Mohon tunggu...
Dinar Rahaju Pudjiastuty
Dinar Rahaju Pudjiastuty Mohon Tunggu... Lainnya - menulis fiksi dan non fiksi

Beberapa karya fiksi berbentuk cerita pendek bisa dilihat di berbagai koran. Menerjemahkan. Menulis non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Parvati

28 Oktober 2023   08:09 Diperbarui: 28 Oktober 2023   08:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari menjelang malam. Sang Penjaga Republik mendekatiku, ia berkata bahwa lebih baik bermalam di sini dan melanjutkan perjalanan esok hari. Di malam hari, hembusan Angin Selatan akan membawa organisme renik buatan suamiku itu lebih kencang. Dan titik A ini seperti pintu yang terbuka untuk Angin Selatan. Lebih baik kita berlindung, begitu menurut Sang Penjaga Republik. Ia menawarkan apakah aku perlu bantuan untuk mendirikan tendaku. Tidak perlu kataku. Ia mengangguk dan kembali ke tempatnya tadi untuk mendirikan tendanya.

Menjelang subuh, Sang Penjaga Republik sudah duduk, tendanya sudah terlipat rapih dalam ranselnya. Ia seolah menunggu matahari. Waspada tetapi tetap menikmati matahari yang mulai bangkit dan membuyarkan gelap.

Di dalam tendaku, Madam K terbaring. Ia mengibas-kibaskan ekornya, kupasang alas untuk menyerap kencing Madam K dan kulipat-lipat selimut sedemikian rupa supaya menyangga Madam K dengan nyaman. Nafasnya sudah satu-satu, tetapi dari mimik wajahnya, aku tahu, Madam K sudah pasrah dan menikmati sakaratul mautnya.

Tanpa keraguan, kukatakan pada Sang Penjaga Republik bahwa aku tak bisa melanjutkan perjalananku karena aku harus menunggu Madam K sampai ajal menjemputnya dan kemudian aku akan memulasara Madam K selayaknya memulasara kawan sejati yang berpulang. Menaruhnya di dalam tanah dan menutupkan tanah dan batuan di atas nya. Dari debu kembali ke debu. Sementara ruh Madam K tentu akan berlarian di bebukitan cerah. Di lahan itu tentunya lumbung makanan kesukaan Madam K melimpah-ruah tak pernah habis. minuman yang segar, dan pasir tempat Madam K buang hajat yang berlimpah ruah dan wangi. Setidaknya begitulah gambaranku tentang nirwana tempat Madam K dan kucing-kucingku yang mendahuluiku akan ditempatkan.

Kuberikan segala sesuatu yang diperlukan oleh Sang Penjaga Republik, dan nanti tentu sebagian besar bekal makananku.

Kukatakan pada Sang Penjaga Republik bahwa tidak ada yang akan datang menolongnya. Adalah fenomena menunggu Godot jika ia dan juga klan yang masih bertahan di bumi ini kalau mereka menunggu mesiah yang akan menolong mereka. Mereka harus menentukan jalan sejarah mereka sendiri. Kuberikan yang selama ini kurahasiakan dari publik. Kartu as, kartu penentu yang ada padaku. Obat penawar terhadap organisme renik yang disebarkan Syiwa Nataraja. Ketika aku bercerai dengan Syiwa, aku mengambil beberapa dokumen rahasianya lalu kubuat obat penawar terhadap makhluk jejadian ciptaan Syiwa ini. Jumlahnya kini masih sedikit, masih beberapa botol tetapi jika Sang Penjaga Republik bisa sampai di titik B, yaitu titik aman, yang jaraknya seratus kilometer dari tempat kami, maka Sang Penjaga Republik akan sampai pada suatu ceruk. Sebuah lembah kecil yang berbentuk mangkuk, di atasnya pepohonan Igdrasil menaungi ceruk itu membentuk kanopi yang melindungi ceruk dan penghuni ceruk itu dari segala marabahaya. Keseluruhan daun, ranting, cecabang, dan akar pepohonan Igdrasil dapat menyerap dan melumpuhkan organisme renik jejadian ciptaan Syiwa. Angin Selatan atau angin arah manapun yang membawa setan sekalipun tak akan bisa menembus kanopi rimbunnya daun pepohonan Igdrasil yang melindungi ceruk itu.

Di dalam ceruk itu sudah kusiapkan laboratorium kecil dengan staf robot yang menanti siapapun yang datang dengan botol-botol penawar racun yang kumiliki. Seluruh cara pembuatan obat, seluruh cara bertahan hidup dan bagaimana menyebarkan obat penawar itu sudah kusiapkan.

Sang Penjaga Republik menerima botol-botol itu, menerima arah peta yang kutulis dengan sangat jelas menuju titik B. Ia, yang disumpah untuk tidak mempertanyakan apapun yang kukatakan padanya, bahkan sampai pada titik dimana mulut dan matanya tampak begitu tergoda untuk bertanya mengenai banyak hal. Tapi sejurus kemudian ia mengangguk. Menatapku, dan pamit. Ia berbalik, membelakangiku, membaca ulang peta, membuka kompasnya, dan melanjutkan perjalanan. Kuperhatikan langkahnya yang pasti menjauhiku, tak lama kemudian, ia menghilang ditelan rimbunnya pepohonan.

Kepercayaan, adalah sesuatu yang tak kumiliki lagi. Sementara Sang Penjaga Republik masih memilikinya. Itulah yang membuatku juga menyerahkan segala sesuatu yang bisa kuberikan untuk mengatasi wabah ini. Aku tak percaya lagi pada sesiapapun. Lebih baik seperti itu.

Kini, aku bisa kembali ke tenda, menikmati kebersamaanku dengan Madam K. sisa-sisa waktu yang tak akan kusia-siakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun