Sial, kalah telak sekarang. Rasanya benar-benar tak punya muka. Sedangkan Sam berpura-pura sibuk menggoreng sambil menguping pembicaraan kami tanpa komentar apa-apa.
“Net, v Indonezii kozhi u Ribbi vkusno kogda ikh mi jelayem sukhariki ili kreker” jawab sepenuh reruntuhan hatiku [tidak, di Indonesia, kulit ikan elezat saat dibuat krupuk]
“kharasho, vwot wvasmite” [baiklah, ini, ambilah]
Aku mengambil semua kulit yang hampir terbuang itu dengan perasaan campur aduk, antara malu, senang dan prihatin. Untungnya setelah itu ternyata si Vietnam lekas keluar dari dapur, entah apa ia akan kembali memasak nanti atau memang dimakan sebagai sashimi saja. Yang jelas dia punya cerita baru tentang mahasiswa Indonesia yang meminta sampah kulit makanan dia. Kamipun punya cerita baru di kamar setelah tragedy kulit dan potongan kepala ikan matang semua.
“Gimana Sam? Enak kulit salmonnya?” tanyaku
“Wah ada kulit salmon? Dapet darimana? Kan kepala ikan ga ada kulitnya Kak?” tanya Dita yang tidak tau apa-apa
“Enak banget kak! Apalagi kalo tau dapatnya dengan perjuangan yang mempertaruhkan nama bangsa”
“Iya Sam, tapi aku jadi ga selera makan sekarang, hahaha” jawabku sambil menahan haru
Baru kali ini aku makan dari sampah orang lain, beda bangsa lagi! namun meski begitu ada satu harapan terbesit pada malam hari ini bahwa suatu saat nanti ketika aku sudah tidak lagi menjadi mahasiswa aku harus tunjukkan kalo aku bukan cuma bisa beli kepala salmon atau minta sampah kulit salmon, tapi bisa beli dan berenang bareng ikan salmon. Amiin
*ingatan yang terselempit
#Bangil, 13 Nov 2012