Padahal yang dimaksud sekularisme ala Prancis adalah pembatasan praktik keagamaan hanya dalam lingkup individu atau ruang pribadi saja, bukan untuk dicampuri dengan urusan pemerintahan. Artinya, penduduk muslim di Prancis tetap boleh menjalankan ibadah seperti sholat, mengaji, di mana pun mereka berada asalkan bukan di ruang publik. Pemerintah juga tidak akan campur tangan dalam masalah-masalah keagamaan, seperti urusan perkawinan, hukum, kematian atau penguburan warga, juga tidak boleh mencampurkan urusan politik ke dalam ranah agama, tidak seperti di Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa Prancis pun mempunyai banyak masjid, dan masjid di kota Paris, La Grande Mosquée de Paris, merupakan masjid terbesar di Prancis dan pernah menjadi tempat berlindung warga Yahudi Eropa selama masa pendudukan Nazi. Ada pun terkait larangan penggunaan jilbab hanya berlaku di sekolah-sekolah negeri dan institusi pemerintahan yang berada di Prancis saja. Banyak dari teman saya yang mengenakan jilbab tetap bisa berkuliah di kampus-kampus di Prancis, juga banyak kolega saya yang berjilbab tetap bisa bekerja dengan tenang di lingkungan kedutaan besarnya di Jakarta.
Ini berbeda dengan prinsip sekularisme a la Turki yang benar-benar membatasi ruang gerak warganya sendiri untuk beribadah, seperti khutbah Jum’at harus disortir terlebih dahulu, dan ditiadakannya sekolah-sekolah agama yang menyebabkan terputusnya rantai pendidikan agama dari orangtua ke anak-anaknya. Ini ironis karena Turki merupakan negara dengan warga asli mayoritas Muslim, dan pernah dikuasai oleh Kekaisaran Utsmaniyah sebagai salah satu kekaisaran Islam terbesar di dunia. Kebetulan saya juga pernah tinggal beberapa bulan di Turki jadi sempat mengamati sendiri bagaimana keseharian penduduknya dalam menjalankan ibadah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H