Author: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H.
(Managing Partner of Gading & Co. Law Firm / www.gadingco.com)
Apakah anda pernah menonton film lawas yang berjudul "12 Angry Men"?
Bagi banyak pecinta film (dari berbagai genre), film yang tayang pada tahun 1957 ini sangat layak untuk dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri, karena hingga saat ini, "12 Angry Men" masih menduduki rating peringkat 5 tertinggi di IMDB, dengan skor 8,9/10.
Sinopsis "12 Angry Men"
Film ini menceritakan 12 orang juri yang dihadapkan dalam suatu keadaan pelik, karena mereka harus memutus bersalah atau tidaknya seorang remaja yang diseret ke "meja hijau" atas dugaan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri. (Catatan: Berbeda dengan Indonesia, vonis pengadilan di Amerika Serikat tidak ditentukan oleh hakim, melainkan oleh juri).
Secara aturan hukum, si anak yang menjadi Terdakwa tersebut haruslah dijatuhi vonis mati. Menyikapi aturan hukum tersebut, pada bagian awal diskusi kita akan melihat 11 orang juri dengan mudahnya setuju agar anak tersebut di vonis mati.
Namun berbeda dengan 11 juri lainnya, Henry Fonda (juri 8) justru meminta agar rekan-rekannya dapat menelisik lebih dalam lagi mengenai fakta yang sebenarnya berdasarkan alat bukti yang ada, yang disesuaikan dengan keterangan si anak, guna menghindari vonis keliru. Terdapat suatu keraguan yang wajar dalam peristiwa ini, dikarenakan salah seorang saksi mengatakan pembunuhan ini tidak dilakukan oleh si anak tersebut, melainkan oleh orang lain.
Walaupun saksi tersebut benar-benar melihat secara langsung kejadian pembunuhan tersebut, namun sangat disayangkan, 11 juri lainnya tidak terlalu percaya pada keterangannya. Hal tersebut dikarenakan saksi tersebut adalah seorang yang cacat mental, sehingga keterangannya dikhawatirkan tidak objektif.
Singkat cerita, setelah melalui perdebatan yang pelik sesama juri, dengan menguraikan setiap fakta yang ada, sikap kokoh Henry Fonda akhirnya membuat satu per satu rekannya mulai merubah sikapnya, dan menyatakan dengan keputusan bulat bahwa si anak tidak bersalah atas dakwaaan pembunuhan terhadap ayahnya. Si anak pun akhirnya divonis bebas, dan lolos dari hukuman mati.
Lebih Baik Membebaskan 10 Orang Yang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Yang Tidak Bersalah
Senada dengan cerita film di atas, seorang filsuf Inggris bernama William Blackstone, dalam bukunya yang berjudul "Commentaries on the Laws of England", menyatakan, "Lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah".
Hal yang ingin disampaikan lewat asas ini adalah jangan sampai seorang hakim keliru dalam menjatuhkan suatu putusan. Hakim jangan sampai menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Ketika muncul keragu-raguan pada benak hakim, maka hakim wajib untuk menjatuhkan vonis yang paling menguntungkan bagi Terdakwa.
Di Indonesia hal tersebut terkandung dalam asas hukum in dubio pro reo, yang menyatakan, "jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa bersalah atau tidak, maka hakim wajib menjatuhkan vonis yang paling menguntungkan bagi Terdakwa, yaitu vonis bebas".
Realita Hukum Di Indonesia (Contoh Kasus)
- Perkara Sengkon dan Karta
Pada tahun 1974, keduanya dituding sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan terhadap pasangan suami istri bernama Sulaiman dan Siti Haya. Setelah melalui proses penyiksaan yang tak tertahankan, akhirnya Sengkon dan Karta terpaksa membuat pengakuan telah membunuh Sulaiman dan Siti Haya, yang membuat keudanya harus menghadapi proses persidangan di pengadilan.Singkat cerita, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi, Hakim menjatuhkan hukuman pidana 12 tahun penjara terhadap Sengkon dan 7 tahun penjara terhadap Karta atas dakwaan pembunuhan dan perampokan.
Namun, setelah beberapa tahun menjalani hukuman di Lapas Cipinang, seorang penghuni lapas bernama Gunel mendatangi Sengkon dan Karta, dan mengaku sebagai pelaku sebenarnya. Pengakuan Gunel menguak fakta bahwa Sengkon dan Karta tidak terlibat dalam kasus ini dan telah dikriminalisasi.
Kemudian, melalui upaya hukum Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, Sengkon dan Karta dinyatakan tidak bersalah dan bebas pada tanggal  4 November 1980.
- Perkara Jesicca Kumalawongso
Pada Oktober 2016, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 20 tahun penjara terhadap Jesicca Kumalawongso atas kejadian yang terjadi di Kafe Olivier, Grand Indonesia, yang menewaskan Wayan Mirna Salihin. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan Terdakwa Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan Berencana dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) Tahun.
Dalam kasus ini, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, tidak ada alat bukti maupun saksi yang secara eksplisit mampu membuktikan bahwa Jessica adalah orang yang telah memasukkan racun sianida ke dalam kopi Vietnam yang diminum oleh Mirna.
Putusan ini dikritisi oleh para pakar hukum, praktisi hukum, akademisi dan masyarakat luas. Salah satu hal yang menjadi perdebatan adalah kurangnya alat bukti sebagai dasar penjatuhan putusan. Hakim terlihat hanya menggunakan keyakinannya.
Pada dasarnya, seorang hakim seharusnya mempertimbangkan putusan berdasarkan bukti yang jelas, sebagaimana disebutkan dalam Asas In Criminalibus, Probationes Bedent Esse Luce Clariore, yang berarti "dalam perkara pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya atau seterang cahaya".
Maka, seharusnya berlaku Pasal 183 KUHAP, yang melarang hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Walaupun Jesicca Kumala Wongso telah bebas bersyarat setalah menjalani hukuman 8,5 tahun, namun sampai saat ini Jesicca tidak pernah mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya, sehingga putusan hakim yang menjatuhkan putusan bersalah terhadap Jesicca masih dianggap suatu tanda tanya besar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hakim Jangan Asal Vonis, Dong!
Beruntung bagi mereka yang perkaranya mendapatkan atensi publik, sehingga penegak hukum mendapatkan tekanan untuk mendudukkan perkara sebagaimana mestinya. Lantas, bagaimana nasib orang-orang yang dikriminalisasi, namun perkaranya tidak tersorot? Tentu saja hal tersebut akan sangat merugikan.
Sangat disayangkan kejadian salah tangkap maupun penjatuhan putusan bukan atas dasar bukti yang jelas masih terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Mungkin para Terpidana masih bisa dianggap beruntung karena tidak dijatuhi hukuman mati. Seandainya mereka dijatuhi hukuman mati dan telah dieksekusi, lalu beberapa waktu kemudian ternyata yang dihukum mati tersebut dinyatakan tidak bersalah, lalu apakah putusan yang keliru di atas dapat menghidupkan mereka kembali? Hukum di Indonesia mungkin bisa memulihkan nama baik para Terpidana, namun tidak dengan nyawanya.
Mari kita tunggu pengungkapan kasus "Vina Cirebon". Ditengah hiruk pikuk yang terjadi, menguat isu bahwa seluruh Terpidana dalam kasus ini telah dikriminalisasi, pasca adanya keterangan dari seorang yang bernama Dede yang telah mengaku memberikan keterangan palsu pada tahap penyidikan kasus tersebut.
Perkara ini harus diungkap dengan sejelas-jelasnya, supaya 7 orang Terpidana yang masih mendekam di dalam penjara bisa mendapatkan keadilan seandainya mereka tidak bersalah.
Untuk menghindari terjadinya salah tangkap ataupun penjatuhan putusan yang tidak memiliki bukti-bukti yang jelas, maka sebaiknya para penegak hukum melakukan introsepeksi diri dan lebih berhati-hati dalam menjatuhkan vonis.
Semoga bermanfaat.
Jika anda memerlukan konsultasi lebih lanjut, silahkan menghubungi nomor ponsel 0811 9331 011 (Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H) atau kunjungi website www.gadingco.com.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H