Dari fenomena ini pula, industri perbukuan membutuhkan dukungan, dimulai dari hal-hal kecil seperti kesadaran untuk tidak menormalisasi aktivitas pembajakan buku.
Kurang dan Butuh Dukungan!
Buku cetak belum mampu tergantikan, lantas apa yang menjadi hambatan?
Ketua IKAPI, Arys Hilman turut menuturkan, bahwa masyarakat tanah air sebenarnya 'gemar membaca'. Tetapi, sayang, sulitnya akses untuk mendapatkan bacaan hingga saat ini 'masih' menjadi penghambat. Sehingga, kebiasaan untuk membaca buku pun akhirnya tidak mampu terbangun.
Membaca hasil dari penelitian PISA pada tahun 2022 melalui Media Indonesia, skor pencapaian Indonesia pada kecakapan 'membaca' terhitung rendah alias learning loss, terlebih jika dibandingkan dengan tahun 2018. Tes yang dilakukan OECD ini memperlihatkan, bahwa skor 'membaca' masyarakat Indonesia berada 'di bawah rata-rata' dari negara-negara lain.
IKAPI melalui lamannya turut menyuarakan, bahwa pada kondisi seperti ini, penerbit tetap harus menyiasatkan tiras buku yang terus menurun. Tetapi, proses percetakan buku mesti terus berlanjut.
Seperti yang kita ketahui, pada beberapa waktu terakhir ini, dunia perbukuan kembali mendapat sorotan hangat terkait penerbit, toko buku besar dan legenda hingga beberapa toko lainnya yang memutuskan untuk gulung tikar, seakan memberi tanda 'mulai' rentannya perindustrian penerbit. Bukan tanpa sebab, melainkan juga kurangnya 'dukungan' berbagai pihak, mulai dari masyarakat ataupun pemerintah, yang pada akhirnya mengguncang 'pertahanan' mereka.
Arys kembali mengungkapkan, "Penerbit dan toko buku yang gulung tikar, menandakan akan 'butuhnya' sebuah dukungan. Daya beli pada masyarakat Indonesia tergolong tinggi, tetapi jangan fokus terpukau pada pembangunan 'fisik' saja, melainkan 'aspek manusia' perlu dibangun juga." ujarnya.
Apa solusinya?
Banyak usulan yang sebenarnya bisa diterapkan, salah satunya dalam proses belajar siswa, yakni seperti 'Membaca Bersama' selayaknya sebuah program yang mengajak siswa untuk membaca 15-20 menit sebelum aktivitas belajar dimulai. Namun, tidak perlu dibatasi terkait genre buku yang dipilih siswa, entah itu majalah, buku cerita, buku populer, ataupun koran, yang kemudian dilakukan/diterapkan tanpa adanya 'tuntutan' penilaian. Memang terlihat hanya hal kecil saja, tetapi langkah ini bisa menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap dunia bacaan. Jika, dari langkah kecil saja bisa membuat dunia buku bergairah, maka penerbit pun tentu akan terus 'terpacu' untuk menyuburkan 'kualitas' terbitannya.
Buku dan perbukuan, menjadi sebuah pintu masuknya investasi dalam jangka yang panjang, terutama untuk sebuah kemajuan negara. Seperti pepatah bilang 'Apapun yang sudah kita tabur, tentu itu pula yang akan kita tuai'. Dalam fenomena ini, dunia perbukuan tidak bisa berdiri sendirian, perlu dukungan dan bantuan semua pihak untuk ikut bergerak, bersama, membangun ekosistem 'membaca' di tanah air agar kembali lagi bergairah.
Penulis: Dina Amalia