Mohon tunggu...
Dinda Mutia Khaerun Nisa
Dinda Mutia Khaerun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti

Mahasiswa Magister Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Partai Politik dan Isu Kuota 30% Perempuan dalam Keterwakilan Politik

30 Juni 2021   18:17 Diperbarui: 30 Juni 2021   18:56 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, perempuan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan elit partai atau pejabat dianggap kurang potensial. Tidak bisa dipungkiri bahwasannya dalam politik di Indonesia, pengaruh bibit (asal-usul seseorang seperti keluarganya) merupakan hal yang sangat diperhitungkan. Mereka yang berasal dari keluarga politisi akan mendapatkan kemudahan baik itu dari sisi nomor urut, sosialisasi dan dukungan masyarakat. 

Tidak jarang terdengar percakapan dari akar rumput seperti, “Oh si X ini keponakannya Ketua Umum A, modalnya pasti banyak nih ayo kita dukung.” “Si Y ini anaknya Bupati B loh, kalau kita dukung mudah-mudahan saja sumbangannya makin besar.” Faktor kerabat yang melekat ini bagi masyarakat Indonesia memiliki pengaruh yang besar bagi keterpilihan seseorang. Sementara para aktivis perempuan akar rumput yang tumbuh dan berproses dari LSM, organisasi kemahasiswaan-kepemudaan, pergerakan, meskipun memiliki kompetensi begitu berhadapan dengan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan akan menghadapi kesulitan mendapat kepercayaan rakyat.

Sedangkan ketiga, sistem nilai patriarki yang dibalut dengan faktor budaya dan agama. Harus diakui dari sekian banyak alasan perempuan belum mampu memenuhi kuota adalah kuatnya faktor budaya dan agama di masyarakat Indonesia. Persepsi yang tertanam kuat di masyarakat adalah perempuan sebagai pendamping laki-laki dan bukan sebagai pemeran utama. Paradigma ini tentu saja sangat menghambat pergerakan perempuan yang ingin mendarmabaktikan waktu, tenaga dan pikiran mereka bagi kebaikan bangsa dan negara. 

Secara umum masyarakat menilai bahwa sosok yang seharusnya memainkan peran publik adalah laki-laki, terlebih di sektor politik dimana hajat hidup orang banyak diatur didalamnya. Perempuan memang diizinkan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan menjadi pintar, tetapi begitu memasuki fase perkawinan maka masyarakat mengharapkan perempuan untuk berada di ranah privat mengurus keluarga dan mendukung suami. Tidak sedikit juga kita temui di masyarakat perempuan yang berkata  “ aduh, perempuan mah jangan ngurusin politik, itu urusan laki-laki.” 

Selain itu juga laki-laki takut menjadi pembicaraan warga bilamana istrinya lebih berhasil dari dirinya, sehingga tidak sedikit juga yang kemudian enggan membiarkan perempuan berkarya dan menapaki karir setinggi-tingginya. Bahkan jika merujuk pada sebuah pepatah yang menyatakan “di balik pria hebat ada pula wanita hebat” haruslah diubah menjadi “di samping pria yang hebat ada juga perempuan hebat.” Pasalnya, perubahan kata “balik” menjadi “samping” terkesan merupakan hal yang sederhana, tetapi penulis beranggapan bahwa hal itu justru mengandung makna yang sangat substansial dalam mendorong terciptanya konstruksi sosial mengenai gender yang lebih berimbang dalam kehidupan masyarakat.

Dinda Mutia Khaerun Nisa

Fakultas Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun