Voila! Kebingungan saya di point no 1 jadi menemukan jawaban: yang mengetahui makna ayat-ayat mustasyabihaat itu adalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu ULAMA. Jadi, kalau ada ayat yang mustasyabihat, merujuklah pada kitab-kitab tafsir yang sudah ditulis para ulama yang mumpuni. Itulah gunanya ada orang yang menuntut ilmu agama, ya kan? Lha apa gunanya para ulama itu capek-capek kuliah sampai ke Kairo, Madinah, atau Qom, tapi pulang-pulang, saat mereka ngasih ilmu ke kita, karena kita tidak setuju, kita bantah, “Cuma Allah yang tahu mana yang benar!”
Dan inilah fenomena yang banyak terjadi di sekitar kita, untuk urusan agama, semua merasa bebas bicara, bahkan berhak menafsirkan ayat Quran semaunya, tapi kalau untuk urusan lain, dikatakan, “Kita harus dengarkan pendapat pakar!”
Terakhir, masalah kemanusiaan yang banyak disebut-sebut para pembela Manji. Argumen yang mereka sebutkan antara lain:
- Setiap orang berhak untuk memiliki orientasi seksual masing-masing; karena itu tidak boleh ada penindasan terhadap orang dengan orientasi seksual yang berbeda!
- Kalaulah seseorang itu homoseksual, kenapa yang lain harus marah? Kalau sebagian memang menganggap itu haram menurut agama, ya nyatakan saja haram, biarkan Tuhan yang menghukumnya!
Dua kalimat di atas saya copas dari email seseorang bergelar doktor (!) tapi argumen serupa banyak diungkapkan oleh orang-orang di internet.
Jawaban saya, lagi-lagi saya pakai logika saja: jika benar seorang berhak menjadi homoseks, oke, tapi dia tidak berhak menularkannya kepada orang lain! Homoseksualitas itu bukan genetic (atau 'ciptaan' Tuhan), melainkan ‘ditularkan’ oleh lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Cameron Ph.D (Family Research Institute) menemukan bahwa di antara penyebab munculnya dorongan untuk berperilaku homo, adalah pernah disodomi waktu kecil (dan parahnya, perilaku mensodomi anak kecil menjadi salah satu ‘budaya’ kaum homo), dan pengaruh lingkungan, yaitu sbb: