Awal kaki saya menjejak di Perancis adalah tanggal 15 Februari 2018, masih baru sekali. Saya masih teringat ketika pesawat mendarat di bandara Lyon, jendela bagian luar pesawat mulai menampakan kristal-kristal yang membeku. Kru pesawat mengatakan bahwa suhu di Perancis saat itu adalah -4°C. Secara saya orang tropis tidak terbiasa dengan suhu seekstrim ini.Â
Walau saya pernah mendatangi puncak, Cipanas-Cianjur-Bogor. Namun dinginnya tak seperti di sini. Mungkin ada sebagian daerah di Indonesia yang juga sedingin di Eropa, misalnya di puncak Jayawijaya, puncak Mandala, gunung Rinjani, yang bisa mencapai suhu -5°C atau kurang dari itu. Namun secara pribadi, jujur saya tidak pernah merasakan dingin seekstrim ini.
Saat di pesawat saya bertemu dengan seorang mualaf yang berkewarganegaraan Perancis. Kami bertukar cerita begini dan begitu. Dia juga menceritakan pengalamannya pernah menghabiskan Ramadhan di Yogyakarta. Saya sendiri sangat tertarik untuk melihat salju di Perancis. Namun dia tak suka musim dingin, lebih senang di cuaca hangat seperti Dubai dan lainnya. Dia berkata karena saya tak pernah melihat salju makanya saya sangat tertarik, kalau sudah terbiasa, mungkin saya tidak lagi menyukai salju.
Minimalisir Biaya di Suhu Ekstrim
Saya belum pernah membayangkan akan tinggal di Eropa, tepatnya di Perancis. Tinggal di Eropa tak seperti tinggal di Indonesia, yang jika dibandingkan dalam masalah biaya hidup tentu jauh lebih besar pengeluaran untuk tinggal di Perancis dibanding tinggal di Indonesia. Namun, itupun tergantung gaya hidup yang diadopsi. Saya sendiri, mengaku sebagai orang yang tak biasa hidup bermewah-mewah dan lebih mengadopsi gaya hidup sederhana ala Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Insya Allah.
Sebisa mungkin penghangat ruangan hanya saya nyalakan di satu ruangan dengan suhu 15°C selebihnya saya gunakan pakaian tebal untuk membantu menghangatkan tubuh. Biar biaya gas tidak membuat syok, jika dinyalakan dengan maksimal 30°C niscaya saya selamat dari suhu dingin, namun bisa sakit jantung karena tagihan gas yang meroket.
Membeku di Luar
Kejadian ini membuat saya geli sendiri. Secara saya baru pertama kali tinggal di Perancis, dan maklumlah, orang kampung sedikit norak. Sebagai seorang istri, saya harus senantiasa merawat kebersihan rumah dan pakaian. Walau udaranya sedingin es, namun tetap saya konsisten mencuci pakaian. Mesin cuci tak berfungsi alias rusak, namun saya tidak kehabisan ide. Saya gunakan mesin manual, yaitu mencuci dengan tangan.Â
Udara saat itu sekitar -3°C dan saya menggantungkan pakaian di luar. Karena saya pikir, setidaknya air dari pakaian tidak menetes di dalam rumah, jika sudah tak ada tetesan air, maka saya akan pindahkan dan menggantungnya di dalam rumah. Namun ketika sore hari saya angkat jemuran. Alhasil semuanya membeku. Baju-baju yang saya jemur menjadi sangat keras seperti lempengan baja. Dari situ jika saya mencuci dan hendak menggantung baju, saya cek suhu di luar terlebih dahulu. Tidak ingin kejadian yang sama terulang. Walau matahari muncul dan bersinar, namun tetap saja udaranya tetap menusuk tulang.