"Punggung mereka masih terlalu kecil untuk dijadikan tulang punggung keluarga, kata pahlawan kehidupan memang pantas di sandang untuk anak-anak di bawah umur yang bekerja banting tulang untuk kehidupan, keaadan memaksa mereka untuk menjadi pahlawan menaklukan kejamnya dunia"
Akhir tahun 2019 Dunia digemparkan  kasus pandemic Covid-19 yang mewabah di Wuhan. Wabah tersebut menjamur ke belahan dunia hingga menjadi pandemi.Â
Peristiwa tersebut secara cepat merubah tantanan kehidupan masyarakat di segala bidang , baik di bidang ekonomi, sosial maupun pendidikan. Berbagai kebijakan di ambil untuk mencegah rantai penyebaran virus Covid 19.Â
Seperti kebijakan pendidikan yang memberlakukanya BDR/ Belajar dari rumah, Kebijakan untuk bekerja melalui rumah dan kebikan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Secara perlahan namun pasti pandemi  meluluh lantahkan sebagain perekonomian rakyat. Penghasilan yang semakin menipis, tabungan yang kian berkurang, bahkan kehilangan pekerjaan hal seperti itulah yang dirasakan sebagian masyarakat. Hal ini berdampak kian banyaknya anak-anak yang turut serta menanggung beban keluarga.Â
Menrut Undang-undang (UU 23/2002 dan UU 35/2014), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara, menurut Konvensi PBB mengenai Hak Anak, anak adaalh semua orang yang berusia dibawah 18 tahun. Â
Notabennya anak tidak berkewajiban turut serta dalam beban ekonomi keluarga. Anak berhak sepenuhnya mendapatkan hak-haknya bukan malah di paksa oleh keaadaan menjadi pahlawan keluarga.
Pandemi  Covid 19 menyuguhkan pemandangan bertambahnya pekerja anak  yang berkeliaran di jalan. Ada yang menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis dan lain sebagainya.Â
Atas dasar berbakti dengan orang tua, dia rela berjuang bergelut dengan asap kendaraan, terkadang kulitnya terbakar panasmya matahari, tubuhnya kedinginnan terguyur derasnya hujan.
Walau lelah tapi tak memadamkan semangat mereka untuk mencari nafkah berharap lembaran -lembaran rupiah terkumpul agar bisa di bawa pulang kerumah. Melihat seorang anak usia anak SD sedang berjuang mencari  recehan rupiah sedikit menyat hati saya.Â
Tulang punggung mereka masih terlalu muda untuk ikut menjadi tulang punggung keluarga. Jelas terlihat di mata saya seorang lelaki dengan badan yang masih kuat mengantar anak tersebut dengan kendaraan bermotor dan meninggalkan anak tersebut berjualan di pinggir jalan, tentunya saya tidak bisa mengambil kesimpulan hanya dengan melihat hal ini saja, tidak mungkin saja berasumsi negative kepada bapak itu. walaupun pikiran negatif tentang bapak itu masih berkeliaran di kepala saya.Â
Di sudut lain terlihat ibu-ibu yang sedang memakai kostum badut sedang duduk di pinggir jalan sambil membawa anak-anaknya yang masih sangat kecil. Kostum kepala badut itu sengaja tak dia pakai mungkin karena kepanasan saat itu, bebberapa orang iba memberi lembaran-lembaran rupiah.Â
Pemandangan memilukan tak kalah mengiris hati terlihat di perempatan jalan. Seorang wanita sedang menggendong anak bayinya, membawa wadah bekas botol aqua gelas, berharap lembaran rupiah memenuhi isinya.Â
Tidak bisa dipungkiri terkadang anak seperti magnet yang bisa menarik rasa iba dan kasiahan masyarakat. Terkadang masyarakat lebih tertarik memberikan uang kepada pengemis anak ketimbang pengemis usia pekerja.Â
Bahkan masyarakat tak enggan-enggan mebeli jualan dari penjual asongan anak walaupun dia tidak membutuhkan barang yang dia beli dengan kata lain dia membeli hanya karena "kasihan".
Celah inilah yang terkadang dimanfaatkan sebagaian orang tua. Banyak orang tua yang tergiur uang dan rela memanfaatkan anak bahkan menjadikan anak pahlawan bagi keluarganya. Halini tidak sepenuhnya salah karena anak memang berkewajiban berbakti kepada orang tua. Namun menurut saya hal ini tidak tepat karena notabennya anak dibawah umur 18 tahun tidak siap dijadikan pekerjaan tidak pantas di jadikan tulang punggung keluarga.Â
Orang tua berkewajiban memenuhi hak-hak anak, bukan malah menjadikan anak sebagai magnet penarik uang. Uang memang candu tapi uang tidak menjadikan orang tua berbagi beban kehidupan kepada anak dibawah umur.Â
Mereka terlalu polos untuk turut serta kedalam rimba kehidupan. Dunia mereka seyogyanya indah seperti pelangi yang di isi dengan bermain dan belajar. Â
Anak merupakan generasi pennerus bangsa yang harus dilindungi hak-haknya, anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik dan mental. Selama ini kita di sungguhi tentang legenda anak durhaka, anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya di kutuk menjadi batu.Â
Namun saya tidak pernah menemui cerita legenda orang tua durhaka, padahal di kenyataannya banyak oran tua yang bertindak kejam kepada anaknya. Â
Orang tua yang menjadikan anaknya sebagai pahlawan kecil keluarga ataupun tulang punggung keluarga apakah bisa dikategorikan sebagai orang tua durhaka?.Â
Menurut saya orang tua yang membebani anaknya dengan bekerja siang malam agar menghasilkan uang dan mengabaikan hak-hak anak  cocok menjadi orang tua durhaka. Bahkan banyak kasus orang tua yang tega memukuli anaknya bila pulang tidak membawa uang,  sungguh miris sekali.Â
Semoga dengan tulisan ini membuka mata kita untuk menjadi orang tua bijak yang tidak menyakiti anak, tidak menjadikan anak pahlawan kecil kehidupan, semoga Allah membuka pintu rezeki kita dari segala penjuru dan memberikan umur berkah dan bermanfaat. Â
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H