengatur tentang waktu cuti suami menemani istri yang melahirkan menjadi lebih panjang yang memiliki tujuan supaya dapat menjadi pupuk pemikiran awal dan kaitan tanggung jawab dengan anak yang telah dilahirkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun