Di sela-sela mendengarkan live report mengenai titik kemacetan di Jakarta, sesekali channel radio dipindah ke siaran lagu-lagu yang dipandu oleh penyiar yang awalnya memang besar di radio seperti Farhan, Indy Barends atau Sarah Sechan. Para pendengar pun bisa berinteraksi dengan mereka seperti request lagu sambil kirim-kirim ucapan atau titip salam. Jadi, kalau dibilang ada kedekatan antara penyiar dan pendengar memang benar adanya.
Sosialisasi Waspada Bencana Melalui Sandiwara Radio
Berangkat dari manfaat ini, maka BNPB membuat program sandiwara radio yang mengusung materi edukasi bencana ke 20 stasiun radio yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan Banten. Mengangkat kisah cinta antara Raditya anak Tumenggung dengan gadis dari kalangan rakyat jelata Sekar Kinanti, dalam setting tanah Mataram tahun 1625 Masehi, sandiwara radio berdurasi 30 menit ini dibagi ke dalam 50 episode yang ditayangkan setiap jam 7 malam. Di acara Nangkring tersebut hadir juga para pengisi suara sandiwara radio yang sudah kawakan seperti Ivonne Rose, Nanang Kasila, Ajeng. Judul sandiwara radionya Asmara di Tengah Bencana, yang disutradarai oleh ADB Haryoko dan naskahnya ditulis S. Tidjab.
“Iya lah, Mbak. Kenapa?”
“Kalau sandiwara radio, dengerin juga nggak?”
Jeda sebentar.“Nggak pernah, Mbak. Kenapa?”
“Kalau yang masih suka dengerin sandiwara radio di daerah usia berapa ya?”
“Kalangan tua, Mbak. 50-an. Kakek sama nenekku.”
Dari contoh kecil ini tercermin bahwa pendengar sandiwara radio, bahkan di daerah, adalah generasi di atas saya (dengan kata lain, seangkatan dengan orangtua rata-rata generasi usia produktif masa sekarang). Meskipun hasil komunikasi ini tidak bisa menjadi patokan secara umum mengenai efektivitas sandiwara radio sebagai sarana edukasi, ya.