Mohon tunggu...
Dinar kamelia Azzahra
Dinar kamelia Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Segalanya

24 November 2024   16:45 Diperbarui: 24 November 2024   16:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih mengingat di malam-malam yang sunyi, ketika dunia di luar rumah terlihat gelap dan udara dingin merayap masuk ke setiap celah dinding rumah kami, aku selalu terjaga oleh suara langkah kaki ayah yang berat. Tak ada suara percakapan, tak ada tawa riang seperti di rumah-rumah lain, hanya hembusan angin yang menambah kesunyian malam ini. Aku tahu, ayah sedang kembali dari ladang. Matahari baru saja terbenam, dan ia baru pulang setelah seharian bekerja keras.

Aku, yang saat itu masih kanak-kanak, hanya bisa duduk dan melihat. Wajahnya yang kasar dan penuh kerutan menunjukkan betapa kerasnya kehidupan yang ia jalani. Tapi meski begitu, di balik wajah yang penuh lelah, ada keteguhan yang tak tergoyahkan. Ayahku, dengan segala perjuangannya, adalah sosok yang tak pernah mengeluh, bahkan ketika dunia tampaknya tidak adil baginya.

Ayahku, Arman, adalah seorang petani. Tidak ada yang istimewa dari pekerjaan itu hanya tanah, parang, dan matahari yang terkadang terlalu terik atau hujan yang datang tiba-tiba, tapi bagi kami itu adalah segalanya. Ayah membanting tulang setiap hari di sawah, berusaha memenuhi kebutuhan kami yang sederhana. Rumah kami terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk, dengan atap yang bocor jika hujan turun deras. Kami tinggal di desa yang lumayan jauh dari perkotaan. Kami tak pernah merasa malu dengan keadaan kami, karena ayah selalu berkata, "Yang penting kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan berusaha. Semua yang baik akan datang pada waktunya."

Pagi itu, seperti biasa, aku bergegas menuju meja makan. Di sana, ayahku,  sudah duduk dengan senyum khasnya yang hangat. Meskipun tubuhnya sudah semakin renta, tetapi semangatnya untuk menghidupi keluarga tetap tak pernah hilang. Di meja makan ada sepiring nasi goreng dan teh buatan ibu yang sudah jadi kesukaan aku dan ayah setiap pagi. Aku belum selesai menghabiskan makananku tetapi ayah sudah bergegas pergi ke sawah untuk bekerja, "apa ayah harus berangkat sepagi ini?", "iya nak, berangkat pagi bisa mempercepat waktu ayah untuk pulang" jawab ayahku. Setiap hari ia melakukan rutinitas tersebut tanpa ada kata lelah. 

Namun, keadaan tak selalu berpihak kepada kami. Musim kemarau yang panjang membuat hasil panen kami menurun drastis. Tanah yang sebelumnya subur kini mengering, dan tanaman padi yang kami tanam tak mampu bertahan. Meskipun telah bekerja keras, hasil yang kami dapatkan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Aku masih ingat bagaimana ibu dan ayah harus berhemat, mengurangi makanan, dan menggantinya dengan sayuran dari kebun kecil kami.

Saat itu, aku merasa cemas. Usia ayah sudah tidak muda lagi, dan tubuhnya yang dulu kekar kini semakin rapuh. Aku sering melihatnya pulang dengan tubuh penuh keringat dan wajah yang tampak letih. Namun, meskipun keadaan semakin sulit, ayah tak pernah mengeluh. Ia hanya tersenyum, meski senyum itu terasa dipaksakan. Aku tahu ia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya, tapi bagaimanapun, keadaan yang tidak diinginkan pasti akan datang.

Setiap pagi, sebelum matahari muncul, ayah sudah bangun lebih dulu. Ia menyusun peralatan bertani dan berangkat ke ladang. Kadang aku ingin ikut membantu, tapi ayah selalu berkata, "Belajarlah dengan rajin, nak. Nanti kamu akan mengerti betapa pentingnya pendidikan." Aku tahu, meskipun ayah tidak bisa memberikan banyak hal secara materi, ia ingin aku mendapatkan pendidikan yang lebih baik, supaya aku tidak merasakan hidup yang sama seperti yang ia jalani.

Tahun demi tahun berlalu, dan meskipun kami tidak pernah kaya, aku merasa cukup bahagia. Kami masih memiliki rumah, meski kecil. Kami masih makan tiga kali sehari, meski terkadang hanya nasi dan lauk seadanya. Namun, di balik kebahagiaan sederhana itu, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Ayahku semakin tua, dan aku bisa melihat tubuhnya semakin rapuh. Ada garis-garis keriput yang semakin jelas di wajahnya, dan tubuhnya yang dulu kuat kini tak lagi mampu menanggung beban yang berat.

Namun, ayah tetap bekerja tanpa lelah. Aku tahu ia tak menginginkan pujian atau imbalan. Bagi ayah, bekerja keras adalah kewajiban. Ia tak pernah minta lebih dari yang ia lakukan. Bahkan, jika ada orang yang menanyakan tentangnya, ia hanya tersenyum dan berkata, "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan." Tidak ada kata-kata besar atau harapan tinggi. Semua dilakukan dengan sederhana dan penuh ketulusan.

Pada suatu hari, ketika aku sudah mulai duduk di bangku SMA, keadaan semakin sulit. Tanah yang kami miliki semakin tidak subur, dan hasil panen tak pernah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ayah semakin lelah, dan aku bisa melihat betapa berat perjuangan yang ia jalani. Aku ingin membantu, ingin meringankan beban ayah, tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku masih muda, aku masih harus belajar.

Suatu malam, setelah aku selesai belajar, aku duduk bersama ayah di ruang tamu. Kami hanya duduk diam, memandang api di perapian yang mulai meredup. Saat itu, ayah mulai bercerita dengan suara pelan, seperti ada sesuatu yang ingin ia bagi.

"Nisa, kamu harus tahu satu hal," katanya. "Seorang ayah, tugasnya bukan hanya memberi nafkah. Tugas seorang ayah adalah melindungi, menjaga, dan memastikan anak-anaknya bisa hidup lebih baik. Aku tak bisa memberi banyak, tapi aku ingin kamu tahu, perjuanganku tidak pernah berhenti untukmu." Aku terdiam. Kata-kata ayah menghentakkan hatiku. Aku tahu selama ini ia bekerja keras bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk kami, untuk masa depan kami. Tetapi ia tak pernah meminta apapun sebagai balasannya. Ia melakukan semuanya tanpa tanda jasa. Tanpa pernah meminta pujian, tanpa pernah berharap ada yang melihat pengorbanannya. Hanya sebuah senyuman sederhana sebagai tanda bahwa ia sudah melakukan tugasnya.

Aku memiliki keinginan setelah lulus SMA ingin melanjutkan pendidikan ke kota agar bisa membangkan orang tua ku, tetapi memikirkannya saja sudah membuatku sedih 

"bagaimana mereka membiayaiku untuk melanjutkan pendidikan sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saja masih kurang." 

Aku duduk diteras dalam waktu yang lama dengan melihat bintang bintang di langit malam dan berfikir "apa aku bisa mewujudkan keinginanku?, atau aku mengikuti jejak ayahku saja untuk menjadi petani."

Keesokan harinya seperti biasa aku pergi ke sekolah dan ayahku ke sawah. Sepulang sekolah aku berniat memberitahu ayah dan ibuku mengenai keinginanku untuk melanjutkan pendidikan, tetapi aku masih ragu karena takut malah membuat mereka terbebani. Malam hari yang dingin kita berkumpul diruang tamu dan berbincang-bincang sedikit. "Nisa, ada yang ingin kau bicarakan?" tanya ayahku. Aku menjawab dengan ragu "saat lulus SMA aku ingin melanjutkan pendidikan ke kota yah, tapi itu hanya rencanaku yah jangan terlalu dipikirkan." Ibu dan ayahku terdiam sebentar, tak lama ayahku berbicara" tidak apa-apa nisa jika itu yang kamu mau akan ayah usahakan, belajarlah dengan sungguh-sungguh jangan memikirkan masalah biaya".

Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya aku berhasil melanjutkan pendidikan ke kota. Aku tahu ini adalah kesempatan besar yang tak boleh disia-siakan. Tetapi aku terus memikirkan bagaimana keluargaku bisa membiayai pendidikanku. Ayah dan ibu mengantar aku ke stasiun, dengan wajah bangga namun juga penuh kekhawatiran. Aku bisa merasakan betapa berat bagi ayah untuk melepas anak perempuannya pergi jauh. Tapi ia hanya berkata, "Jadilah anak yang baik, belajar dengan sungguh-sungguh. Itu sudah cukup untuk kami." 

Dibalik keberhasilanku bisa melanjutkan pendidikan ke luar kota, ayahku telah menjual sebagian sawahnya untuk biaya pendidikanku, tetapi kata ayah itu untuk masa depanku. Aku terus dihantui rasa bersalah dan tanggung jawab yang besar kepada mereka. Ayah dan ibuku tidak tahu, aku keluar kota tidak hanya untuk belajar tetapi aku juga bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhanku. Aku sudah terlalu malu untuk meminta kepada mereka lagi.

Aku berjanji pada diri sendiri, aku akan belajar dengan keras dan tidak akan mengecewakan harapan mereka. Meski begitu, setiap kali aku melihat wajah ayah dalam ingatanku, aku merasa ada yang tak pernah selesai. Ayahku, dengan semua perjuangannya, selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga, tanpa meminta apapun sebagai imbalan. Ia hanya ingin melihat kami bahagia, meski kebahagiaan itu tidak pernah ia rasakan sepenuhnya.

Setiap kali aku pulang ke desa, aku selalu mendapati ayah bekerja di sawah dengan penuh semangat. Meskipun tubuhnya semakin tua, ia tetap tidak menyerah. Bahkan, ketika aku menawarkan untuk membantu, ia selalu menolaknya dengan senyuman yang membuat hatiku semakin berat. "Kamu sudah cukup membantu kami dengan belajar," katanya. "Biarkan aku yang mengurus ini."

Aku merasa bersalah, merasa tidak cukup memberikan sesuatu yang berarti bagi ayah. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa ayah tidak pernah menginginkan lebih. Ia tidak mengharapkan penghargaan atas segala yang ia lakukan. Cinta dan pengorbanannya sudah cukup baginya.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku sudah bekerja dan dapat mandiri, aku kembali ke rumah. Kali ini, aku ingin memberikan sesuatu yang lebih untuk ayah dan ibu. Rumah kami yang dulu sempit dan tua kini sudah direnovasi, dan aku membawa mereka pergi berlibur ke tempat yang lebih baik. Tetapi, meskipun semuanya berubah, ada satu hal yang tak pernah berubah dalam diriku, cinta dan rasa terima kasihku kepada ayah yang telah mengorbankan segalanya tanpa pernah meminta imbalan.

Saat aku duduk di samping ayah di teras rumah, aku memegang tangannya dengan lembut. "Ayah, terima kasih. Kamu telah memberi segalanya untuk aku dan ibu. Aku tidak akan pernah melupakan semua pengorbananmu."

Ayah hanya tersenyum, senyum yang penuh dengan ketulusan. Ia tidak perlu berkata apa-apa. Dengan senyum itu, ia sudah mengajarkan semua yang perlu aku tahu tentang arti kehidupan, tentang perjuangan, dan tentang cinta yang tulus. Ayahku, dengan segala pengorbanannya yang tak terlihat oleh dunia, adalah pahlawan sejati dalam hidupku. Dan bagiku, ayahku segalanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun