Mohon tunggu...
Dinar kamelia Azzahra
Dinar kamelia Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah Segalanya

24 November 2024   16:45 Diperbarui: 24 November 2024   16:58 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nisa, kamu harus tahu satu hal," katanya. "Seorang ayah, tugasnya bukan hanya memberi nafkah. Tugas seorang ayah adalah melindungi, menjaga, dan memastikan anak-anaknya bisa hidup lebih baik. Aku tak bisa memberi banyak, tapi aku ingin kamu tahu, perjuanganku tidak pernah berhenti untukmu." Aku terdiam. Kata-kata ayah menghentakkan hatiku. Aku tahu selama ini ia bekerja keras bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk kami, untuk masa depan kami. Tetapi ia tak pernah meminta apapun sebagai balasannya. Ia melakukan semuanya tanpa tanda jasa. Tanpa pernah meminta pujian, tanpa pernah berharap ada yang melihat pengorbanannya. Hanya sebuah senyuman sederhana sebagai tanda bahwa ia sudah melakukan tugasnya.

Aku memiliki keinginan setelah lulus SMA ingin melanjutkan pendidikan ke kota agar bisa membangkan orang tua ku, tetapi memikirkannya saja sudah membuatku sedih 

"bagaimana mereka membiayaiku untuk melanjutkan pendidikan sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saja masih kurang." 

Aku duduk diteras dalam waktu yang lama dengan melihat bintang bintang di langit malam dan berfikir "apa aku bisa mewujudkan keinginanku?, atau aku mengikuti jejak ayahku saja untuk menjadi petani."

Keesokan harinya seperti biasa aku pergi ke sekolah dan ayahku ke sawah. Sepulang sekolah aku berniat memberitahu ayah dan ibuku mengenai keinginanku untuk melanjutkan pendidikan, tetapi aku masih ragu karena takut malah membuat mereka terbebani. Malam hari yang dingin kita berkumpul diruang tamu dan berbincang-bincang sedikit. "Nisa, ada yang ingin kau bicarakan?" tanya ayahku. Aku menjawab dengan ragu "saat lulus SMA aku ingin melanjutkan pendidikan ke kota yah, tapi itu hanya rencanaku yah jangan terlalu dipikirkan." Ibu dan ayahku terdiam sebentar, tak lama ayahku berbicara" tidak apa-apa nisa jika itu yang kamu mau akan ayah usahakan, belajarlah dengan sungguh-sungguh jangan memikirkan masalah biaya".

Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya aku berhasil melanjutkan pendidikan ke kota. Aku tahu ini adalah kesempatan besar yang tak boleh disia-siakan. Tetapi aku terus memikirkan bagaimana keluargaku bisa membiayai pendidikanku. Ayah dan ibu mengantar aku ke stasiun, dengan wajah bangga namun juga penuh kekhawatiran. Aku bisa merasakan betapa berat bagi ayah untuk melepas anak perempuannya pergi jauh. Tapi ia hanya berkata, "Jadilah anak yang baik, belajar dengan sungguh-sungguh. Itu sudah cukup untuk kami." 

Dibalik keberhasilanku bisa melanjutkan pendidikan ke luar kota, ayahku telah menjual sebagian sawahnya untuk biaya pendidikanku, tetapi kata ayah itu untuk masa depanku. Aku terus dihantui rasa bersalah dan tanggung jawab yang besar kepada mereka. Ayah dan ibuku tidak tahu, aku keluar kota tidak hanya untuk belajar tetapi aku juga bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhanku. Aku sudah terlalu malu untuk meminta kepada mereka lagi.

Aku berjanji pada diri sendiri, aku akan belajar dengan keras dan tidak akan mengecewakan harapan mereka. Meski begitu, setiap kali aku melihat wajah ayah dalam ingatanku, aku merasa ada yang tak pernah selesai. Ayahku, dengan semua perjuangannya, selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga, tanpa meminta apapun sebagai imbalan. Ia hanya ingin melihat kami bahagia, meski kebahagiaan itu tidak pernah ia rasakan sepenuhnya.

Setiap kali aku pulang ke desa, aku selalu mendapati ayah bekerja di sawah dengan penuh semangat. Meskipun tubuhnya semakin tua, ia tetap tidak menyerah. Bahkan, ketika aku menawarkan untuk membantu, ia selalu menolaknya dengan senyuman yang membuat hatiku semakin berat. "Kamu sudah cukup membantu kami dengan belajar," katanya. "Biarkan aku yang mengurus ini."

Aku merasa bersalah, merasa tidak cukup memberikan sesuatu yang berarti bagi ayah. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa ayah tidak pernah menginginkan lebih. Ia tidak mengharapkan penghargaan atas segala yang ia lakukan. Cinta dan pengorbanannya sudah cukup baginya.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku sudah bekerja dan dapat mandiri, aku kembali ke rumah. Kali ini, aku ingin memberikan sesuatu yang lebih untuk ayah dan ibu. Rumah kami yang dulu sempit dan tua kini sudah direnovasi, dan aku membawa mereka pergi berlibur ke tempat yang lebih baik. Tetapi, meskipun semuanya berubah, ada satu hal yang tak pernah berubah dalam diriku, cinta dan rasa terima kasihku kepada ayah yang telah mengorbankan segalanya tanpa pernah meminta imbalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun