Dalam UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah disebutkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dapat diperoleh dari pendapatan daerah dan pembiayaan.Â
Disini yang dimaksud dengan pendapatan daerah adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan dana pendapatan daerah lain-lain yang sah. Sedangkan pembiayaan yang dimaksud adalah terdiri dari pinjaman daerah, SILPA (sisa lebih anggaran tahun sebelumnya), dana cadangan dan dana hasil penjualan aset daerah. namun nyatanya ta hanya itu, dalam keuangan daerah pemerintah daerah juga dapat menerbitkan sebuah obligasi dalam rangka membiayai pembangunan.Â
Secara sederhana, obligasi merupakan pinjman yang bersumber dari masyarakat untuk membiayai proyek investasi yang bermanfaat bagi pembangunan daerah. Jangka waktu dari obligasi ini adalah terbilang cukup panjang.Â
Sesuai PP No. 30 tahun 2011 dan PMK Mo. 180/PMK.07/2002 dikatakan bahwa obligasi daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah haruslah digunakan untuk membiayai proyek yang menghasilkan pendapatan untuk kepentingan publik, penerimaan hasil penerbitan obligasi daerah masuk ke dalam kas daerah dan jika proyek yang dibiayai oleh obligasi daerah belum menghasilkan maka pemerintah daerah wajib untuk menutupi kebutuhan pembiayaan untuk pembayaran bunga obligasi tersebut.Â
Sebenarnya obligasi ini dapat dikatakn sebagai hal yang memiliki resiko cukup tinggi dan rawan akan kegagalan dalam pelaksanaannya namun dikarenakan beberapa hal pemerintah daerah harus menerbitkan obligasi daerah. Â
Dikarenakan obligasi ini memiliki resiko yang tinggi maka dari itu pembiayaan yang dibiayai oleh obligasi daerah ini haruslah proyek yang menghasilkan pendapatan untuk kepentingan publik dan proyek yang dibiayai harus memiliki sifat return of invesment sehingga diharapkan tidak mengalami kegagalan dan tidak menjadi beban ke keuangan daerah.Â
Obligasi daerah memiliki tiga jenis yang berbeda-beda, yaitu General Bond, Revenue Bond dan Double Barreled Bond. General Bond (GO Bond) merupakan suatu jenis obligasi yang pembayarannya dijamin oleh pemerintah melalui pajak yang dihasilkan. Dengan mengetahui sumber dana pembayaran yang pasti ini maka pemasaran obligasi jenis ini lebih mudah.Â
Dalam obligasi ini diperlukan persetujuan dari DPR. Â Obligasi jenis ini biasanya digunakan untuk pembiayaan prasarana pelayanan masyarakat. Selanjutnya ialah Revenue Bond, merupakan jenis obligasi yang pembayarannya dilakuka melalui hasil dari proyek yang telah dibiayai oleh obligasi itu sendiri sehingga dalam penerbitan obligasi ini harus benar-benar memperhatikan apakah proyek ini sekitranya dapat mengahsilkan investasi yang dapat mengembalikan obligasi atau tidak. dalam penerbitan obligasi jenis tidak perlu persetujuan dengan DPR terlebih dahulu, biasanya obligasi Revenue ini digunakan untuk pembangunan jalan tol.Â
Yang terakhir adalah Double Barreled Bond. Double Barreled Bond merupakan jenis obligasi ketiga yang dimana terdapat keterpaduan antara jenis obligasi GO Bond dan Revenue Bond. Dalam obligasi jenis Double Barreled ini pembayaran obligasinya dijamin oleh dua sumber pengahsilan, yaitu pajak (yang mengikuti GO Bond) dan pengahasilan yan dihasilkan oleh proyek yang dibiayai (Revenue Bond).Â
Dikarenakan memiliki dua jenis sumber penghasilan yang dapat dikatakan lebih aman maka obligasi jenis ini memiliki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan kedua jenis obligasi sebelumnya. Jika pendapatan dari proyek tidak dapat mengembalikan pinjaman dari obligasi daerah ini maka cadangannya adalah pajak yang digunakan untuk membayarnya. Â
Penerbitan obligasi daerah bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Diperlukan perhitungan yang matang agar dalam pembiayaan melalui obligasi daerah ini dapat berjalan sesuai yang dharapkan sebelumnya, salah satunya adalah sifat return of investment yang harus dimiliki oleh tiap proyek yang akan dibiayai.Â
Hal yang menjadi kesulitan dalam penerbitan obligasi ini salah satunya  adalah kesulitan pemerintah daerah dalam dalam menentukan proyek yang hendak didanai sedangkan tidak adanya skala prioritas dari proyek-proyek yang hendak dilaksanakan. Obligasi ini dapat menjadi salah satu pemicu para inevstor untuk menanmkan investasi mereka.Â
Salah satu daerah yang berhasil menerbitkan obligasi daerah adalah DKI Jakarta. Obligasi ini ditujukan untuk membangunun proyek-proyek Pemerintah DKI Jakarta, menyiapkan proyek-proyek yang berpotensi dibiayai melalui obligasi dengan jumlah total nilai proyek sebesar 1,7 trilyun rupiah.Â
Dalam pelaksanaan pembangunannya, Pemerintah DKI Jakarta menunjuk underwiter, konsultan hukum dan profesi lainya yang berhubungan untuk registrasi obligasi daerah ke Bappepam guna mengelola tiap keegiatan yang berhubungan dengan obligasi daerah.
Obligasi ini lahir dengan adanya desentralisasi yang berarti tiap daerah dapat mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk dalam hal keuangan. namun dalam hal ini pemerintah pusat tidak serta merta lepas tangan.Â
Pemerintah pusat tetap memiliki peran dalam hal pengobligasian daerah. Hanya saja tanggung jawap tidak diberatkan kepada pemerintah pusat. Pihak yang berwenang untuk memebrikan persetujuan terhadap penerbitan obligasi daerah adalah pemerintah pusat karena resiko dari penerbitan obligasi ini cukup tinggi.Â
Hal ini dilandasi oleh beberapa alasan, diantaranya adalah ; penerbitan obligasi daerah memerlukan promosi kepada masyarakat luas dan tidak memakan biaya yang sedikit, kredibilitas Pemda sangat berpengaruh terhadap suksue atau tidaknya sebuah obligasi, rata-rata SDM di Pemda kurang memadai dalam hal pasar modal sehingga diperlukan seorang yang lebih ahli, penjualan obligasi juga bergantung pada dana idle masyarakat, penerbitan obligasi daerah membutuhkan kondisi keuangan yang akuntable dan terbuka.
Dalam Pasal 58 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah disebutkan bahwa dalam hal penerbitan obligasi daerah, kepala daerah haruslah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPRD dan pemerintah. Selain itu, pemerintah pusta juga berwenang untuk melakukan penilaian terhadap penerbitan obligasi daerah.Â
Penilaian obligasi daerah ini didasarkan pada kemampuan daerah karena obligasi  ini melibatkan uang dari masyarakat yang nantinya akan berdampak pada perkembangan perekonomian masyarakat.Â
Maka dari itu penilaian obligasi mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.  Dirjen Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penerbitan, pengguanaan dana, kinerja pelaksanaan kegiatan dan realisasi pembayaran Kupon dan Pokok Obligasi daerah. Pemantauan  dan evaluasi yang dilakukan ditujukan untuk melihat apakah terdapat penyimpangan atau ketidak sesuaian antara rencana obligasi dan realisasinya.Â
Jika dilitah terdapat indikasi penyimpangan terhadap obligasi maka Dirjen Perimbangan Keuangan dapat merekomendasikan kepada Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menghentikan penerbitan obligasi. Dari hal ini peran pemerintah pusat sangat kuat dalam penerbitan obligasi daerah.Â
Meskipun obligasi daerah ini merupakan suatu hak dari daerah dan dengan berdasar pada asas otonomi daerah yang menyataan bahwa setiap daerah mengurus rumah tangganya sendiri, namun nyatanya tidak bisa terlepas begitu saja dari pemerintah pusat.Â
Pemerintah pusat selaku induk berkewajiban dalam hal perizinan, pengawasan dan pengevaluasian sampai dengan pemberian sanksi kepada Pemda jika tidak melaporkan tentang pelaksanaan obligasi daerah triwulan sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H