Mohon tunggu...
Dinar Okti Noor Satitah
Dinar Okti Noor Satitah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Profesional MC

Kebijakan Publik dan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menolak Lupa: Bangsa Indonesia Dibentuk oleh Pemuda

28 Oktober 2013   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa pentingnya bicara tentang Sumpah Pemuda? Mungkin pertanyaan itu yang berkelebat di benak ketika kita sudah lelah dengan hiruk-pikuk drama penguasa di berbagai media. Padahal jika menurut Asep Kambali, aktivis muda pegiat sejarah Indonesia, kehancuran ingatan sejarah kaum muda akan menyebabkan kehancuran bangsa. Sehingga, tulisan ini lebih menggunakan pendekatan penelusuran proyeksi Indonesia dalam kesinambungan sejarah, bagaimana orang-orang muda  menciptakan bangsa bernama Indonesia, bagaimana tantangan orang-orang muda masa kini menjawab perannya sebagai ujung tombak perjalanan bangsa.

Dalam pidato 1 Juni 1945, sebelum Indonesia terbentuk sebagai negara, Bung Karno menyebutkan dasar kebangsaan Indonesia. Bangsa Indonesia ada lebih dulu sebelum berdirinya negara Indonesia. Dengan menggunakan definisi dari Ernest Renan, Bung Karno menyampaikan bahwa bangsa adalah sekumpulan orang-orang yang berkehendak untuk bersatu. Dan sebuah bangsa bernama Indonesia dalam definisi ini, memang telah terbentuk pada tahun 1928 atas prakarsa para pemuda yang berkumpul untuk berkata:

"SOEMPAH PEMOEDA

Pertama :

- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedoewa :

- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :

- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Pemuda selalu menjadi lini depan dalam tiap pergerakan sosial. Dalam kaitan dengan kebutuhan sosial yang butuh banyak energi, pemuda menemukan urgensitasnya. "Tentang Nama Indonesia" ditulis oleh Hatta ketika belum genap berusia dua puluh lima. Tulisan ini berisi ekspresi cita-cita politis bernama "Indonesia", saat entitas yang dimaksud masih bernama Hindia-Belanda.  Sementara Bung Karno mendirikan "Partai Nasional Indonesia" saat masih berusia duapuluh enam tahun.

Kaum muda pada masa kolonial ini tidak menerima begitu saja struktur kolonial yang melahirkan mereka, atau kembali pada struktur feodal yang melahirkan orang tua mereka. Kaum muda ini justru justru mengembangkan sendiri sistem dan struktur otentik yang mewarnai perjalanan Indonesia selanjutnya. Menariknya, bangsa baru ini tidak bernama Nusantara atau Jawa, tetapi Indonesia. Menurut Benedict Anderson, seorang ahli Indonesia, kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang alami, tidak melambangkan suatu entitas etnis, tetapi kebangsaan etis yang dibentuk dan diemong. Artinya kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan warisan kerajaan di Jawa atau Belanda yang sebelumnya pernah berkuasa, tapi bentukan pemuda generasi awal 1900an.

Salah satu hasil bentukan ini adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa atau Belanda. Bahasa Indonesia atau bahasa melayu pasar bukan bahasa mayoritas pada jamannya. Padahal di jaman pergerakan nasional, bahasa Jawa dan Belanda lebih dominan digunakan. Sekali lagi, kebangsaan Indonesia adalah konsep tentang masa depan, bukan warisan! Pembentukan bahasa nasional sebagai wadah kolektif kebangsaan yang berhasil dijalankan di Indonesia, ternyata gagal dilaksanakan di India pada era yang sama.

Apakah Indonesia akan Hancur?

Salah satu pertanyaan besar berikutnya adalah bagamana orang-orang yang hidup di masa kini menerima konsep kebangsaan Indonesia. Negara sekuat Yugoslavia yang langganan menjadi finalis piala dunia, pada akhirnya pecah berkeping-keping. Bahkan Uni Soviet yang pernah mengirimkan manusia ke luar angkasa, akhirnya hanya tinggal sejarah. Apakah kemungkinan kehancuran Indonesia (yang belum pernah menjadi finalis piala dunia, apalagi mengirimkan manusia ke luar angkasa) lebih besar?

Jawabannya bukan pada konteks runtuhnya ideologi akhir tahun 1980an, tapi pada aktor-aktor yang memegang power untuk mengendalikan negara. Kita dihadapkan pada sebuah tatanan yang sangat jauh dari konsep yang dibangun oleh founding fathers, sistem yang terlegalkan sangat jauh meleset dari amanah kontitusi UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) sudah tegas mengatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Namun pemerintah sejak jaman orde baru telah mengobral perijinan pengelolaan hutan kepada pihak swasta, baik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Demokrasi yang diperjuangkan secara berdarah-darah pada tahun 1998 pada prakteknya hanya menjadi oligarki, hanya orang yang memiliki modal finansial yang dapat maju mengikuti pemilu. Akhirnya yang muncul sebagai kandidat pemimpin adalah "orang-orang yang sama". Oknum-aktor-agen kekuasaan dari tatanan atas sampai bawah, menggurita dalam korupsi. Jika Bung Karno berkata "beri aku sepuluh pemuda yang hatinya berkobar, maka akan kugoncang dunia", pertanyaannya adalah pemuda yang seperti apa. Mengapa menjamurnya gerakan pemuda belum mampu membuat prestasi mencengangkan seperti gerakan pemuda di awal abad ke-20.

Aktor dan Sistem

Salah satu jawabannya adalah model keterhubungan antara aktor dan sistem. Aktor dalam konteks ini adalah pemimpin, pembuat kebijakan, pemilik kekuatan yang ditugaskan untuk menjaga amanah rakyat. Sedangkan sistem dalam konteks ini, adalah rule negara, undang-undang, aturan yang menjadi dasar kebijakan negara. Seorang aktor yang kuat dapat menciptakan sistem atau tatanan.

Mantan presiden Venezuela Hugo Chavez mengeluarkan kebijakan nasionalisasi energi sehingga sumber-sumber pendapatan negara tidak jatuh di tangan asing. Di Venezuela, nasionalisasi hingga hari ini ternyata dapat berjalan relatif aman, lancar, dan berdampak positif bagi kemakmuran rakyatnya. Presiden Bolivia Evo Morales, beberapa waktu lalu juga memutuskan menasionalisasi seluruh perusahaan gas alam dan minyak di negara itu. Perusahaan energi asing harus menyetujui penyaluran seluruh penjualan hasil produksinya melalui negara atau pergi dari Bolivia.

Sehingga kesimpulannya adalah ganti aktor, perbaiki sistem, kembali kepada amanah konstitusi!  Dari sekian pemilu yang terjadi di Indonesia, apakah rakyat telah memilih pemimpin yang benar? Jika mayoritas masyarakat tidak mengetahui apa dan bagaimana visi, misi, program pemimpin dan wakil yang dipilihnya. Otomatis, fungsi demokrasi di Indonesia menjadi tanpa arti. Di sinilah peran pemuda terdidik untuk menyebarkan esensi demokrasi.

Edukasi dan Kolaborasi

Kata kunci pertama adalah edukasi. Pentingnya memberikan edukasi sejarah, politik, dan hak-hak transparansi kepada masyarakat. Agar esensi demokrasi dapat menginjak bumi, hak-hak konstitusi yang diperjuangkan saat reformasi 1998 harus diketahui oleh seluruh masyarakat dan dimanfaatkan dengan baik untuk memilih pemimpin yang benar. Rakyat yang cerdas akan memilih pemimpin yang benar.

Kata kunci kedua adalah kolaborasi. Aksi-aksi sporadis hanya akan menimbulkan percikan, bukan gelombang. Jika gerakan pemuda terpecah membentuk dinastinya sendiri, akhirnya hanya akan menjadi menara gading kekuasaan. Gerakan pemuda yang masif di segala lini terbukti telah berhasil diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin pada akhir tahun 1990an dan awal 2000an. Salah satu contohnya adalah gerakan Bolivarian Youth di Amerika Latin. Pergerakan mereka tidak lagi revolusi berdarah seperti para pendahulunya, tapi lebih memanfaatkan networking, kampanye publik, dan melalui politik praktis dengan mengikuti pemilu.

Jika bangsa Indonesia dibentuk oleh pemuda, dan bangsa ini masih harus berjalan menemuka masa depannya, maka tugas pemuda saat ini adalah sebagai pemain kunci. Pemain kunci untuk mempengaruhi apa siapa yang akan menjadi aktor pembuat kebijakan, mempengaruhi apa sistem yang akan dijalankan. Sudah siapkah anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun