3. Komunitas Lubang Jarum Jogjakarta
Kompasianer pecinta fotografi seharusnya mengenal komunitas satu ini. Dinamakan lubang jarum karena teknik pengambilan gambarnya masih mengikuti cara pengambilan foto zaman baheula ketika lensa diafragma masih belum ditemukan.
Jadi, pengguna boleh memakai medium apa pun, seperti tabung, kotak kayu, kotak kardus, asalkan tertutup rapat, dan menyisakan satu lubang kecil saja. Medium tersebut dilapisi kertas film (kalau yang ditampilkan di boothmerk Merit, katanya mahal sekali karena barang impor) dan melapisinya harus di kamar gelap agar kertas tidak ‘terbakar’. Kompasianer yang hidup di zaman akhir tahun 1980 atau awal tahun 1990-an mungkin mengenal istilah ‘rol filmnya terbakar’ alias tidak bisa dipakai lagi jika wadah penyimpan rol film di dalam kamera terkuak dan terkena cahaya matahari.
Setelah medium siap, maka lubang kecil itu yang akan menjadi ‘lensa’-nya untuk mengambil gambar. Foto-foto yang dihasilkan jadinya berkesan klasik dan retro, seperti foto zaman dulu.
Komunitas ini tidak hanya ada di Jogja, sih, tapi di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta dan Bandung, bahkan di pulau-pulau lainnya juga ada. Tapi namanya disesuaikan dengan kotanya, seperti Komunitas Lubang Jarum (KLJ) Jakarta, KLJ Bandung, dan seterusnya.
Kalau untuk kawasan Jogja, akun Instagram KLJ Jogja bisa diikuti di @kljjogja.
4. Komunitas Roemah Toea
Saya menghampiri booth ini karena selain suka dengan sejarah, para penjaga booth-nya juga mengenakan kostum jadoel alias jaman dulu. Sang ketuanya sendiri, Mas Hari Koerniawan, memakai baju kemeja safari putih dan topi bundar putih layaknya petinggi kumpeni Belanda di zaman dulu.
Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan Komunitas Roemah Toea adalah menelusuri jalur bekas rel kereta api masa colonial yang terdapat di kota-kota sekitar Jogja. Komunitas yang beranggotakan dua puluh orang ini berdiri sejak tanggal 7 Januari 2014. Anggotanya sendiri berasal dari berbagai latar belakang profesi, namun sebagian besar adalah dosen dan mahasiswa arkeologi.