Mohon tunggu...
Dinda maharani
Dinda maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Manusia yg sangat periang, itu aku ..

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Reformasi Pajak: Membangun Fondasi yang Kokoh Untuk Kesejahteraan Bersama

3 April 2024   23:08 Diperbarui: 3 April 2024   23:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamualaikum semuanya ...
Salam Sejahtera untuk kita semua, semoga kita selalu di Karuniai hal hal baik di dunia, aamiin

Perkenalkan nama saya dinda ...
Ijinkan saya untuk menulis opini, semoga apa yg saya tulis bisa menjadi gambaran ataupun bisa menjadi penambah pembelajaran yang di pelajari

opini yang saya buat ini yang berjudul "Reformasi Pajak : Membangun Fondasi Yang Kokoh Untuk Kesejahteraan Bersama"

Baik, jadi Direktorat Jenderal Pajak menggulirkan reformasi administrasi perpajakan jangka menengah sejak
tahun 2002, dengan tujuan tercapainya: tingkat kepatuhan yang tinggi, tingkat kepercayaan terhadap
administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas pegawai yang tinggi. Program dan kegiatan
reformasi administrasi perpajakan memiliki ciri yang khusus antara lain struktur organisasi
berdasarkan fungsi, perbaikan pelayanan bagi setiap wajib pajak melalui pembentukan complain
center untuk menampung keberatan wajib pajak,2020 | Jurnal Akuntansi, Keuangan, dan Manajemen/ Vol 1 No 2, 135-154.136
Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi
pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan
globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. 

Tingkat keberhasilan sebuah program
reformasi ekonomi itu sangat tergantung pada dua hal, yaitu kebijakan pajak mendapat kepercayaan
(credibility of policy) dan kredibilitas pembuat kebijakan (credibility of policy makers).
Menurut (Rahayu, 2014) tujuan dari reformasi administrasi perpajakan adalah bahwa
administrasi perpajakan yang ada disuatu negara mengimplementasikan struktur perpajakan yang
efisien dan efektif, guna mencapai sasaran penerimaan pajak yang optimal. Hal ini meliputi
pengembangan sumber daya manusia baik peningkatan kuantitas dan kualitas pegawai pajak maupun
peningkatan kesadaran wajib pajak untuk patuh dalam kewajiban perpajakannya. Selain itu juga
pengembangan teknologi informasi pada instansi perpajakan untuk mengimbangi keberadaan
teknologi informasi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh Wajib Pajak untuk menjawab tantangan
globalisasi. Kemudian masalah perbaikan struktur organisasi instansi pajak, proses dan prosedur
administrasi perpajakan, serta sumber daya finansial bagi pengembangan sarana dan prasarana yang
menunjang perbaikan secara menyeluruh sistem perpajakan dan insentif yang cukup bagi pegawai
pajak.

 Menurut (Nasucha, 2014), empat dimensi reformasi administrasi perpajakan, sebagai berikut :
1. Struktur organisasi
Unsur yang berkaitan dengan pola-pola peran yang sudah ditentukan dan hubungan antar
peran, alokasi kegiatan kepada sub.unit terpisah, pendistribusian wewenang diantara posisi
administratif, dan jaringan komunikasi formal.
2. Prosedur organisasi
Prosedur organisasi berkaitan dengan proses komunikasi, pengambilan keputusan,
pemilihan prestasi, sosialisasi dan karier. Pembahasan dan pemahaman prosedur organisasi
berpijak pada aktivitas organisasi yang dilakukan teratur
3. Strategi organisasi
Sikap pandangan dan tindakan yang bertujuan memanfaatkan segala keadaan, faktor,
peluang, dan sumber daya yang ada sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi dapat
dicapai dengan berhasil dan selamat. Strategi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola
arus keputusan yang bermakna.
4. Budaya organisasi
Budaya organisasi didefinisikan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang
berkembang dalam organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya
organisasi mewakili persepsi umum yang dimiliki oleh anggota organisasi.
Pengelolaan pajak di Indonesia berkembang dengan dinamis melalui perubahan seperti organisasi,
sistem, sarana dan prasarana kerja, peraturan maupun aparat yang mengelola pajak, telah memberikan
kontribusi yang meningkat bagi penerimaan negara. Reformasi perpajakan lebih banyak diartikan
sebagai kebutuhan akan regulasi perpajakan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat
dengan tarif pajak progresif, tetapi tidak tampak adanya upaya perubahan jaminan manfaat bagi wajib
pajak dari pembayaran pajaknya.

Menurut (Mardiasmo, 2016) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 

Pengertian
tersebut kemudian disempurnakan sehingga berbunyi, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak
rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Menurut Djajadiningrat dalam (Resmi, 2008), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan
sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan suatu hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung,
untuk memelihara kesejahteraan secara umum.

 Menurut Feldmann dalam (Resmi, 2008) Pajak adalah
prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang
ditetapkannya secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup
pengeluaran-pengeluaran. Menurut (Mardiasmo, 2016) dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
• Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi individual oleh
pemerintah.
Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
• Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

(Mardiasmo, 2016) menyatakan terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber
keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengatur).
• Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan dana yang diperlukan pemerintah
untuk membiayai pengeluaran belanja negara yang berguna untuk kepentingan
masyarakat.
• Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak berfungsi sebagai alat untuk memberikan kepastian hukum terutama dalam
menyusun undang-undang dan perlu diusahakan agar ketentuan yang dirumuskan
jangan sampai dapat menimbulkan interprestasi yang berbeda antara fiskus dan wajib
pajak.

Tata cara pemungutan pajak
Menurut (Waluyo & Wirawan, 2013) asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh
Adam Smith dalam bukunya Wealth Of Nations dengan ajaran yang terkenal “ The Four Maxims”
asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi
yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai
dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan
uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang
diminta.
• Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta
batas waktu penyampaian.
• Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan.
Sistem pemungutan pajak ini disebut Pay as You Earn.
 Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib
pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.

Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu Official assessment system,
Self assessment system, dan With holding system (Mardiasmo, 2016).
• Official assessment system
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan
sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang undangan perpajakan yang berlaku.
• Self assessment system
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak dalam menentukan sendiri
jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
• With holding system
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Reformasi administrasi perpajakan
Pengertian reformasi administrasi perpajakan
Pengertian Reformasi Perpajakan Menurut (Suandy, 2014) reformasi pajak dilakukan karena
Pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (tahun 1983) adalah
peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai
dengan struktur dan organisasi pemerintahan tidak berdasarkan Pancasila, dan tidak lagi sesuai dengan
perkembangan ekonomi, yang selama ini berlaku di Indonesia.

Tujuan utama pembaruan perpajakan nasional adalah untuk lebih menegakkan kemandirian
kita dalam membiayai pembangunan nasional. Dengan reformasi pajak diharapkan beban pajak akan
makin adil dan wajar, sehingga satu pihak mendorong wajib pajak melaksanakan kesadaran kewajiban
membayar pajak dan di lain pihak menutup peluang-peluang yang selama ini masih terbuka bagi wajib
pajak untuk menghindari wajib pajak. Dengan reformasi pajak diharapkan sistem pajak yang
sederhana dan mudah dimengerti oleh setiap wajib pajak. Untuk itu sistem pajak yang didasarkan pada
prinsip keadilan dan kewajaran, dan sistem pajak yang memberikan kepastian bagi setiap wajib pajak.
Reformasi perpajakan di Indonesia pertama diluncurkan tahun 1983 dengan digantikannya
sistem official assessment menjadi self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk
melaksanakan sendiri kewajiban pajaknya. 

Selanjutnya pada tahun 1994, reformasi pajak sebagai
upaya merespon globalisasi dunia yang semakin kuat. Perubahan khususnya secara teknis perpajakan
yang makin meengurangi kesenjangannya dengan praktik akuntansi yang dibarengi dengan regulasi
bidang perpajakan yang makin luas dan instrumen hukum yang lebih baik. Tahun 2000, kembali
pemerintah menyusun reformasi perpajakan yang merombak struktur badan peradilan pajak menjadi
badan peradilan independen yang tunduk pada struktur peradilan dibawah Mahkamah Agung.


Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar disegala aspek perpajakan. Menurut
(Satriyo, 2009), reformasi perpajakan yang sekarang menjadi prioritas menyangkut modernisasi
administrasi perpajakan jangka menengah (tiga hingga enam tahun) dengan tujuan tercapainya:
pertama, tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi. Kedua, kepercayaan terhadap administrasi
perpajakan yang tinggi, dan ketiga, produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.
Sebagaimana kondisi masyarakat yang selalu berubah dan tuntutan adanya reformasi disemua
bidang, kondisi dan situasi yang terjadi didalam proses pemberian pelayanan maupun penerapan
administrasi kepada wajib pajak juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Saat ini wajib pajak
sudah semakin kritis dalam melihat setiap perubahan kebijakan pemerintah terutama dalam bidang
fiskal. Kondisi ini mau tidak mau mengharuskan Direktorat Jendral Pajak untuk melakukan reformasi
dibidang perpajakan.

 Sebagaimana yang menjadi sasaran sejak tahun 2002, bahwa reformasiperpajakan secara komperhensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau
utama secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu: Bidang administrasi, Bidang peraturan, dan
Bidang pengawasan.
a. Bidang administrasi, yakni melalui modernisasi administrasi perpajakan.
b. Bidang peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap Undang-
    Undang perpajakan.
c. Bidang pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional.

Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan (loop holes) yang masih ada
dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini. Hal ini berkaitan dengan
maraknya bisnis yang berbasis digital mengikuti pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Sedangkan dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam
hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung
penguatan sektor UMKM yang merupakan pelaku utama ekonomi nasional.


UU HPP mencerminkan besarnya komitmen Pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan
fiskal secara menyeluruh. Perbaikan terus-menerus di sisi belanja melalui berbagai upaya
penguatan efisiensi dan efektivitas anggaran harus dibarengi dengan penguatan di sisi
pendapatan. ”Keberhasilan reformasi kebijakan fiskal sangat krusial karena mampu
memfasilitasi reformasi struktural lainnya, seperti reformasi di bidang kesehatan dan pendidikan
untuk penguatan modal manusia (human capital) serta keberlanjutan penguatan infrastruktur
(physical capital). Reformasi struktural akan membentuk fondasi bagi ekonomi yang semakin
tumbuh tinggi secara berkelanjutan ke depan untuk mencapai Indonesia Maju 2045, melalui
penciptaan iklim investasi dan bisnis yang kompetitif”, lanjut Febrio.


UU HPP juga akan menguatkan efektifitas fungsi APBN, yang meliputi fungsi alokasi, distribusi,
dan stabilisasi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Ketiga fungsi APBN tersebut
akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila ditopang oleh pendapatan negara yang kuat,
pengelolaan belanja negara yang berkualitas, dan pengelolaan pembiayaan yang inovatif dan
berkelanjutan. Fungsi alokasi terkait dengan penyedian berbagai pelayanan publik seperti
pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban serta sarana dan prasarana kegiatan
ekonomi lainnya. Sedangkan fungsi distribusi erat kaitannya dengan upaya pemerataan hasil hasil pembangunan, baik antar-penduduk maupun wilayah. Berbagai bentuk program bantuan sosial kepada keluarga miskin dan hampir miskin serta program pembangunan kawasan tertinggal dan terluar (perbatasan) merupakan contoh paling nyata pelaksanaan fungsi
distribusi APBN. Sementara itu, fungsi stabilisasi APBN menyangkut upaya-upaya Pemerintah
dalam penanggulangan krisis ekonomi, seperti langkah cepat dan darurat oleh Pemerintah
dalam rangka penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.


Pada hampir semua negara maju, perpajakan menjadi penopang pendapatan negara.
Keberhasilan reformasi perpajakan menjadi faktor dibalik tingginya angka rasio penerimaan
pajak terhadap PDB (tax ratio) di negara-negara maju tersebut. Sebagai ilustrasi, rata-rata tax
ratio di negara-negara OECD berdasarkan data World Development Indicators Bank Dunia
tahun 2019 mencapai 15,87% PDB. Oleh sebab itu, reformasi perpajakan dalam UU HPP
SP – 30 /BKF/2021

memperhatikan praktik-pratik administrasi dan kebijakan terbaik (best practices) yang berhasil
di dunia, disamping mengikuti dinamika bisnis terkini. Basis dari reformasi perpajakan yang ideal yang dilakukan melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. Di sisi pajak penghasilan (PPh), keadilan dan keberpihakan dalam
UU HPP tercermin pada (i) dukungan penguatan UMKM dengan memberikan batasan
peredaran bruto usaha tidak kena pajak sebesar Rp500 juta dan tetap mempertahankan diskon
PPh 50%, (ii) perbaikan progresivitas PPh Orang Pribadi (OP) dengan melebarkan rentang
penghasilan kena pajak s.d. Rp60 juta untuk lapisan tarif PPh OP terendah 5% dari yang
sebelumnya hanya s.d. Rp50 juta, dan menambah satu lapisan tarif PPh OP tertinggi 35% untuk
penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun, (iii) perluasan basis pajak dengan
menerapkan pajak atas natura (fringe benefit), serta (iv) mempertahankan tarif PPh badan
mulai Tahun Pajak 2022 sebesar 22%.


Sebagai contoh, perhitungan PPh untuk lapisan tarif terendah WP OP yang berstatus
lajang/tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan keluarga dengan penghasilan s.d. Rp5
juta per bulan atau Rp60 juta setahun hanya akan membayar PPh Rp300 ribu setahun, atau
hanya 0,5% dari total penghasilannya dalam setahun.
Sementara itu, keadilan dan keberpihakan pada sisi PPN dilakukan dengan tetap melindungi
masyarakat kecil melalui fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa
kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lainnya. Masyarakat tetap tidak perlu membayar
PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
Keberpihakan ini konsisten dengan sisi belanja, dimana belanja Pendidikan di APBN 2022
mencapai Rp542,8 triliun, kesehatan Rp256 triliun, dan perlindungan sosial mencapai Rp429,9
triliun.

Selanjutnya, UU HPP me-refocusing pengecualian (exemption) dan fasilitas PPN agar sistem
PPN lebih adil dan tepat sasaran, namun tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia
usaha. Refocusing ini akan memperluas basis pajak dengan tetap mempertimbangkan asas
keadilan, kemanfaatan bagi kesejahteraan umum, dan kepentingan nasional. Kebijakan
tersebut juga akan meningkatkan kepastian hukum. Disamping itu, UU HPP juga memberikan
kemudahan dan dukungan pada pengusaha kecil dalam melakukan kewajiban PPN dengan
memperkenalkan tarif final untuk Pengusaha Kena Pajak dengan peredaran usaha tertentu,
jenis barang/jasa tertentu, dan/atau sektor tertentu. Sebagai contoh, Pengusaha Kena Pajak
dengan peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu yang akan diatur lebih lanjut di
Peraturan Menteri Keuangan (WP UMKM) melakukan pemungutan dan penyetoran PPN yang
lebih rendah dari tarif PPN secara normal. Sebagai bagian dari strategi reformasi administrasi perpajakan, UU HPP akan mendorong
peningkatan kepatuhan. Strategi reformasi administrasi perpajakan diarahkan untuk
mendorong kepatuhan sukarela, dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan
pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan. Hal ini dilakukan
melalui penggunaan NIK sebagai NPWP OP, penyesuaian persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak,
penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama
penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama (Mutual
Agreement Procedures/MAP).


”Dengan berbagai perubahan kebijakan maupun peningkatan kinerja administrasi perpajakan,
UU HPP diperkirakan memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Dalam jangka
pendek di tahun 2022, penerimaan perpajakan diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi dengan
rasio perpajakan di kisaran 9% PDB, dan selanjutnya dalam jangka menengah rasio perpajakan
bisa mencapai lebih dari 10% PDB paling lambat di tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang semakin baik dan peningkatan kepatuhan yang berkelanjutan”, tutup Febrio.
Hasil estimasi Kementerian Keuangan juga menunjukkan bahwa UU HPP dapat dilaksanakan
tanpa trade off signifikan pada perekonomian nasional termasuk stabilitas harga dalam jangka Pendek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun