Mohon tunggu...
Dinar Nailatul Izzah
Dinar Nailatul Izzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Psikologi di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Saya menyukai cerita fantasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Antara Hiburan dan Penciptaan Nilai: Tiktok Menurut Perspektif Nietzsche

7 Januari 2025   20:15 Diperbarui: 7 Januari 2025   20:11 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Tiktok (Sumber: Politeknik Tempo)

TikTok, platform berbagi video pendek yang mendunia, telah menjadi fenomena sosial yang tak terelakkan. Dengan pengguna mayoritas anak muda, TikTok menawarkan kebebasan berkreasi dalam berbagai bentuk konten. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan tentang pengaruhnya terhadap identitas individu, pencarian makna, dan kehidupan sosial. Dari perspektif Nietzsche, platform ini dapat dikaitkan dengan konsep seperti kematian Tuhan, kehendak untuk berkuasa, dan penciptaan nilai autentik.  

TikTok dan Pembentukan Identitas


Daya tarik utama TikTok adalah kemampuannya memberi ruang bagi pengguna untuk mengekspresikan diri. Dengan algoritma yang mendorong konten viral, siapa saja berkesempatan menjadi terkenal dalam waktu singkat. Validasi sosial melalui likes dan followers menjadi tolak ukur keberhasilan banyak pengguna.  

Dalam pandangan Nietzsche, fenomena ini mencerminkan krisis kematian Tuhan, yakni hilangnya sistem nilai tradisional yang sebelumnya menjadi pedoman hidup. Banyak pengguna lebih fokus pada pencitraan di dunia maya daripada menggali makna hidup yang lebih mendalam, mengabaikan nilai autentik yang seharusnya muncul dari pengalaman pribadi.  

Kehendak untuk Berkuasa dan Popularitas

Foto Friedrich Nietzsche (Sumber: Wikikutip)
Foto Friedrich Nietzsche (Sumber: Wikikutip)

Konsep kehendak untuk berkuasa Nietzsche relevan dalam analisis TikTok. Platform ini menjadi arena pembuktian diri melalui kreativitas. Namun, obsesi terhadap popularitas sering kali mengarah pada kelelahan emosional, serta ketergantungan pada validasi eksternal yang dapat memicu krisis identitas.  

TikTok memungkinkan penciptaan nilai baru, tetapi banyak yang justru terjebak dalam siklus pengakuan tanpa kedalaman. Nietzsche mungkin akan melihat ini sebagai kegagalan dalam memenuhi potensi manusia untuk menciptakan nilai sejati, yang seharusnya muncul dari dalam diri, bukan dipengaruhi oleh pengakuan mayoritas.  

Penciptaan Nilai di Dunia Digital
Menurut Nietzsche, manusia idealnya menciptakan nilai sendiri, bebas dari tekanan norma sosial. TikTok sebenarnya menyediakan peluang untuk itu, tetapi sering kali nilai yang tercipta dangkal karena didorong oleh kebutuhan akan pengakuan.  

Meski demikian, ada pengguna yang memanfaatkan platform ini untuk membagikan seni atau pengetahuan yang bermakna. Hal ini menunjukkan potensi TikTok sebagai sarana untuk menciptakan nilai yang lebih signifikan. Sayangnya, sebagian besar pengguna lebih memanfaatkan TikTok sebagai hiburan tanpa mengeksplorasi dimensi yang lebih mendalam.  

Moralitas Budak di TikTok
Nietzsche mengkritik moralitas budak, di mana nilai-nilai ditentukan oleh mayoritas. TikTok mencerminkan hal ini dengan algoritma yang mempromosikan tren tertentu. Banyak pengguna yang mengukur keberhasilan mereka berdasarkan penerimaan masyarakat digital, bukan berdasarkan pencapaian personal.  

Individu sering kali mengikuti arus demi popularitas, tanpa memikirkan penciptaan makna yang lebih dalam. Nietzsche menekankan pentingnya menempuh jalan hidup yang unik, tidak tunduk pada norma mayoritas. TikTok bisa menjadi alat kreatif, tetapi pengguna harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pencitraan semu.  

TikTok: Alat atau Hambatan?
TikTok memiliki potensi besar sebagai platform untuk berekspresi. Namun, menurut Nietzsche, ketergantungan pada media digital untuk mencari makna dapat menghasilkan kehidupan yang dangkal. Pencarian makna sejati tidak seharusnya bergantung pada validasi sosial.  

Sebaliknya, teknologi seperti TikTok dapat dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan diri. Dengan pendekatan yang tepat, platform ini dapat menjadi alat untuk menciptakan narasi personal yang autentik. Pengguna perlu menyadari bahaya dari pencarian makna yang dangkal dan fokus pada eksplorasi diri yang lebih mendalam. Nietzsche mengingatkan, makna sejati hanya dapat ditemukan melalui refleksi internal, bukan melalui pengakuan eksternal.

Pilihan ada di tangan kita: apakah TikTok akan dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan diri, atau justru hanya menjadi hiburan yang kosong makna?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun