Mohon tunggu...
Dina Wahyunita
Dina Wahyunita Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Psikolog Klinis RSUD dr. R. Soetrasno Rembang; Layanan Psikologi DIKHANA Rembang Jateng; Anggota Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Waspada Toxic Parenting Selama Pandemi

12 Oktober 2020   02:00 Diperbarui: 26 November 2022   21:52 1731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: www.kinbox.com

Hadirnya covid-19 yang memaksa semua orang untuk karantina atau melakukan segala kegiatan di dalam rumah masing-masing untuk jangka waktu yang tidak jelas sampai kapan ternyata menimbulkan problem baru, salah satunya meningkatnya kekerasan pada anak. Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA), pada 1 Januari – 31 Juli 2020 telah terjadi 4.116 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 1.111 kekerasan fisik, 979 kekerasan psikis, 2.556 kasus kekerasan seksual, 68 eksploitasi, 73 tindak pidana perdagangan orang, dan 346 penelantaran. Benton (1997) menyebutkan bahwa keluarga disfungsional merupakan kondisi apa saja yang mengganggu keberfungsian yang sehat dari sebuah keluarga. Forward (1989) mengistilahkan orangtua dalam keluarga yang disfungsional dengan “toxic parents” atau orangtua beracun.

Setiap orangtua akan berusaha untuk menjadi orangtua yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun tanpa disadari, banyak orangtua yang justru berperilaku toxic tehadap anak-anaknya. Toxic Parents ini biasanya mereka melakukan atas nama cinta, tapi justru yang dilakukan adalah hal yang kebalikannya. Mereka sedikit demi sedikit justru malah menyakiti dan meracuni anak. Ada beberapa kasus yang saya temui ketika mendengarkan keluhan para orangtua yang datang untuk konsultasi yang tanpa mereka sadari telah melakukan toxic parenting pada anak-anaknya. Misalnya ketika si anak gagal dalam melakukan sesuatu justru tidak dimotivasi untuk memperbaiki kesalahannya, orangtua justru mengatakan “Tuhkan mama bilang juga apa, kamu itu bodoh, begini saja ngak bisa kan”.  Atau contoh lain ketika anak melakukan kesalahan sedikit, orangtua langsung bereaksi berlebihan seperti marah-marah dan membentak anak. Ada juga orangtua yang sangat perhitungan pada anak dengan mengungkit-ungkit apa yang sudah pernah diberikan dengan mengucapkan “mama tuh sudah memberikan kamu semuanya loh. Masa masih nggak nurut sama mama.” Cerita toxic parenting ini banyak sekali, yang pasti adalah secara tidak langsung, sedikit demi sedikit orangtua yang toxic parents justru malah menjatuhkan anak, merendahkan harga diri anak, dan itu berdampak jangka panjang. Ternyata perilaku toxic itu akan membawa banyak kerugian dalam tumbuh kembang anak bahkan dapat berpengaruh sampai anak berusia dewasa.

 

Apa itu Toxic Parenting? 

Secara umum toxic parenting digambarkan sebagai perilaku orangtua yang negatif terhadap anak-anaknya sehingga menyebabkan emotional damage dalam diri anak dan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan karakter anak. Toxic parenting merupakan bentuk pengasuhan yang disfungsi atau tidak sehat sehingga dapat merusak kemampuan anak untuk membangun relasi yang sehat dengan individu.

Dasar dari hubungan yang toxic, diantaranya gagalnya orangtua yang membangun kelekatan yang aman, gagalnya orangtua belajar dari kesalahan sehingga intensitas kesalahan selalu berulang, serta kurangnya persiapan marital dan natal. Setiap orangtua dapat melakukan suatu kesalahan dan hal ini wajar. Namun yang menjadi masalah adalah intensitas dari kesalahan mendidik dan berinteraksi dengan anak sehingga membuat sebuah pengasuhan berubah menjadi tidak sehat atau buruk atau berbahaya. Bentuk Pengasuhan Disfungsi atau Tidak Sehat menurut Olson, Defrain, & Skogrand (2014), diantaranya Otoriter (Aturan dan harapan yang kaku, ketat, dan mengekang), Permisif (Aturan dan harapan yang jelas, terbuka, dan relasi baik), Penolakan (Aturan dan harapan yang kaku, kurang adanya kepedulian terhadap anak), Tidak Jelas (Aturan dan harapan yang tidak jelas, kurang adanya kepedulian dan kasih sayang).

 

Apa Saja Penyebab Orangtua Berperilaku Toxic Pada Anak?

Penyebabnya bermacam-macam dan yang paling terlihat jelas adalah ketika orangtua memiliki kondisi gangguan psikologis seperti gangguan cemas, adiksi, gangguan kepribadian, gangguan mood (depresi, bipolar). Selain itu, orangtua yang secara emosi belum matang, hubungan suami istri yang kurang harmonis, dan pengalaman pernah diasuh oleh orangtua yang toxic juga dapat menjadi penyebab terjadinya toxic parenting.

 

Tanda-tanda Toxic Parenting, diantaranya: 

Tidak Mampu Menahan Emosi

Biasanya tipe parenting yang seperti ini akan sulit menjaga keseimbangan emosinya sehingga reaksinya akan berlebihan dalam menghadapi suatu hal.

Terlalu Ingin Mengontrol

Ketidakmampuan orangtua dalam memberikan dan mengajarkan kepercayaan kepada anak sehingga kehidupan anak dikontrol orangtua. Misalnya orangtua memaksa anaknya mengambil jurusan kuliah ssuai keinginan orangtuanya, tidak boleh melakukan kegiatan atau hobi tertentu dengan alasan yang tidak masuk akal (terkadang tanpa alasan apapun).

Bersikap Manipulatif

Orangtua seringkali memanipulasi situasi agar mereka terlihat baik dan sempurna di depan anak-anaknya.

Terlalu Banyak Memberi Kritik dan Tidak Pernah Memberi Pujian

Apa yang anak-anak lakukan selalu salah atau selalu ada kekurangannya. Orangtua sulit melihat kebaikan dan pencapaian anak sehingga biasanya mereka tidak memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan emosi negatifnya dan tidak memberikan pujian atas keberhasilan anak.

Suka Menyalahkan

Orangtua yang tidak dapat bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri, sehingga apapun yang terjadi anak-anak yang akan disalahkan.

Demanding (Terlalu Banyak Maunya)

Orangtua selalu mementingkan kebutuhannya terlebih dahulu daripada kebutuhan anak-anaknya. Anak-anak harus bersikap sesuai dengan keinginan orangtua.

Tidak Menghargai Anak

Orangtua suka memberikan komentar yang merendahkan di depan anak maupun orang lain.

 

Jika orangtua bersikap toxic, anak akan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi, bersikap terbuka, maupun berbagi mengenai kehidupan pribadinya. Hal ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadian anak. Beberapa dampak yang dialami anak akibat toxic parenting adalah cemas, tidak percaya diri, mudah menyalahkan diri sendiri, mudah dipengaruhi orang lain, suasana hati yang negatif, selalu takut atau merasa tidak aman, membandingkan diri sendiri dengan orang lain, penilaian negatif terhadap diri sendiri, dan dapat berperilaku yang merugikan diri sendiri. Menurut Indrawati dkk (2014), keluarga toxic memberikan efek jangka panjang bagi anak, terutama pada sisi psikologis yang dapat mengakibatkan trauma. Terlebih lagi, trauma ini justru berpotensi kepada penerapan pola hidup toxic tersebut kepada keluarga yang akan anak  bangun di masa mendatang.

Jadi Apa yang Perlu Dilakukan untuk Menghindari Toxic Parenting?

Lakukan Introspeksi Diri Sendiri dan Pasangan

Hubungan yang baik antara suami istri dapat menunjang pasangan menjadi orangtua yang lebih baik. Selesaikan masalah suami istri dengan sebaik-baiknya agar dapat menjadi orangtua yang lebih baik bagi anak-anaknya. 

Orangtua Menyelesaikan Masalah Psikologis Yang Belum Selesai

Apapun masalah psikologis di dalam diri orangtua harus segera diberikan penanganan yang sesuai sehingga dapat memberikan perilaku parenting yang sehat dan positif.

Membangun Komunikasi Sebanyak-banyaknya Dengan Anak Sejak Dini

Komunikasi merupakan kunci utama positive parenting. Namun, hal ini akan sulit dilakukan jika tidak dibiasakan sejak usia anak balita.

 

Dengarkan Anak Sepenuhnya Ketika Mereka Berbicara 

Biasakan untuk benar-benar mendengarkan pendapat anak. Berika mereka kesempatan untuk dapat mengekspresikan kebutuhan komunikasi mereka walau dirasa kurang tepat atau mungkin salah. Lakukan komunikasi dua arah dengan anak karena anak juga ingin didengarkan.

 

Berikan Penghargaan Kepada Anak

Sekecil apapun pencapaian anak, orangtua perlu memberikan pujian maupun penghargaan atas usaha anak agar mereka merasa dihargai.

 

Bantu Anak Ketika Melakukan Kesalahan, Bukan Menyudutkan Dan Menyalahkan Mereka

Anak selalu memerlukan arahan saat mereka berbuat kesalahan. Ketika orangtua menyudutkan mereka untuk setiap kesalahan yang dibuatnya, pola pikirnya akan terbentuk sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan.

 

Berikan Anak Kepercayaan

Mulailah dari hal yang kecil terlebih dahulu sehingga mereka mengenal apa arti kepercayaan dan mengapa penting untuk menjaga kepercayaan. Hindari keinginan untuk mengontrol anak seolah orangtua yang paling tahu apa saja keinginan dan yang terbaik bagi anak.

 

Menjaga Perkataan Saat Mendisiplinkan Anak

Kadang orangtua terbawa emosi saat anak sulit didisiplinkan. Namun, hal itu bukan berarti orangtua dapat berkata negatif kepada anak karena disiplin tidak terbentuk dari kata-kata negatif. Kata-kata negatif hanya akan menyebabkan anak akan merasa tidak percaya diri, merasa tidak mampu, cemas, marah, dan lain-lain.

 

Perlunya Membiasakan Meminta Maaf Kepada Anak

Mengucapkan kata maaf akan terasa sulit jika tidak terbiasa. Namun kebiasaan ini akan mengajarkan anak untuk bersikap sportif, jujur, dan besar hati. Sebagai orangtua, tidak mungkin tidak pernah berbuat salah karena orangtua juga manusia sehingga jangan malu untuk meminta maaf pada anak. Terapkan hal ini jika ingin anak menghormati orangtua bukan menurut karena takut.

 

Memang tidak ada salahnya jika orangtua ingin menjadi orangtua yang terbaik untuk anak-anaknya, tapi orangtua tetap harus mengontrol sikap dan perilaku mereka terhadap anak-anaknya. Jangan sampai malah menjadi toxic untuk anak. Yang perlu diingat para orangtua adalah kenyamanan dan kebahagiaan anak menjadi salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan. Jangan sampai anak-anak merasa tidak nyaman dan tidak bahagia ketika berada di dekat orangtuanya sendiri.

 

DAFTAR REFERENSI

Kementrian PPA. (2020). Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak. Data SIMFONI 2020

Benton, S. A. (1997). Dysfungtional Families: Recognizing and Overcoming Their Effect. Kansas State University Counseling Service. Diakses dari: http://www.kstate.edu/counseling/topics/relationships/dysfunc.html

Forward, S. (1989). Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life. New York: Bantam Books

Indrawati, E. S., Hyoscyamina, D. E., Qonitatin, N., & Abidin, Z. (2014). Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 120-132

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun