'Dari halaman ke layar' menjadi salah satu transisi peradaban yang dirasakan oleh dunia buku. Zaman semakin berkembang, terobosan inovasi untuk berbagai bidang juga semakin pintar dan gencar. Salah satunya buku, bermula dari sebuah 'gulungan/lembar papirus' perlahan beralih ke buku cetak setelah penemuan Gutenberh berupa mesin cetak, hingga kini buku berevolusi secara digital.
Meski demikian, apakah kepopuleran buku cetak mampu tergantikan?
Tentu saja tidak. Seperti yang diungkap oleh Kathi Inman, Associate Professor of Book Publishing & Digial Humanities (Portland State University) pada penelitiannya, bahwa buku cetak menjadi 'jeda' yang masih dibutuhkan seseorang karena kebiasaannya yang terlalu sering menatap dan bermain ponsel. Jadi, buku cetak menjadi alternatif terbaik untuk sekedar rehat sejenak dari sibuknya beraktivitas, dan bisingnya lalu-lalang di media sosial.
Fakta tersebut, juga diaminkan oleh masyarakat dan pencinta buku, "Menurut saya, lebih baik buku fisik, walaupun versi online sangat praktis. Buku fisik mampu menjauhkan kita sementara dari gadget yang mempunyai radiasi dan tentunya kurang menyehatkan. Apalagi, tidak bisa kita pungkiri dizaman sekarang ini, hampir sebagian besar orang tidak pernah lepas dari gadget," ujar Kan Dar.
Yang Fisik Lebih Menarik
Qanita Syafiqah, masyarakat yang turut berselancar di Quora juga lebih memilih buku cetak karena lebih menenangkan. Selain pengalaman unboxing buku cetak yang tidak bisa tergantikan, ia lebih betah membaca buku cetak karena tidak perlu memperbesar tulisan, seperti e-book yang menurutnya memiliki font terlalu kecil.
"Kalau saya, jujur lebih milih buku fisik daripada e-book. Sebab saya menyukai sensasi membuka plastik sampai mencium aroma buku fisik. Bagi saya, aroma buku fisik menenangkan," ungkapnya.
Memang, buku cetak selalu menjadi yang utama dalam memberikan pengalaman unik dari mulai fisik hingga proses membaca, yang tidak bisa ditemukan dan dirasakan pada versi digital.
"Sederhana saja sih, membaca lewat gadget itu ngga enak untuk mata, terus secara 'estetika' juga ngga menambah 'nilai plus'. Selain sulit fokus (karena gangguan notifikasi), ukuran gadget juga ngga 'sebesar' buku cetak, jadi membacanya agak kerepotan karena mesti memperbesar tulisan di bagian yang berbeda juga," ungkap Brian, salah satu pencinta buku melalui Quora.
Versi Cetak Masih Diminati dan Digandrungi
Masih menggeluti dunia perbukuan di era digital, sering mendengar segelintir orang yang mengatakan, bahwa "buku cetak sudah tidak diminati lagi", "buku cetak sepi pembeli, sudah ngga ada yang mau baca fisiknya".
Mendengar bualan seperti itu rasanya nyeri. Sempat berpikir dan jadi bertanya-tanya sendiri, "terus selama ini kami bisa jajan, hidup, dan berdiri segar bugar darimana asalnya kalau bukan dari hasil menjual buku cetak?".
Faktanya, pasar buku masih hidup, juga banyak kepala yang bergantung darinya. Baik offline ataupun online, ribuan buku masih terpajang, ribuan pengunjung masih berlalu-lalang, lalu bagaimana hasil penjualannya? "Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya".
Terlebih penjual buku bekas, turut melestarikan buku cetak sebagaimana dulu ia diterbitkan dan dirawat pemiliknya.
Melirik minat buku cetak, sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi, yakni buku-buku bekas dan buku-buku yang baru diterbitkan resmi oleh penerbit.
Setiap genre buku, tinggi-rendah peminatnya tentu berbeda-beda, baik dari sisi usia ataupun lapisan kelompok. Seperti contoh nyata, pada genre fiksi, yaitu komik. Di pasar buku bekas, komik cetak paling digandrungi sampai saat ini, hasil penjualan pada beberapa toko ada yang didominasi dari komik cetak saja. Sedangkan, dari sisi penerbit, Business Development KPG, Esthela Yeanette melalui laman IKAPI, mengungkap bahwa komik menjadi salah satu genre yang menurun (penjualannya).
Mengapa demikian? Sebab, dari sisi pasar buku bekas, memiliki koleksi komik yang berasal dari masa lampau, yang kini sudah tidak diterbitkan lagi ataupun yang masih diterbitkan namun sudah berganti nuansa (seperti cover dan pewarnaan isi komiknya), dan komik lampau inilah yang paling dicari-cari entah untuk sekedar nostalgia, melengkapi koleksi, ataupun baru ingin membacanya. Dideretan buku bekas, komik lampau jauh lebih diminati, ketimbang versi baru. Sedangkan, dari sisi penebit, masih dari sumber yang sama mengungkapkan, bahwa penjualan komik menurun disebabkan para pembaca yang beralih ke versi digital.
Walaupun berbeda antara pasar buku bekas dengan penerbit. Lagi-lagi, Esthela mengungkap, meski kepopuleran e-book meningkat, namun posisinya belum mampu menyaingi buku cetak, "Walau penjualan (e-book) semakin membaik, tapi belum mengalahkan buku cetak." ungkapnya.
Begitu pula dengan jangka waktu, tinggi-rendah peminat buku cetak juga berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan tertentu. Seperti contoh nyata, genre nonfiksi, salah satunya yaitu buku pelajaran, yang diminati dan dibutuhkan kurang lebihnya hanya setiap 6 bulan sekali, misal ketika pergantian semester ataupun kenaikan kelas. Biasanya ramai pembeli dari buku pelajaran ketika memasuki bulan Juni atau September, dan jika sudah lebih atau kurang dari waktu tersebut maka buku cetak pelajaran akan sepi peminatnya.
Bagaimana dengan genre lainnya? Apakah buku cetak juga tergolong masih diminati?
Jawabannya: Masih! Seperti kata-kata yang sering terdengar 'Selama penulis masih terus berkarya, selama itu pula penerbit akan terus mendistribusikannya'.
Buku cetak hingga kini tidak kehilangan penggemar, meski sebagian sudah beralih ke digital. Banyak kelebihan buku cetak yang tidak bisa dimiliki dan diberikan oleh buku digital, sehingga membuat sebagian besar pencinta buku tetap bertahan dan beberapa lembaga pun terus membutuhkannya.
Seperti contoh, pada lingkungan pendidikan, baik sekolah ataupun universitas, meski sebagian sudah berjalan menggunakan e-book (seperti bagian perpustakaannya). Namun, besar penggunanya masih membutuhkan dan lebih nyaman dengan buku cetak, seperti khususnya buku-buku pelajaran dan pengetahuan (yang sifatnya) tergolong rumit dan butuh untuk mencorat-coret secara langsung, seperti matematika, fisika, hingga latihan-latihan soal.
Cetak Belum Mampu Tergantikan
Mewarta dari IKAPI, berdasarkan laporan dari Kemenparekraf, pada tahun 2020 industri penerbitan telah berkontribusi sebesar 69,07 triliun rupiah atau 7% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Diperkirakan ada sekitar 572.260 jiwa yang sudah bekerja disubsektor penerbitan, terhitung pada tahun 2021.
Namun, ironisnya disini, betapa pentingnya 'sumbangsih' industri perbukuan terhadap 'peningkatan kualitas manusia' dan 'perekonomian' tidak setara lurus dengan 'perhatian' padanya.
Masih dari sumber yang sama, Lucya Andam Dewi yang merupakan CEO PT Bumi Aksara Group menyatakan, bahwa perindustrian buku saat ini belum juga mendapatkan perhatian dari berbagai (banyak) pihak. Tiras buku cetak, saat ini belum setara seperti dahulu (masa-masa sebelum covid). Meski demikian, ternyata sama halnya dengan penjualan buku digital atau e-book yang juga tidak meningkat secara signifikan.
"Kalo ada sebuah tren 'berpindah' dari cetak ke digital (e-book), semestinya penjualan digital (e-book) juga tinggi. Tapi, kenyataannya penjualan digital (e-book) 'masih' rendah juga, belum mampu mengimbangi versi cetak." ujar Lucya melalui laman IKAPI.
Baik cetak ataupun digital, mengapa penjualan tetap menurun?
Lucya memiliki pendapat, bahwa fenomena ini terjadi lantaran minat baca buku yang tidak setinggi masa dahulu. Bisa kita tengok masa saat ini, yang sebelumnya sudah dimanjakan dengan mesin pencarian seperti google, di mana orang-orang cukup mengetikan kata kunci sudah bisa langsung membaca ragam materi yang bahkan secara singkat saja. Kini, lahir lagi teknologi baru bernama AI, yang tanpa perlu repot-repot meringkas materi, jawaban yang diberikan biasanya sudah sangat rinci, meskipun bahasanya tidak dalam dan tidak selihai kata-kata yang dihasilkan dari buah pikir manusia.
Hal tersebut tentu menjadi salah satu pemicu tiras buku cetak baru menurun. Namun, akibat dari hadirnya teknologi dengan segala kemudahan yang diberikan, tentu juga berdampak pada tingkat 'pemahaman' seseorang yang menjadi 'tidak mendalam'. Bukan hanya itu, transisi buku cetak ke digital pun belum mampu 'membangun' pangsa pasar secara signifikan.
Apa akibatnya jika tiras buku menurun?
Tentunya jumlah buku-buku yang 'dicetak' ikut menurun. Imbasnya adalah harga buku baru menjadi jauh lebih mahal. Sebab, penerbit pun jika mau mencetak banyak, juga membutuhkan modal yang cukup tinggi.
Sisi 'mahal' inilah yang tanpa disadari sering dijadikan celah oleh pengedar buku bajakan, sebab ketika minat masyarakat terhadap buku tertentu meningkat pasti mencari yang murah, dan jikalau buku-buku yang diminati adalah terbitan baru, maka tentulah kecil kemungkinannya untuk bisa mendapatkan versi bekasnya, alhasil yang diburu adalah tak lain ke versi bajakan.
Dari fenomena ini pula, industri perbukuan membutuhkan dukungan, dimulai dari hal-hal kecil seperti kesadaran untuk tidak menormalisasi aktivitas pembajakan buku.
Kurang dan Butuh Dukungan!
Buku cetak belum mampu tergantikan, lantas apa yang menjadi hambatan?
Ketua IKAPI, Arys Hilman turut menuturkan, bahwa masyarakat tanah air sebenarnya 'gemar membaca'. Tetapi, sayang, sulitnya akses untuk mendapatkan bacaan hingga saat ini 'masih' menjadi penghambat. Sehingga, kebiasaan untuk membaca buku pun akhirnya tidak mampu terbangun.
Membaca hasil dari penelitian PISA pada tahun 2022 melalui Media Indonesia, skor pencapaian Indonesia pada kecakapan 'membaca' terhitung rendah alias learning loss, terlebih jika dibandingkan dengan tahun 2018. Tes yang dilakukan OECD ini memperlihatkan, bahwa skor 'membaca' masyarakat Indonesia berada 'di bawah rata-rata' dari negara-negara lain.
IKAPI melalui lamannya turut menyuarakan, bahwa pada kondisi seperti ini, penerbit tetap harus menyiasatkan tiras buku yang terus menurun. Tetapi, proses percetakan buku mesti terus berlanjut.
Seperti yang kita ketahui, pada beberapa waktu terakhir ini, dunia perbukuan kembali mendapat sorotan hangat terkait penerbit, toko buku besar dan legenda hingga beberapa toko lainnya yang memutuskan untuk gulung tikar, seakan memberi tanda 'mulai' rentannya perindustrian penerbit. Bukan tanpa sebab, melainkan juga kurangnya 'dukungan' berbagai pihak, mulai dari masyarakat ataupun pemerintah, yang pada akhirnya mengguncang 'pertahanan' mereka.
Arys kembali mengungkapkan, "Penerbit dan toko buku yang gulung tikar, menandakan akan 'butuhnya' sebuah dukungan. Daya beli pada masyarakat Indonesia tergolong tinggi, tetapi jangan fokus terpukau pada pembangunan 'fisik' saja, melainkan 'aspek manusia' perlu dibangun juga." ujarnya.
Apa solusinya?
Banyak usulan yang sebenarnya bisa diterapkan, salah satunya dalam proses belajar siswa, yakni seperti 'Membaca Bersama' selayaknya sebuah program yang mengajak siswa untuk membaca 15-20 menit sebelum aktivitas belajar dimulai. Namun, tidak perlu dibatasi terkait genre buku yang dipilih siswa, entah itu majalah, buku cerita, buku populer, ataupun koran, yang kemudian dilakukan/diterapkan tanpa adanya 'tuntutan' penilaian. Memang terlihat hanya hal kecil saja, tetapi langkah ini bisa menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap dunia bacaan. Jika, dari langkah kecil saja bisa membuat dunia buku bergairah, maka penerbit pun tentu akan terus 'terpacu' untuk menyuburkan 'kualitas' terbitannya.
Buku dan perbukuan, menjadi sebuah pintu masuknya investasi dalam jangka yang panjang, terutama untuk sebuah kemajuan negara. Seperti pepatah bilang 'Apapun yang sudah kita tabur, tentu itu pula yang akan kita tuai'. Dalam fenomena ini, dunia perbukuan tidak bisa berdiri sendirian, perlu dukungan dan bantuan semua pihak untuk ikut bergerak, bersama, membangun ekosistem 'membaca' di tanah air agar kembali lagi bergairah.
Penulis: Dina Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H