Sebuah insiden yang mengejutkan terjadi di Universitas Pancasila, dua orang pegawai kampus diduga menjadi korban pelecehan oleh seorang rektor berinisial ETH. Kasus pelecehan ini terjadi di lingkungan kampus, membuat sekelompok mahasiswa melakukan protes keras di depan kampus, yang mengakibatkan jalan sekitar Lenteng Agung, Jakarta Selatan macet.
Latar Belakang
Peristiwa ini terjadi pada bulan Januari dan Februari 2023. Saat ini korban bersama kuasa hukumnya sudah melaporkan terduga pelaku ke Polda Metro Jaya, setelah sebelumnya melapor ke Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila, namun tidak ada tanggapan sama sekali.Â
Menanggapi isu tersebut, rektor ETH telah membantah tuduhan tersebut. Rektor ETH yang seharusnya hadir memenuhi panggilan Polda Metro Jaya pada Senin (26/02) berhalangan hadir karena sedang berhalangan. Kuasa hukumnya juga menambahkan bahwa rektor Universitas Pancasila itu sudah menyerahkan surat permohonan penundaan pemeriksaan.
Refleksi Mendalam tentang Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus
Pelecehan seksual di lingkungan kampus merupakan sebuah realitas yang menggugah perasaan marah, kecewa, dan mendalam. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan adalah cerminan dari masalah yang lebih luas dalam struktur kekuasaan, budaya, dan nilai-nilai yang terkadang kurang mendukung kesetaraan, penghargaan, dan keamanan bagi semua individu di lingkungan akademis. Dalam mengulas masalah ini, kita perlu menyadari kompleksitasnya dan mengeksplorasi berbagai aspek yang terlibat.
Peran dan Kekuasaan Rektor
Opini saya sebagai mahasiswa fakultas hukum, sebagai pemimpin tertinggi di universitas, rektor memiliki peran kunci dalam menentukan arah, kebijakan, dan budaya organisasi. Kekuasaan yang dimilikinya dapat memberikan pengaruh besar terhadap seluruh komunitas kampus, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pegawai administrasi. Oleh karena itu, integritas dan etika kepemimpinan seorang rektor sangatlah vital dalam menjaga kehormatan dan kepercayaan publik terhadap universitas.
Kasus dilecehkannya dua orang karyawati oleh seorang rektor adalah contoh nyata dari penyalahgunaan kekuasaan yang tidak hanya merugikan korban secara pribadi tetapi juga mengguncang fondasi kepercayaan dan integritas institusi. Ini adalah situasi yang memerlukan tanggapan tegas dan adil dari pihak-pihak terkait serta mendesak kita untuk mengevaluasi kembali dinamika kekuasaan, perlindungan, dan akuntabilitas di berbagai lapisan hierarki organisasi.
Kita harus mengutuk tindakan pelecehan yang dilakukan oleh siapapun, terlebih lagi oleh seseorang yang memiliki posisi otoritas tinggi seperti seorang rektor. Dilecehkannya dua orang karyawan oleh pimpinan organisasi tidak hanya merupakan bentuk pelanggaran etika yang serius tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan yang dapat dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Respon dan Tindakan
Selanjutnya, respon terhadap kasus ini haruslah transparan, cepat, dan adil. Perlindungan bagi korban harus menjadi prioritas utama, termasuk penyediaan layanan konseling, bantuan hukum, dan dukungan sosial yang diperlukan. Selain itu, penyelidikan yang menyeluruh dan tanpa tekanan eksternal harus dilakukan untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan.
Pelecehan seksual adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan dianggap sebagai kejahatan serius yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal 6 dari undang-undang ini menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pelecehan seksual dapat dikenakan hukuman pidana, dengan ancaman hukuman yang lebih berat apabila korban adalah anak di bawah umur. Dalam konteks hukum, pelecehan seksual termasuk dalam kategori tindak pidana kekerasan seksual yang harus ditindaklanjuti secara serius oleh aparat penegak hukum untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada korban-korban yang terkena dampaknya.
Penting juga untuk mencatat bahwa kasus seperti ini tidak boleh dipandang sebagai masalah individu semata. Ini mencerminkan isu yang lebih luas tentang budaya organisasi, norma-norma yang diterapkan, dan sistem perlindungan yang harus diperkuat di semua lembaga dan perusahaan. Penegakan kebijakan anti-pelecehan, pelatihan kesadaran, dan pembentukan lingkungan kerja yang aman dan inklusif harus menjadi bagian dari upaya preventif jangka panjang.
Dalam konteks institusi pendidikan, di mana rektor atau pimpinan lainnya memiliki pengaruh yang besar terhadap arah dan budaya organisasi, penting untuk menetapkan standar etika yang tinggi dan menjaga akuntabilitas dalam segala tingkatan kepemimpinan. Kepemimpinan yang baik bukan hanya tentang pencapaian akademik atau administratif tetapi juga tentang integritas, empati, dan kepedulian terhadap kesejahteraan semua anggota komunitas.
Isu yang Lebih Luas
Kasus pelecehan ini juga membuka diskusi yang lebih luas tentang kekuasaan, kesetaraan gender, perlindungan korban, dan tata kelola organisasi di semua tingkatan. Dalam era di mana isu-isu ini semakin diperhatikan secara global, universitas memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga lingkungannya agar menjadi tempat yang aman, inklusif, dan menghormati hak asasi manusia bagi semua individu yang terlibat di dalamnya.
Dengan demikian, kasus pelecehan yang melibatkan seorang rektor di Universitas Pancasila menjadi pencerminan dari tantangan yang dihadapi oleh institusi pendidikan tinggi dalam menjaga integritas, keadilan, dan keamanan bagi semua anggotanya. Artinya, tanggapan terhadap kasus ini tidak hanya penting untuk kasus itu sendiri tetapi juga sebagai bagian dari upaya yang lebih luas dalam meningkatkan standar moral, etika kepemimpinan, dan perlindungan hak asasi manusia di sektor pendidikan.
Dinda Cinthya Sari
Prodi Ilmu Hukum
Universitas Pamulang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI