Mohon tunggu...
Dinda Lindia Cahyani
Dinda Lindia Cahyani Mohon Tunggu... Pembelajar -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengambil Pelajaran dari Film "Anarchist from Colony"

27 Maret 2018   04:09 Diperbarui: 27 Maret 2018   04:28 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.wikipedia.org

Kata sebagian orang, sejarah itu bisa diotak-atik atas dasar kepentingan sekelompok orang. Namun sejarah yang tercatat dengan bukti-bukti yang eksplisit tentu tidak bisa disangkal. Sebelum sejarah terulang, maka sebaiknya kita mempelajari masa lalu. Mungkin dari situ, kita bisa bijak dalam bertindak. Bisa berani walau hanya ikan teri, bagaimanapun daratan tak beda jauh dengan lautan. Ikan besar melahap ikan kecil, hanya para nelayanlah yang bisa menangkap dan memanfaatkan keduanya.

Terdorong dari rekomendasi oleh kompasianer Tilaria Padika, hari ini saya menyelesaikan film sejarah yang penuh warna. Perjuangan, romansa, komedi, dan haru disuguhkan dalam film Anarchist from Colony ini.

Anarchist from Colony adalah film bergenre drama biografi yang diputar pertama kali pada akhir Juni 2017 lalu di Seoul, Korsel. Film ini diangkat dari kisah nyata sejarah perjuangan bangsa Korea melawan penjajajah Jepang, terutama seputar perjuangan dua tokohnya, si cowok Korea Park Yeol (saat itu 22 tahun) dan gadis Jepang Kaneke Fumiko (saat itu 19 tahun) di Tokyo (Tilara Padika). Mau review lengkapnya? Cek di sini.

Ada beberapa kalimat yang menarik perhatian sehingga saya kutip :

If you're too close to the truth, you'll get closer to death

Melihat kondisi dunia saat ini, tidak berbeda jauh dengan beberapa tahun atau abad yang lalu. Dimana saat ketidakadilan merajalela bukan hanya cerita fiktif dalam sebuah film semata. Karena skenario dalam film pun terinspirasi dari fakta yang ada, entah itu sejarah atau masa yang sedang berlangsung saat ini.

Dalam sebuah wilayah kekuasaan, tentu selalu saja ada yang namanya ketidakadilan. Namun hanya sedikit yang mengangkat suara dan lebih banyak yang memilih diam menikmati suasana. Ada yang rasa kemanusiaannya benar-benar tersentuh dengan kondisi sekitar, walau berbeda jubah agama dan ikatan kekeluargaan. Hanya dengan alasan "cinta" sekelompok orang 'kecil' memilih untuk berbeda dan terbedakan. Baik melalui suaranya atau pun tindakan.

Menyangkut kutipan di atas, "Jika kau terlalu dekat pada kebenaran, kau akan semakin mendekat pada kematian." Mungkin terlihat biasa bagi sebagian orang, namun bagi saya secara pribadi, memiliki makna yang sangat dalam. Sedikit orang yang berani mengatakan kebenaran walaupun sebenarnya mereka adalah saksi dari kebenaran itu sendiri. Karena 'takut' dengan konsekuensi kematian. Bukan kematian yang berarti eksekusi seperti yang terjadi pada dua tokoh "pemberontak" di film itu. Namun lebih halus dan terdengar pengecut. Seperti ketakutan karena tidak mendapatkan pekerjaan, takut dicap buruk oleh masyarakat, takut dijauhi, takut ini dan itu sebagai pengganti dari kematian. Maka orang lebih memilih diam daripada mengungkapkan kebenaran. Lebih memilih bisu dan buta ketika menemui ketidakadilan.

Kutipan lainnya adalah :

To live doesn't merely mean to move,

if I can move upon my will,

even if the move itself eventually leads to death,

it is not the denial of life it is an affirmation -- Kaneko Fumiko

Ada sebagian pengecut di dunia ini yang lebih memilih hidup namun pada kenyataannya mereka mati. Mati karena ibarat memiliki tubuh namun tak bernyawa. Jasadnya hanya digerakkan oleh orang lain yang berkuasa atas dirinya. Dia bebas tanpa ada jeruji mengurung tubuhnya, namun pemikirannyalah yang terpenjara.

Dulu kita disebut Romusa sekarang tak berbeda hanya berganti menjadi lebih 'manusiawi' sebagai pekerja. Di bawah tangan-tangan kapital yang hanya memeras keringat untuk memegahkan istananya.  

 

Lucu saja ketika berteriak-teriak mendagangkan penghapusan "diskriminasi" namun ketika masuk pesawat, kelas bisnis masuk lebih dulu dan kelas ekonomi belakangan. Sudah itu, ekspresi wajahnya pun berbeda, yang lebih dulu disenyumi dengan bulan sabit, yang belakangan diberi senyum bulan sabit terjungkir. Mungkin itu hanya perkiraan saya saja, dugaan sekelebat ketika pramugarinya sedang kebelet pipis makanya langsung berubah ekspresi. 

Ketika kelaparan merajalela kita asyik memotong steak  di restoran mewah dengan secangkir wine mahal. Lantas di negara bagian Asia sana ada pemerkosaan perempuan oleh segelintir lelaki bejad, namun kita sibuk merapikan dasi dan memoles sepatu kulit. Ada tikus-tikus yang menggerogoti kekayaan negara namun kita bilang "Ah, biasa! sudah budaya." Ada seorang penjahat yang dianiaya petugas kepolisian sampai mati tanpa melalui sidang, toh kita adem ayem saja. Dunia terus berputar dan angin berhembus sepoi-sepoi. 

Namun saya yakin kok di antara para penduduk sebuah negara, masih ada sekelompok orang seperti Park Yeol dan Kaneko Fumiko yang menggadaikan jiwanya demi mengungkapkan kebenaran dan melawan ketidakadilan.

Kita bebas memilih mau menjadi penonton atau pemain yang ikut bangga walau akhirnya tak bahagia. Mau ikut diam menyembunyikan kebenaran atau menerangkannya agar terjadi perubahan. Mau menjadi pecundang atau pemenang. Silakan memilih, semua kembali kepada diri kita. Yang jelas di akhir kata saya akan kutip kalimat lain :

                                                                                             Keep concealing, but that won't hide the truth!-Park Yeol-

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun