Mohon tunggu...
Dinda Maharana
Dinda Maharana Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apresiasi Puisi "Pertemuan" pada Kumpulan Puisi "Hujan Bulan Juni" Karya Sapardi Djoko Damono

21 Mei 2023   18:24 Diperbarui: 21 Mei 2023   18:30 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari

keras dan fana

dan serbuk-serbuk hujan

tiba dari arah mana saja (cadar

bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)

ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini

Puisi ini menggambarkan seorang wanita yang sangat merindukan kekasih nya yang sedang melewati keras nya perjalanan hidup, mereka sangat ingin bertemu namun apa boleh buat, mereka harus berpisah untuk sementara waktu, dan pada akhirnya mereka bertemu pada pertemuan yang tak terduga.

ZIARAH
Kita berjingkat lewat
jalan kecil ini
dengan kaki telanjang; kita berziarah
ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita.
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa-apa. Kita
tak membawa kemenyan atau pun bunga
kecuali seberkas rencana-rencan kecil
(yang senantiasa tertunda-tunda) untuk
kita sombongkan kepada mereka.
Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis,
atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka
di sana? Tidak, mereka hanya kenangan.
hanya batang-batang cemara yang menusuk langit
yang akar-akarnya pada bumi keras.
Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka;
ibu-bapak kita yang mendongeng
tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,
tanpa menyebut-nyebut nama.
Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,
kenangan yang membuat kita merasa
pernah ada.
Kita berziarah; berjingkatlah sesampai
di ujung jalan kecil ini:
sebuah lapangan terbuka
batang-batang cemara
angin.
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;
mereka telah tidur sejak abad pertama,
semenjak Hari Pertama itu.
Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa
jasad mereka.
Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak
kita dalam dongengan nina-bobok.
Di tangan kita berkas-berkas rencana,
di atas kepala
sang Surya.

Puisi ini merupakan suatu puisi dengan permainan kata-katanya yang sangat konotatif. Bahasa yang sederhana namun penuh makna. Penyampaian unsur estetis disampaikan melalui penciptaan kata yang bersifat konotatif, bias dan bersifat perumpamaan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Melalui sistem bahasa kedua tersebut puisi ini membangun kindahan pada alam pikir pembaca. Nilai estetik pada puisi ziarah terkandung dalam setiap diksi yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan maksud dan tujuan.puisi ini memiliki sajak - sajak yang sangat indah dan makna yang sangat mendalam, 

Dalam puisi ziarah, pengarang menggunakan majas personifikasi terbukti pada bait  Hanya batang-batang cemara yang menusuk langit
yang akar-akarnya pada bumi keras.pengarang menggambarkan kondisi sekitar makam yang tak terurus dengan baik.

Apabila dilihat dan dipahami secara mendalam, pilihan kata yang terdapat pada puisi Ziarah merupakan kata-kata yang sederhana, tidak rumit, dan dekat dengan realitas hidup. Meskipun demikian kesederhanaan ini tidak berarti mengurangi kualitas estetik dan isi, sebaliknya kesederhanaan diksi yang dipilih oleh penyair mampu membangkitkan pengalaman tersendiri bagi pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun