Mohon tunggu...
Gading Satria Nainggolan
Gading Satria Nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara pada Gading and Co. Law Firm

Seorang pengacara yang telah berkarir di dunia hukum sejak 2010. Memiliki ketertarikan untuk menuliskan buah-buah pikir saya terhadap persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang hukum. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kiranya setiap tulisan saya memberikan wawasan baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Hukum bagi Pembeli yang Baik

8 Juli 2024   16:19 Diperbarui: 8 Juli 2024   16:19 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Author: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H. (Managing Partner of Gading & Co. Law Firm)

Proses jual beli dapat terjadi karena adanya kata sepakat di antara penjual dengan pembeli untuk melakukan suatu transaksi. Kesepakatan itu adalah mengenai penjual yang akan menyerahkan objek yang dijual kepada pembeli, sementara di sisi lain, pembeli akan menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sebagai penggantian nilai dari barang yang dibeli dari penjual.

Namun, setelah terlaksananya suatu transaksi, sering kali terdapat permasalahan di antara penjual dengan pembeli, yang dikarenakan salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli, merasakan adanya tindakan dari pihak lain yang telah merugikan dirinya di dalam proses jual beli tersebut. Bahkan tidak jarang permasalah dalam jual beli tersebut berujung menjadi sengketa di meja hijau (pengadilan).

Salah satu permasalahan dalam transaksi jual beli yang sering kali berujung pada proses hukum di pengadilan adalah jual beli tanah dan bangunan. Proses jual beli tanah dan tangunan memang sangatlah kompleks karena melibatkan suatu objek benda tidak bergerak yang memiliki banyak sekali aspek hukum. Aspek hukum yang biasanya melekat pada tanah dan bangunan adalah hukum waris, hukum perdata, hukum pidana, dan lain sebagainya. Transaksi jual beli benda tidak bergerak jelas sangat berbeda dengan transaksi jual beli benda bergerak yang relatif jauh lebih mudah dan murah, karena pada umumnya dapat dilakukan secara seketika pada saat beralihnya objek jual beli.

Apabila dilihat dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dari website setiap pengadilan yang ada di seluruh Indonesia, setiap tahun buku yang baru akan selalu ada sengketa pertanahan. Namun dalam artikel ini, sengketa yang dimaksudkan terbatas pada sengketa yang terjadi karena adanya pihak yang keberatan (menggugat) atas terjadinya proses jual beli terhadap tanah dan/atau bangunan tersebut.

Contoh Kasus

Salah satu contoh kasus yang timbul dari sengketa jual beli tanah dan/atau bangunan disebabkan oleh bermasalahnya tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek jual beli tersebut. Misalnya saja, penjualan atas tanah dan/atau bangunan yang dibeli oleh pembeli tersebut ternyata belum mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli waris yang sah.

Hal tersebut bisa saja disebabkan oleh ulah dari penjual yang dengan sengaja tidak memberitahukan akan dijualnya objek tanah dan/atau bangunan yang merupakan harta warisan dari orang tua mereka. Secara diam-diam penjual menjual harta warisan tersebut tanpa mencantumkan nama seseorang atau beberapa orang ahli waris yang seharusnya menjadi pihak yang turut menjual.

Atau dalam beberapa kasus, ada juga pencantuman tanda tangan palsu yang dilakukan oleh penjual, yang mana seolah-olah tanda tangan tersebut benar-benar ditandatangani oleh seluruh ahli waris yang sah, padahal tanda tangan tersebut dipalsukan oleh penjual seorang diri.

Bahkan ada juga objek tanah dan/atau bangunan yang menjadi alat bukti di pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi, yang mana tanah dan/atau bangunan tersebut ternyata sebelumnya dibeli oleh si penjual menggunakan hasil tindak pidana korupsi.

Atau dengan berbagai macam permasalahan hukum lainnya.

Lantas jika hal tersebut terjadi, apakah pembeli akan kehilangan haknya atas tanah dan/atau bangunan yang telah dibeli tersebut?

Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Yang Beriktikad Baik

Pada prinsipnya, hukum akan melindungi pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli. Tidak hanya terbatas pada tanah dan/atau bangunan, transaksi terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak lainnya pun akan mendapatkan perlindungan sepanjang adanya iktikad baik. (Namun dalam artikel ini yang akan saya bahas adalah mengenai transaksi jual beli trahadap tanah dan/atau bangunan).

Beberapa praktisi hukum kenamaan Indonesia memberikan pengertian pembeli yang beriktikad baik sebagai berikut:

"Pembeli yang beriktikad baik diartikan sebagai pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik" (Subekti).

"Pembeli yang beriktikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu" (Ridwan Khairandy).

"Pembeli yang beriktikad baik adalah orang yang jujur dan tidak mengetahui cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu" (Agus Yudha Hernoko).

Mahkamah Agung Republik Indonesia menegaskan salah satu prinsip dalam perjanjian jual beli, yaitu "pembeli yang beriktikad baik harus selalu dilindungi". Konsekuensinya, perjanjian jual beli yang dilakukan pembeli yang beriktikad baik dengan seorang penjual harus dianggap sah. Jika ada yang dirugikan akibat transaksi itu, maka hak-hak pembeli yang beriktikad baik harus dilindungi hukum.

Sikap dan pandangan tersebut dapat dilihat dari beberapa produk Mahkamah Agung Republik Indonesia, antara lain: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 251 K/Sip/1958, tanggal 26 Desember 1958; Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1267 K/Pdt/2012, tanggal 31 Mei 2017; Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.7 Tahun 2012, butir ke-IX; dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016.

Syarat Untuk Dapat Disebut Sebagai Pembeli Yang Beriktikad Baik (Berdasarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2016):

Untuk mendapatkan perlindungan hukum atas pembelian tanah dan/atau bangunan yang bermasalah, melalui putusan pengadilan, pembeli atas tanah dan/atau bangunan tersebut wajib memenuhi karakteristik sebagai pembeli yang beriktikad baik, antara lain sebagai berikut:

"Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KHUPerdata adalah sebagai berikut:

a.  Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:

  • Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau:
  • Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997; atau
  • Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
    • dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa/Lurah setempat).
    • didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
  • Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

b.  Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, yaitu melakukan pengecekan terhadap antara lain:

  • Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya; atau
  • Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau
  • Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan; atau
  • Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Dengan demikian, sekalipun terbukti bahwa penjual bukan merupakan penjual yang berhak atas tanah dan/atau bangunan tersebut, ataupun jika ternyata terbukti jual beli tersebut mengandung cacat secara hukum, sepanjang pembeli memenuhi kriteria di atas maka pembeli akan tetap mendapatkan perlindungan secara hukum. Salah satu yang umum terjadi adalah pembeli meminta pengembalian dana dari penjual, yang biasanya disertai dengan permintaan ganti kerugian kepada penjual. Dengan adanya putusan pengadilan, pembeli memiliki bergaining power dengan menyatakan kepada siapapun bahwa dirinya akan tetap menguasai tanah dan/atau bangunan tersebut sepanjang belum mendapatkan pengembalian dana dan/atau ganti kerugian.

Demikian penjabaran saya, semoga bermanfaat.

Jika anda memerlukan konsultasi lebih lanjut, silahkan menghubungi nomor ponsel 0811 9331 011 (Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H)

 

Dasar hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  • Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 251 K/Sip/1958, tanggal 26 Desember 1958;
  • Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1267 K/Pdt/2012, tanggal 31 Mei 2017;
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.7 Tahun 2012, butir ke-IX;
  • Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun