Saat ini, profesi hukum di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan dan membangun kepercayaan masyarakat. Banyaknya pemberitaan mengenai praktik-praktik yang mencoreng nama baik profesi hukum, etika dan tanggung jawab profesi menjadi pilar utama dalam mengembalikan citra positif profesi hukum kepada masyarakat dan membangun kembali kepercayaan publik.
"Profesi hukum bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan mulia untuk menegakkan keadilan," ungkap Prof. Dr. Bambang Widjojanto, pakar hukum dari Universitas Indonesia, dalam seminar "Etika Profesi Hukum" yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Menurut data dari Komisi Yudisial, sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 1.500 laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh para praktisi hukum. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya pembenahan internal dalam profesi hukum.
Faktor Penegakan hukum yang sulit dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri
Dalam teorinya, penegakan hukum itu sendiri dinilai efektif sesuai pendapat Soerjono Soekanto melalui 5 faktor, yaitu:
- Faktor Hukum itu Sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum di Indonesia.
- Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang menerapkan dan menegakkan hukum.
- Faktor Sarana dan Pra-Sarana yang mendukung dalam penegakan hukum.
- Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku di masyarakat.
- Faktor kebudayaan, yaitu faktor adat istiadat yang hidup dalam lingkungan masyarakat.
Dari kelima faktor tersebut, faktor yang menjadi sorotan publik saat ini adalah faktor penegak hukum. Ruang lingkup penegak hukum sangat luas karena mencakup semua hal secara langsung maupun tidak langsung dalam penegakan hukum. Dalam profesi penegak hukum dikenal dengan profesi Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat, dari profesi tersebut diatur pula tentang kode etik dan cara perperilaku dalam menjadi penegak hukum.
Terjadinya gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku (“tritunggal”). Dalam hal terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan dan menjelma dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang akan dapat mengganggu kedamaian pergaulan hidup, maka penegakan hukum menjadi tidaklah dapat diwujudkan. Artinya, penegakan hukum akan menjadi tidaklah berjalan sebagaimana mestinya atau akan terganggu dalamm perjalanan dan penegakan hukumnya.
Beberapa faktor utama yang menghambat penegakan hukum mencakup rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat yang diperparah dengan diabaikannya prinsip the right man in the right place serta pengabaian terhadap etika profesi itu sendiri. Bertolak dari kondisi ini mendorong urgensi mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system), sebab tanpa reformasi sistemik dan penguatan etika profesi, penegak hukum akan terus kesulitan menjalankan amanat undang-undang sebagaimana mestinya, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kualitas penegakan hukum secara keseluruhan.
Penguatan Profesi Hukum sebagai Tiang Penegakan Hukum
Para pengemban profesi hukum mempunyai otoritas profesional yang bertumpu pada kompetensi mereka, para pengemban profesi hukum mengemban tanggung jawab etis yang besar kepada masyarakat luas. Masyarakat yang tersandung masalah hukum, yang tidak memiliki kompetensi teknikal atau kemampuan untuk menilai secara objektif, berada dalam posisi harus mempercayai pengemban profesi tersebut. Kepercayaan yang diberikan masyarakat mengharuskan para pengemban profesi hukum untuk tidak menyalahgunakan posisinya dan secara bermartabat mengarahkan seluruh pengetahuan serta keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan jasa profesional, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan publik terhadap profesi hukum, hal inilah yang membangun urgensi penguatan profesi hukum dala menjalankan tanggung jawabnya.