Aku tersenyum miris untuk Al. "Move on, Al. Apa kau sudah meminta izin kepada Widya untuk bertemu denganku?"
"Tak perlu meminta izin kepadanya karena..."
"Al,"potongku cepat. "Dia tidak ikhlas, Al. Jika kau bertemu denganku, dia tidak ikhlas walaupun lisannya mengatakan iya. Aku tahu Al karena aku perempuan."
Al menatapku sebal.Â
"Oleh karena perasaanku sebagai perempuanlah yang mendorongku untuk bertemu dengannya langsung. Ya, aku sudah bertemu dengannya dan dia mengatakan lega karena masih ada hari esok yang ceria. Hari esok yang membuatnya lebih semangat untuk bangun pagi, sarapan, dan beraktivitas. Utamanya, dia semakin semangat karena aku telah menikah dengan Lilo. Awalnya, bukan hal mudah berbicara langsung dengannya karena beberapa kali Widya menolak menerimaku di rumah kalian."
"Tapi aku tidak, D... Aku mati rasa."
Aku menatap Al lurus. "Jangan begitu, Al. Berharaplah esok masih ada. Jangan mati rasa. Taukah kau Al, bahwa banyak orang di luar sana bahkan mungkin di dalam ruangan ini berharap akan ada esok hari. Setiap hari adalah sebuah momen kebahagiaan tersendiri."
Al menatapku aneh. "Kau menjadi aneh sejak menikah. Kau bukan lagi D yang kukenal. Seberapa jauh dan dalam Lilo mengubahmu, D?"
Aku tersenyum bijak. "Banyak hal positif. Setidaknya... Ya, banyaklah. Sulit untuk diucapkan Al karena aku ngeri kalau yang kuucapkan akan menjadi kabar tak sedap karena respons negatif yang saat ini kau miliki. Jadi, katakan apa yang ingin kau katakan."
"Bagaimana kalau aku menemui Lilo dan memintanya untuk menceraikanmu, D?"
Aku meneguk kopi perlahan. Santai. Aura Al sedang negatif sehingga tak perlu ditanggapi dengan hati dan pikiran yang panas. Usai setengah cangkir kopi kuteguk, kutanya Al dengan mengutamakan empati,"Alasannya, apa, Al?"