Menurut Thorndike (1911), Teori Belajar Behavioristik mencakup hubungan antara stimulus---seperti pikiran, perasaan, atau gerakan---dan respons yang dihasilkan, yang juga berupa pikiran, perasaan, dan gerakan. Teori ini menyatakan bahwa seseorang melakukan tindakan tertentu karena telah mempelajarinya dari pengalaman sebelumnya dan mengaitkannya dengan hadiah. Sebaliknya, seseorang mungkin menghentikan suatu tindakan jika tidak menerima hadiah atau mendapatkan hukuman. Dengan demikian, semua perilaku, baik yang bermanfaat maupun tidak, dianggap sebagai perilaku yang dipelajari.
Menurut teori behavioristik, perilaku sepenuhnya dikendalikan oleh aturan, dapat diprediksi, dan diatur. Teori belajar behavioristik mengacu pada proses perubahan tingkah laku yang terjadi akibat hubungan antara stimulus dan respons. Dalam pandangan ini, pembelajaran merupakan hasil pengendalian yang berasal dari lingkungan. Keberhasilan belajar seorang anak tergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Teori ini lebih fokus pada pengamatan perilaku untuk memahami individu, bukan pada struktur tubuh atau penilaian subjektif. Pembelajaran menurut teori ini dapat diamati secara objektif dengan memperhatikan perilaku yang muncul, sehingga menghasilkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Teori Conditioning Pavlov dan WatsonÂ
Teori Conditioning Pavlov dan Watson berkaitan erat dengan teori belajar behavioristik. Misalnya, ketika kita mencium bau sate, kita mungkin mulai mengeluarkan air liur. Begitu juga, pengendara menghentikan kendaraannya saat melihat lampu merah di persimpangan. Perilaku ini dikenal dalam psikologi sebagai hasil belajar melalui Classical Conditioning, yang dikembangkan oleh Ivan Petrovich Pavlov. Pavlov melakukan percobaan dengan anjing dan menemukan bahwa reaksi yang dihasilkan dapat disebut refleks bersyarat atau Conditioned Reflex (CR). Secara psikologis, refleks bersyarat ini merupakan reaksi yang dipelajari karena individu terbiasa dengan sinyal atau tanda yang berfungsi sebagai pengganti stimulus asli, sehingga memperkuat respon yang muncul. Inilah sebabnya teori ini dinamakan Classical Conditioning, atau substitusi stimulus.
Sejalan dengan pandangan Pavlov, John B. Watson juga berpendapat bahwa belajar merupakan proses pembentukan refleks atau reaksi bersyarat melalui stimulus pengganti yang selalu menyertai stimulus asli. Menurut Watson, manusia lahir dengan beberapa refleks dan reaksi emosional seperti takut, marah, dan cinta. Semua perilaku manusia terbentuk melalui hubungan stimulus-respons yang terjadi melalui proses conditioning. Dengan demikian, kedua teori ini menekankan bahwa perilaku dipelajari dan dikendalikan oleh interaksi dengan lingkungan, sejalan dengan prinsip dasar dari teori belajar behavioristik.
- Teori Koneksionisme Edward L. Thorndike
Teori Koneksionisme berasal dari eksperimen yang dilakukannya pada tahun 1890-an. Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan hewan, terutama kucing, untuk mengeksplorasi fenomena belajar. Dari hasil eksperimennya, ia menyimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons, sehingga teori ini sering disebut sebagai "Teori S-R Bond" atau "Psikologi Pembelajaran S-R," serta dikenal dengan istilah "Trial and Error Learning." Menurut Hilgard & Bowerd (1975), istilah ini merujuk pada durasi atau jumlah kesalahan yang dilakukan dalam mencapai suatu tujuan.
Untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan respons, Thorndike mengemukakan beberapa hukum, yaitu:
a. Law of Effect: Hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat jika disertai dengan perasaan positif atau kepuasan. Oleh karena itu, memberikan pujian atau dorongan kepada anak lebih efektif dalam proses pembelajaran daripada menghukum atau mencelanya.
b. Law of Exercise atau Law of Use and Disuse: Hubungan stimulus dan respons akan semakin kuat jika sering dilatih, sementara jika jarang digunakan, hubungan tersebut akan melemah atau hilang. Oleh karena itu, perlu dilakukan banyak latihan dan pengulangan untuk memperkuat hubungan ini.
c. Law of Multiple Response: Ketika menghadapi situasi yang rumit di mana respons yang tepat tidak jelas, individu akan melakukan "Trial and Error" dengan mencoba berbagai percobaan, meskipun awalnya tidak berhasil, sampai akhirnya menemukan solusi yang baik.
d. Law of Assimilation atau Law of Analogy: Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberikan respons terhadap situasi baru dengan mengaitkannya dengan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki.
e. Law of Readiness: Hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat jika didukung oleh kesiapan individu untuk bertindak atau bereaksi, sehingga responsnya menjadi lebih konsisten.
Teori Belajar Humanistik
Teori belajar humanistik didefinisikan sebagai upaya fisik dan spiritual untuk memaksimalkan pertumbuhan individu. Pembelajaran diartikan sebagai usaha untuk memperoleh pengetahuan dan membentuk kepribadian secara menyeluruh. Dalam pandangan ini, peserta didik menjadi pusat pembelajaran, dengan pendidik berperan sebagai fasilitator. Manusia memiliki potensi dan motivasi untuk mengembangkan diri, sehingga setiap individu bebas untuk mencapai aktualisasi diri dalam lingkungan yang mendukung.
- Teori Combs
Teori Combs yang dikembangkan oleh Arthur Combs, menekankan bahwa guru berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik, membantu mereka dan menjadi teman dalam proses belajar. Guru seharusnya tidak memaksa siswa untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka sukai, karena ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan. Combs berargumen bahwa seluruh perilaku individu merupakan hasil dari cara mereka memandang diri sendiri dalam konteks perilaku tersebut. Teori ini menekankan pentingnya penerimaan diri, dengan tujuan mengarahkan siswa untuk memahami dan mengembangkan potensi positif mereka, serta mengurangi potensi negatif. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip teori belajar humanistik, yang memfokuskan pada pengembangan individu dan aktualisasi diri dalam lingkungan yang mendukung.
- Teori MaslowÂ
Abraham Maslow, pelopor psikologi humanistik, meyakini bahwa manusia berusaha memahami dan menghargai diri secara optimal. Teori terkenalnya adalah hirarki kebutuhan, yang menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang beragam, dari yang paling dasar hingga yang tertinggi. Menurut Maslow, pemenuhan kebutuhan dasar harus dilakukan sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, dengan urutan: fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, hingga aktualisasi diri.
Konsep Kematangan
Kematangan, atau "maturation" dalam bahasa Inggris, sering dipahami sebagai lawan dari ketidakmatangan (immaturation). Dalam konteks biologi, kematangan merujuk pada tahap perkembangan fisik dan mental. Kematangan adalah potensi bawaan yang membentuk karakter dan pola perilaku seseorang. Namun, kematangan bukanlah faktor keturunan melainkan ciri yang dimiliki setiap individu dengan cara dan waktu yang berbeda. Proses kematangan mencakup perubahan dalam struktur tubuh, termasuk sistem saraf dan kelenjar, serta aspek psikis seperti pikiran dan perasaan, yang memerlukan latihan tertentu untuk berkembang.
Prinsip-prinsip KematanganÂ
Prinsip-prinsip kematangan berperan penting dalam keberhasilan proses tersebut, meliputi:
a. Kematangan Kognitif: Berkaitan dengan perkembangan kemampuan berpikir dan memahami informasi, mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan belajar yang kompleks.
b. Kematangan Emosional: Melibatkan kemampuan mengelola emosi, seperti mengatasi stres, sehingga individu lebih fokus dan mampu beradaptasi dalam proses belajar.
c. Kematangan Sosial: Mencakup kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi efektif, bekerja sama, dan membangun dukungan sosial yang penting untuk pembelajaran.
d. Kematangan Fisik: Kondisi fisik yang baik mendukung kesiapan belajar, memastikan individu dapat fokus tanpa gangguan fisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H