Mohon tunggu...
Dinar Rahaju Pudjiastuty
Dinar Rahaju Pudjiastuty Mohon Tunggu... Lainnya - menulis fiksi dan non fiksi

Beberapa karya fiksi berbentuk cerita pendek bisa dilihat di berbagai koran. Menerjemahkan. Menulis non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Parvati

28 Oktober 2023   08:09 Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syiwa Nataraja adalah mantan suamiku. Namaku Parvati. Sesuai namanya, Syiwa baru saja menari. Dan akibatnya bumi kiamat. Kini aku berada di pegunungan bersama seseorang dari klan Sang Penjaga Republik. Oleh klannya ia diutus untuk menemuiku. Aku memang menunggunya. karena aku bisa menunjukkan jalan menuju tempat dimana kami akan bertemu dengan kelompok yang memiliki obat untuk wabah yang menyapu bersih umat manusia ini. Kami berada di titik A, seratus kilometer dari tempat tujuan kami.

Seperti biasa, seperti para peramal sebelumnya, seperti Kasandra yang meramal kejatuhan Troya yang ramalannya tak didengarkan oleh sesiapapun, demikian juga prediksiku. Barangkali juga karena suara perempuan kurang didengar dihadang tata kelola masyarakat. Entahlah. Dalam beberapa fora, dalam banyak tulisan, aku mengatakan bahwa sebaiknya Badan Pengawas Dunia melakukan intervensi pada proyek Nataraja. Proyek mantan suamiku. Tetapi suaraku terbalut kicauan media yang menganggap aku adalah mantan istri yang sedang mencemarkan nama baik mantan suamiku dengan mengatakan bahwa proyek Nataraja, yaitu proyek yang sedang dikerjakan Syiwa-mantan suamiku, adalah proyek Pemercepat Kiamat.

Syiwa, seperti namanya adalah sang pemelihara, sang perusak, ketika ia menari, kosmos pun ikut menari. Sebagian mati, sebagian hidup, sebagian bereinkarnasi.

Sang penjaga ini tak banyak bicara. Ia menghemat tenaga. Di bawah runtuhan kubah yang di sebagian dindingnya tampak susunan logam berbentuk huruf-huruf bertuliskan "...menyambut...emas...100 tahun..." kami pun berteduh. Minum untuk menghilangkan dahaga. Sang Penjaga memperhatikan kompasnya. Jarum kompas di atas air yang mengikuti kutub magnetik bumi tampak menunjukkan arah yang benar. Kami tidak punya lagi gawai elektronik cerdas yang bisa menunjukkan arah. Komunikasi melalui sinyal tak kasat mata sudah lumpuh bertahun-tahun yang lalu karena tarian kosmos itu. Matahari kami ikut menari, melempar-lempar selendang apinya. Ledakan radiasi tiba-tiba ini mengganggu sinyal radio kami. Seluruh gelombang lumpuh. Satelit-satelit kami tak lebih dari kaleng-kaleng sampah yang mengambang tak karuan di orbit. Sebagian sudah jatuh, sebagian terpental ke angkasa entah.

Sang Penjaga Republik sibuk menuliskan catatan-catatan, memeriksa bawaannya. Kukatakan bahwa aku akan istirahat agak jauh darinya. Aku mencari tempat yang lebih teduh dan lebih datar. Aku membawa Madam K, kucing kesayanganku yang kini memasuki usia demensia, penyakit sendi dan tulang, tetapi ia tak pernah jauh dariku.

Aku membuka keranjang Madam K. Dialah yang menemaniku dari aku belum menikahi Syiwa, bersama Syiwa, dan ketika bercerai dengan Syiwa. Delapan dari jatah kehidupannya sudah ia habiskan untuk bersamaku. Tinggal sisa satu ini.

Perlahan kukeluarkan Madam K supaya ia bisa menggeliat dan berjalan sedikit-sedikit setelah entah berapa jam terbaring di keranjangnya. Madam K tertatih-tatih berjalan satu dua langkah mengitariku. Hidungnya masih tajam membaui udara. Kumis-kumisnya mempersepsi keadaan sekitar, dan dengan instingnya, ia mendekatiku. Udara tak baik, bau kematian dimana-mana, ada organisme yang bukan hasil ciptaan Ilahi yang kini sedang menguasai dunia, menjalar melalui air, melesat di udara. Organisme ini baunya seperti bau suamimu-mantan suamimu- ketika ia pulang dari tempat kerjanya. Suamimu menciptakan organisme itu. Kalian menyebutnya virus. Suamimu sering berdecak kagum, 'virus buatanku yang sangat elegan'. Begitu gumamnya di puncak kepuasan pencapaiannya. O, manusia, kenapa kau ciptakan kiamatmu sendiri. Tak menunggu saja kiamat yang dikirimkan Ilahi. Barangkali begitu kata-katanya kalau kita manusia mengerti bahasa Madam K. Bahasa nurani, Bahasa yang tak berhijab antara sang peujar dengan Ilahi. Sementara kami, manusia, malah menciptakan bahasa sendiri dan mendaki menara Babel.

Sudah kusiapkan sebenarnya satu ampul cairan euthanasia. Melihat Madam K tertatih-tatih, sementara aku sudah kehabisan obat anti radang sendi untuknya, aku berpikir bukankah lebih baik kusuntik mati saja Madam K untuk mengakhiri sakitnya. Juga aku tidak perlu khawatir akan nasibnya nanti, seandaianya aku lebih dulu mati.

Aku elus-elus Madam K, kutuangkan air ke wadah tempat minumnya. Aku bersandar ke salah satu bebatuan sambil terus kuelus-elus Madam K.

Dulu aku punya sembilan kucing, mereka pergi dari kehidupanku satu persatu. Sebagian karena tua, sebagian karena penyakit. Ada yang mati di dekatku, ada juga yang menghadapai kematian seperti pendekar mumpuni menghadapi kematian, mereka pergi jauh dan tak pernah kembali membuatku bertanya-tanya kemanakah mereka dan setelah beberapa minggu tak datang, aku seolah harus menyimpulkan sendiri bahwa mereka sudah mendahuluiku dan selama berminggu-minggu itu aku dikibuli Sang Harapan. Siang malam kutunggu, kusiapkan air minumnya, kusiapkan makanan kesukaan mereka. Wadah air mereka aku tutupi daun talas karena konon menurut cerita dari mulut ke mulut seturut kearifan lokal, kucing yang pergi akan datang kembali jika wadah tempat mereka biasa minum ditutup daun talas. Entahlah. Aku percaya saja karena daripada bertanya-tanya tentang kebenaran, lebih baik kita mengikuti satu ritual dengan harapan ritual tersebut bisa membuat keinginan kita terkabul. Begitu bukan?

Aku memperhatikan Madam K, tampaknya aku tak memerlukan suntikan euthanasiaku. Seperti kubilang, aku punya banyak kucing, hampir bisa kuramalkan bagaimana tanda-tanda mereka kalau mereka akan meninggalkan dunia ini. Tampaknya Madam K tidak bisa meneruskan perjalanan.

Hari menjelang malam. Sang Penjaga Republik mendekatiku, ia berkata bahwa lebih baik bermalam di sini dan melanjutkan perjalanan esok hari. Di malam hari, hembusan Angin Selatan akan membawa organisme renik buatan suamiku itu lebih kencang. Dan titik A ini seperti pintu yang terbuka untuk Angin Selatan. Lebih baik kita berlindung, begitu menurut Sang Penjaga Republik. Ia menawarkan apakah aku perlu bantuan untuk mendirikan tendaku. Tidak perlu kataku. Ia mengangguk dan kembali ke tempatnya tadi untuk mendirikan tendanya.

Menjelang subuh, Sang Penjaga Republik sudah duduk, tendanya sudah terlipat rapih dalam ranselnya. Ia seolah menunggu matahari. Waspada tetapi tetap menikmati matahari yang mulai bangkit dan membuyarkan gelap.

Di dalam tendaku, Madam K terbaring. Ia mengibas-kibaskan ekornya, kupasang alas untuk menyerap kencing Madam K dan kulipat-lipat selimut sedemikian rupa supaya menyangga Madam K dengan nyaman. Nafasnya sudah satu-satu, tetapi dari mimik wajahnya, aku tahu, Madam K sudah pasrah dan menikmati sakaratul mautnya.

Tanpa keraguan, kukatakan pada Sang Penjaga Republik bahwa aku tak bisa melanjutkan perjalananku karena aku harus menunggu Madam K sampai ajal menjemputnya dan kemudian aku akan memulasara Madam K selayaknya memulasara kawan sejati yang berpulang. Menaruhnya di dalam tanah dan menutupkan tanah dan batuan di atas nya. Dari debu kembali ke debu. Sementara ruh Madam K tentu akan berlarian di bebukitan cerah. Di lahan itu tentunya lumbung makanan kesukaan Madam K melimpah-ruah tak pernah habis. minuman yang segar, dan pasir tempat Madam K buang hajat yang berlimpah ruah dan wangi. Setidaknya begitulah gambaranku tentang nirwana tempat Madam K dan kucing-kucingku yang mendahuluiku akan ditempatkan.

Kuberikan segala sesuatu yang diperlukan oleh Sang Penjaga Republik, dan nanti tentu sebagian besar bekal makananku.

Kukatakan pada Sang Penjaga Republik bahwa tidak ada yang akan datang menolongnya. Adalah fenomena menunggu Godot jika ia dan juga klan yang masih bertahan di bumi ini kalau mereka menunggu mesiah yang akan menolong mereka. Mereka harus menentukan jalan sejarah mereka sendiri. Kuberikan yang selama ini kurahasiakan dari publik. Kartu as, kartu penentu yang ada padaku. Obat penawar terhadap organisme renik yang disebarkan Syiwa Nataraja. Ketika aku bercerai dengan Syiwa, aku mengambil beberapa dokumen rahasianya lalu kubuat obat penawar terhadap makhluk jejadian ciptaan Syiwa ini. Jumlahnya kini masih sedikit, masih beberapa botol tetapi jika Sang Penjaga Republik bisa sampai di titik B, yaitu titik aman, yang jaraknya seratus kilometer dari tempat kami, maka Sang Penjaga Republik akan sampai pada suatu ceruk. Sebuah lembah kecil yang berbentuk mangkuk, di atasnya pepohonan Igdrasil menaungi ceruk itu membentuk kanopi yang melindungi ceruk dan penghuni ceruk itu dari segala marabahaya. Keseluruhan daun, ranting, cecabang, dan akar pepohonan Igdrasil dapat menyerap dan melumpuhkan organisme renik jejadian ciptaan Syiwa. Angin Selatan atau angin arah manapun yang membawa setan sekalipun tak akan bisa menembus kanopi rimbunnya daun pepohonan Igdrasil yang melindungi ceruk itu.

Di dalam ceruk itu sudah kusiapkan laboratorium kecil dengan staf robot yang menanti siapapun yang datang dengan botol-botol penawar racun yang kumiliki. Seluruh cara pembuatan obat, seluruh cara bertahan hidup dan bagaimana menyebarkan obat penawar itu sudah kusiapkan.

Sang Penjaga Republik menerima botol-botol itu, menerima arah peta yang kutulis dengan sangat jelas menuju titik B. Ia, yang disumpah untuk tidak mempertanyakan apapun yang kukatakan padanya, bahkan sampai pada titik dimana mulut dan matanya tampak begitu tergoda untuk bertanya mengenai banyak hal. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk. Menatapku, dan pamit. Ia berbalik, membelakangiku, membaca ulang peta, membuka kompasnya, dan melanjutkan perjalanan. Kuperhatikan langkahnya yang pasti menjauhiku, tak lama kemudian, ia menghilang ditelan rimbunnya pepohonan.

Kepercayaan, adalah sesuatu yang tak kumiliki lagi. Sementara Sang Penjaga Republik masih memilikinya. Itulah yang membuatku juga menyerahkan segala sesuatu yang bisa kuberikan untuk mengatasi wabah ini. Aku tak percaya lagi pada sesiapapun. Lebih baik seperti itu.

Kini, aku bisa kembali ke tenda, menikmati kebersamaanku dengan Madam K. sisa-sisa waktu yang tak akan kusia-siakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun