Mohon tunggu...
Dina Ramadhani
Dina Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

Saya adalah mahasiswi yang sangat menyukai hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Membangun Citra Profesi Hukum: Saat Etika Bertemu dengan Tanggung Jawab

28 November 2024   12:00 Diperbarui: 28 November 2024   12:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: istockphoto.com

Saat ini, profesi hukum di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan dan membangun kepercayaan masyarakat. Banyaknya pemberitaan mengenai praktik-praktik yang mencoreng nama baik profesi hukum, etika dan tanggung jawab profesi menjadi pilar utama dalam mengembalikan citra positif profesi hukum kepada masyarakat dan membangun kembali kepercayaan publik.

"Profesi hukum bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan mulia untuk menegakkan keadilan," ungkap Prof. Dr. Bambang Widjojanto, pakar hukum dari Universitas Indonesia, dalam seminar "Etika Profesi Hukum" yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Menurut data dari Komisi Yudisial, sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 1.500 laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh para praktisi hukum. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya pembenahan internal dalam profesi hukum.

Faktor Penegakan hukum yang sulit dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri

Dalam teorinya, penegakan hukum itu sendiri dinilai efektif sesuai pendapat Soerjono Soekanto melalui 5 faktor, yaitu:

  • Faktor Hukum itu Sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum di Indonesia.
  • Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang menerapkan dan menegakkan hukum.
  • Faktor Sarana dan Pra-Sarana yang mendukung dalam penegakan hukum.
  • Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku di masyarakat.
  • Faktor kebudayaan, yaitu faktor adat istiadat yang hidup dalam lingkungan masyarakat.

Dari kelima faktor tersebut, faktor yang menjadi sorotan publik saat ini adalah faktor penegak hukum. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas karena mencakup semua hal secara langsung maupun tidak langsung dalam penegakan hukum. Dalam profesi penegak hukum dikenal dengan profesi Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat, dari profesi tersebut diatur pula tentang kode etik dan cara perperilaku dalam menjadi penegak hukum.

Terjadinya gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (“tritunggal”). Dalam hal terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan dan menjelma dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang akan dapat mengganggu kedamaian pergaulan hidup, maka penegakan hukum menjadi tidaklah dapat diwujudkan. Artinya, penegakan hukum akan menjadi tidaklah berjalan sebagaimana mestinya atau akan terganggu dalamm perjalanan dan penegakan hukumnya.

Beberapa faktor utama yang menghambat penegakan hukum mencakup rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat yang diperparah dengan diabaikannya prinsip the right man in the right place serta pengabaian terhadap etika profesi itu sendiri. Bertolak dari kondisi ini mendorong urgensi mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system), sebab tanpa reformasi sistemik dan penguatan etika profesi, penegak hukum akan terus kesulitan menjalankan amanat undang-undang sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kualitas penegakan hukum secara keseluruhan.

Penguatan Profesi Hukum sebagai Tiang Penegakan Hukum

Para pengemban profesi hukum mempunyai otoritas profesional yang bertumpu pada kompetensi mereka, para pengemban profesi hukum mengemban tanggung jawab etis yang besar kepada masyarakat luas. Masyarakat yang tersandung masalah hukum, yang tidak memiliki kompetensi teknikal atau kemampuan untuk menilai secara objektif, berada dalam posisi harus mempercayai pengemban profesi tersebut. Kepercayaan yang diberikan masyarakat mengharuskan para pengemban profesi hukum untuk tidak menyalahgunakan posisinya dan secara bermartabat mengarahkan seluruh pengetahuan serta keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan jasa profesional, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan publik terhadap profesi hukum, hal inilah yang membangun urgensi penguatan profesi hukum dala menjalankan tanggung jawabnya.

Berbagai upaya masif dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum, salah satu hal utama yang bisa dilakukan adalah penguatan profesi hukum sebagai landasan dari penegakan hukum yang bersih dan berdimensi keadilan. Selain itu, penguatan sistem pengawas internal juga patut diperhatikan agar pengawasan terhadap profesi hukum bisa lebih masif dilakukan.

Catur wangsa penegak hukum, yang terdiri dari hakim, jaksa, advokat, dan polisi, memiliki peran strategis dalam sistem peradilan Indonesia, sebagaimana diuraikan oleh Satjipto Rahardjo (2019) dalam "Sistem Peradilan di Indonesia". Masing-masing aktor memiliki tanggung jawab etis yang berbeda namun saling melengkapi - hakim sebagai representasi kepentingan negara dalam ranah yudikatif, jaksa dan polisi mewakili kepentingan pemerintah dalam penegakan hukum, serta advokat yang menjadi pembela kepentingan masyarakat. Dalam hakikatnya, keseimbangan sistem peradilan sangat bergantung pada kemampuan para penegak hukum untuk menjunjung tinggi kode etik profesinya masing-masing - hakim dengan prinsip independensi dan imparsialitasnya, jaksa dan polisi dengan profesionalisme dan akuntabilitasnya, serta advokat dengan kewajibannya untuk memberikan bantuan hukum yang berkeadilan. Pada akhirnya, tanggung jawab profesi hukum bukan sekadar menjalankan tugas sesuai aturan formal, melainkan juga menjaga martabat profesi dan berkontribusi pada tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

Membangun kembali citra profesi hukum bukanlah tugas yang mudah dan membutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pemangku kepentingan. Diperlukan sinergi antara praktisi hukum, akademisi, pemerintah, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem hukum yang sehat dan beretika. Beberapa organisasi profesi memiliki peranan penting dalam lingkungan untuk pembentukan etika profesi hukum yang berdimensi keadilan. Etika profesi telah dibentuk, namun implementasi yang buruk membuat etika itu menjadi remeh dan tidak berdimensi keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun