Seperti contoh, pada lingkungan pendidikan, baik sekolah ataupun universitas, meski sebagian sudah berjalan menggunakan e-book (seperti bagian perpustakaannya). Namun, besar penggunanya masih membutuhkan dan lebih nyaman dengan buku cetak, seperti khususnya buku-buku pelajaran dan pengetahuan (yang sifatnya) tergolong rumit dan butuh untuk mencorat-coret secara langsung, seperti matematika, fisika, hingga latihan-latihan soal.
Cetak Belum Mampu Tergantikan
Mewarta dari IKAPI, berdasarkan laporan dari Kemenparekraf, pada tahun 2020 industri penerbitan telah berkontribusi sebesar 69,07 triliun rupiah atau 7% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Diperkirakan ada sekitar 572.260 jiwa yang sudah bekerja disubsektor penerbitan, terhitung pada tahun 2021.
Namun, ironisnya disini, betapa pentingnya 'sumbangsih' industri perbukuan terhadap 'peningkatan kualitas manusia' dan 'perekonomian' tidak setara lurus dengan 'perhatian' padanya.
Masih dari sumber yang sama, Lucya Andam Dewi yang merupakan CEO PT Bumi Aksara Group menyatakan, bahwa perindustrian buku saat ini belum juga mendapatkan perhatian dari berbagai (banyak) pihak. Tiras buku cetak, saat ini belum setara seperti dahulu (masa-masa sebelum covid). Meski demikian, ternyata sama halnya dengan penjualan buku digital atau e-book yang juga tidak meningkat secara signifikan.
"Kalo ada sebuah tren 'berpindah' dari cetak ke digital (e-book), semestinya penjualan digital (e-book) juga tinggi. Tapi, kenyataannya penjualan digital (e-book) 'masih' rendah juga, belum mampu mengimbangi versi cetak." ujar Lucya melalui laman IKAPI.
Baik cetak ataupun digital, mengapa penjualan tetap menurun?
Lucya memiliki pendapat, bahwa fenomena ini terjadi lantaran minat baca buku yang tidak setinggi masa dahulu. Bisa kita tengok masa saat ini, yang sebelumnya sudah dimanjakan dengan mesin pencarian seperti google, di mana orang-orang cukup mengetikan kata kunci sudah bisa langsung membaca ragam materi yang bahkan secara singkat saja. Kini, lahir lagi teknologi baru bernama AI, yang tanpa perlu repot-repot meringkas materi, jawaban yang diberikan biasanya sudah sangat rinci, meskipun bahasanya tidak dalam dan tidak selihai kata-kata yang dihasilkan dari buah pikir manusia.
Hal tersebut tentu menjadi salah satu pemicu tiras buku cetak baru menurun. Namun, akibat dari hadirnya teknologi dengan segala kemudahan yang diberikan, tentu juga berdampak pada tingkat 'pemahaman' seseorang yang menjadi 'tidak mendalam'. Bukan hanya itu, transisi buku cetak ke digital pun belum mampu 'membangun' pangsa pasar secara signifikan.
Apa akibatnya jika tiras buku menurun?
Tentunya jumlah buku-buku yang 'dicetak' ikut menurun. Imbasnya adalah harga buku baru menjadi jauh lebih mahal. Sebab, penerbit pun jika mau mencetak banyak, juga membutuhkan modal yang cukup tinggi.
Sisi 'mahal' inilah yang tanpa disadari sering dijadikan celah oleh pengedar buku bajakan, sebab ketika minat masyarakat terhadap buku tertentu meningkat pasti mencari yang murah, dan jikalau buku-buku yang diminati adalah terbitan baru, maka tentulah kecil kemungkinannya untuk bisa mendapatkan versi bekasnya, alhasil yang diburu adalah tak lain ke versi bajakan.