Indonesia Community Day (atau ICD) sudah dua minggu berlalu. Tetapi ada yang tersisa dalam ingatan ketika mampir ke beberapa booth komunitas yang ikut berpartisipasi di acara. Ada empat komunitas yang langsung menarik perhatian saya, dan semuanya berasal dari Jogja. Selain karena booth-nya yang unik, misalkan boneka nenek sihir yang terpampang di pilar salah satu booth, benda-benda yang ditampilkan juga antik.
Untuk lebih jelasnya, ini dia komunitas asal Jogja yang ikut membuka booth di ICD :
1. Paguyuban Film Maker Jogja
Paguyuban atau kelompok yang terdiri dari para pembuat film asal Jogja ini berdiri sejak 11 Desember 2013, dan salah satu anggotanya yang dikenal oleh masyarakat awam adalah Wregas Bhanuteja yang mendapatkan penghargaan di Festival Film Cannes untuk film pendek Prenjak. Tapi sayangnya saat acara ICD kemarin Wregas nggak ikut. Meskipun begitu, sang ketua paguyuban, Bambang Kuntara Murti alias Mas Ipoenk dengan rambut polem (poni lempar)-nya menyambut pengunjung dan menjelaskan tentang aktivitas paguyuban melalui foto-foto berpigura yang terpampang di sisi tengah booth.
Yang mencolok dari booth ini adalah boneka nenek sihir yang menggantung di salah satu pilarnya, cukup mengagetkan pengunjung termasuk saya. Properti lainnya yang ditampilkan ada lampu sorot untuk syuting, clapper loader, layar televisi dan boneka manekin.
Instagram komunitas ini bisa dicek di: @paguyubanfilmmakerjogja
2. Yogyakarta Low Rider Indonesia (YLRI)
Saya tertarik mendatangi booth ini karena penampakan sepeda dengan tampilan yang agak berbeda daripada sepeda biasa. Sepintas mirip sepeda onthel, namun dudukannya lebih pendek sehingga disebut low rider. Selain itu pendeknya menyerupai sepeda untuk anak-anak, namun setang dan rodanya besar dengan ukuran sebesar setang dan roda sepeda dewasa. Saya sendiri kesulitan untuk mengendarai salah satu sepeda karena jarak antara sadel dengan setang panjang sekali, meskipun lengan saya ini sudah panjang tapi tetap saja kewalahan untuk mencapainya.
Ternyata sepeda jenis low ride memang bisa di-customized sesuai permintaan pemiliknya. Jika ditilik dari sejarahnya, sepeda low ride dulunya dipakai oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Di Jogja, para penggemarlow riderberkumpul di sekitar benteng Vredeburg setiap hari Sabtu malam sekalian untuk bermalam mingguan.Â
Kompasianer di Jogja tertarik untuk bergabung? Ikuti saja akun instagramnya di @ylri_yogyakarta
3. Komunitas Lubang Jarum Jogjakarta
Kompasianer pecinta fotografi seharusnya mengenal komunitas satu ini. Dinamakan lubang jarum karena teknik pengambilan gambarnya masih mengikuti cara pengambilan foto zaman baheula ketika lensa diafragma masih belum ditemukan.
Jadi, pengguna boleh memakai medium apa pun, seperti tabung, kotak kayu, kotak kardus, asalkan tertutup rapat, dan menyisakan satu lubang kecil saja. Medium tersebut dilapisi kertas film (kalau yang ditampilkan di boothmerk Merit, katanya mahal sekali karena barang impor) dan melapisinya harus di kamar gelap agar kertas tidak ‘terbakar’. Kompasianer yang hidup di zaman akhir tahun 1980 atau awal tahun 1990-an mungkin mengenal istilah ‘rol filmnya terbakar’ alias tidak bisa dipakai lagi jika wadah penyimpan rol film di dalam kamera terkuak dan terkena cahaya matahari.
Setelah medium siap, maka lubang kecil itu yang akan menjadi ‘lensa’-nya untuk mengambil gambar. Foto-foto yang dihasilkan jadinya berkesan klasik dan retro, seperti foto zaman dulu.
Komunitas ini tidak hanya ada di Jogja, sih, tapi di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta dan Bandung, bahkan di pulau-pulau lainnya juga ada. Tapi namanya disesuaikan dengan kotanya, seperti Komunitas Lubang Jarum (KLJ) Jakarta, KLJ Bandung, dan seterusnya.
Kalau untuk kawasan Jogja, akun Instagram KLJ Jogja bisa diikuti di @kljjogja.
4. Komunitas Roemah Toea
Saya menghampiri booth ini karena selain suka dengan sejarah, para penjaga booth-nya juga mengenakan kostum jadoel alias jaman dulu. Sang ketuanya sendiri, Mas Hari Koerniawan, memakai baju kemeja safari putih dan topi bundar putih layaknya petinggi kumpeni Belanda di zaman dulu.
Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan Komunitas Roemah Toea adalah menelusuri jalur bekas rel kereta api masa colonial yang terdapat di kota-kota sekitar Jogja. Komunitas yang beranggotakan dua puluh orang ini berdiri sejak tanggal 7 Januari 2014. Anggotanya sendiri berasal dari berbagai latar belakang profesi, namun sebagian besar adalah dosen dan mahasiswa arkeologi.
Akun Instagram Komunitas Roemah Toea dapat teman-teman ikuti di @roemahtoea.
Anak-anak muda Jogja nih memang kreatif dan giat sekali dalam membangun dan mengembangkan komunitasnya. Semoga ICD tahun depan dapat menghadirkan komunitas-komunitas dari kota lainnya yang memperkaya keberadaan komunitas di Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H