Suatu senja di pinggir kota yang hiruk-pikuk. Entah, apa yang dilakukan oleh orang-orang di luar sana. Tepatnya, di luar toko buku yang lengkap dengan kafe.
Kunikmati aroma kopi hitam dengan sumringah.Â
"D, kadang aku berharap bahwa takkan ada hari esok." ucap Al dalam penuh arti.
Aku melirik Al sekilas. "Jangan, dong. Kalau besok tidak ada artinya kiamat. Kalau besok tidak ada, bagaimana aku bisa menepati janjiku kepada kedua orangtua untuk menuntaskan studiku di strata tiga?!"
"Iya, biar saja begitu. Lebih baik begitu. Dengan begitu, kau takkan memilihnya. Dengan begitu, aku akan tetap memilikimu utuh."
Pipiku memerah. Bukan karena tersanjung dengan gombalan Al, tapi memerah sebagai iritasi bedak yang kupoles beberapa menit lalu. Aku mengaca sekian kalinya.Â
"Pipimu cantik D. Tak usah kau berkaca lagi." ucap Al hangat.
Aku tersenyum. "Al, jika memang besok tak ada, apakah kau yakin aku takkan memilihnya?" tanyaku dengan nada ironi.
"Ya, pasti."
Aku menggelengkan kepala. Pegal. Usai itu, aku olahraga kecil. Menoleh kanan-kiri. Angkat kepala atas-bawah.Â
Al menatapku aneh. "Aneh. Kamu kenapa, D? Sejak menikah dengan Lilo, perangaimu jadi aneh tapi wajahmu terlihat segar. Mungkin, itu cinta palsu yang kau tunjukkan kepadaku sebagai bukti bahwa kau bahagia. Buka dulu topengmu, D."
Aku tersenyum miris untuk Al. "Move on, Al. Apa kau sudah meminta izin kepada Widya untuk bertemu denganku?"
"Tak perlu meminta izin kepadanya karena..."
"Al,"potongku cepat. "Dia tidak ikhlas, Al. Jika kau bertemu denganku, dia tidak ikhlas walaupun lisannya mengatakan iya. Aku tahu Al karena aku perempuan."
Al menatapku sebal.Â
"Oleh karena perasaanku sebagai perempuanlah yang mendorongku untuk bertemu dengannya langsung. Ya, aku sudah bertemu dengannya dan dia mengatakan lega karena masih ada hari esok yang ceria. Hari esok yang membuatnya lebih semangat untuk bangun pagi, sarapan, dan beraktivitas. Utamanya, dia semakin semangat karena aku telah menikah dengan Lilo. Awalnya, bukan hal mudah berbicara langsung dengannya karena beberapa kali Widya menolak menerimaku di rumah kalian."
"Tapi aku tidak, D... Aku mati rasa."
Aku menatap Al lurus. "Jangan begitu, Al. Berharaplah esok masih ada. Jangan mati rasa. Taukah kau Al, bahwa banyak orang di luar sana bahkan mungkin di dalam ruangan ini berharap akan ada esok hari. Setiap hari adalah sebuah momen kebahagiaan tersendiri."
Al menatapku aneh. "Kau menjadi aneh sejak menikah. Kau bukan lagi D yang kukenal. Seberapa jauh dan dalam Lilo mengubahmu, D?"
Aku tersenyum bijak. "Banyak hal positif. Setidaknya... Ya, banyaklah. Sulit untuk diucapkan Al karena aku ngeri kalau yang kuucapkan akan menjadi kabar tak sedap karena respons negatif yang saat ini kau miliki. Jadi, katakan apa yang ingin kau katakan."
"Bagaimana kalau aku menemui Lilo dan memintanya untuk menceraikanmu, D?"
Aku meneguk kopi perlahan. Santai. Aura Al sedang negatif sehingga tak perlu ditanggapi dengan hati dan pikiran yang panas. Usai setengah cangkir kopi kuteguk, kutanya Al dengan mengutamakan empati,"Alasannya, apa, Al?"
"Kau berselingkuh denganku. Kau bukanlah perempuan solehah dan sebagainya. Banyak D, aku banyak senjata untuk menghancurkan pernikahan kalian berdua."
"Lalu, manfaatnya apa bagimu?"
"Puas dan bahagia. Jika berpisah dengan Al, kau akan menjadi milikku."
"Seyakin itukah, Al?"
"Tentu saja."
"Silakan, lakukan saja. Akan tetapi, pastinya Lilo takkan mudah mempercayaimu, Al karena dia pastinya akan mencari tahu 'kebenaran' yang kau berikan dengan caranya sendiri. Itu saja, Al."
Senyap. Mendadak senyap.Â
Dua menit berlalu. Perlahan, kopi di cangkirku pun lenyap tak bersisa.Â
Sebelum hari semakin gelap, aku pamit santun meninggalkan Al yang masih berharap tak akan ada hari esok...
Kira-kira, lima langkah keluar dari kafe, aku baru ingat bahwa Al belum memesan makanan dan minuman. Selain itu, aku belum membayar minuman yang kuhabiskan. Belum sempat aku melangkahkan kaki ke dalam kafe, seseorang menahan langkahku.Â
"D, please, jangan kembali kepadanya. Berharaplah selalu akan ada hari esok dan kalau pun tidak ada, semoga kita masih bersama... Kopimu sudah kubayar, D dan aku sengaja menguntitmu hingga kemari karena mencemaskanmu."
Kuangkat wajahku dan senyum lebar kuberikan kepadanya."Tentu saja, Lilo..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H