'Buku' apapun genrenya sangat dikenal sebagai media informasi yang 'tenang dan diam'. Bahkan, buku menjadi salah satu media informasi terbaik tanpa adanya kebisingan dari notifikasi dan iklan.
Selain isi di dalamnya sangat fokus pada topik yang dibawakan penulis, buku juga terbilang sebagai sumber informasi yang paling akurat karena adanya proses peninjauan, penggunaan data/sumber dan penerapan situasi sebagai penguat gagasan, hingga pengecekan turnitin sebelum diterbitkan. Maka, tak heran jika buku sangat digemari hingga menjadi media yang hingga saat ini masih dan akan terus dibutuhkan.
Meski melekat dengan 'keakuratan dan ketenangan', pernahkah kamu mendengar dan menikmati suara dari buku?
Komik, menjadi salah satu keluarga buku berjenis fiksi yang mempunyai tata bahasa unik, karena mengandung 'dunia suara'.
Unsur-unsur yang dikandung komik dari mulai gaya font, simbol-simbol, dan (onomatopoeia) alias untaian kata yang 'mengekspresikan' suara, tanpa disadari memperlihatkan bahwasannya membaca komik menghadirkan sebuah pengalaman antar 'lintas indra' kepada pembaca.
Unsur-unsur tersebut, menunjukkan bahwa komik memiliki potensi yang tidak terbatas dari wujud seni.
Bagi pencinta komik mungkin sudah akrab dengan hal ini, di mana saat baru membuka komik pasti mata kita akan langsung tertuju pada tulisan yang berada di dalam gelembung/bubble teks. Nah, disitulah dunia suara mulai dimainkan.
Namun, secara mendalam bubble teks tersebut bukan hanya sekedar 'kalimat biasa', melainkan juga didukung dengan onomatopoeia dan cara si komikus memainkannya.
Onomatopoeia dalam Komik
Pernahkah kamu mendengar kata onomatopoeia?
Sebuah kata yang dibentuk atau digabung untuk menirukan atau menggambarkan bunyi asli yang berasal dari makhluk hidup ataupun benda yang digerakkan, disebut sebagai onomatopoeia. Misalnya, seperti "Guk.. Guk.. Guk.." artinya suara dari hewan anjing yang menggonggong.
Dalam komik, onomatopoeia dibuat dan digunakan sebaik mungkin, bukan hanya sekedar bahasa kiasan biasa, tetapi menyelaraskan antara alur cerita, ilustrasi, hingga poin-poin pada percakapan tertentu. Onomatopoeia digunakan untuk membuat cerita jadi lebih hidup dan membawa emosi pembaca seakan-akan masuk ke dalam cerita.
Seperti "GLUB GLUB GLUB GLUB" yang muncul pada halaman komik Superman ketika tokoh sedang minum. "CREEEEK!!" bunyi yang dihasilkan/dikeluarkan dari tangan Superman saat meremas kaleng.
Ragam suara atau bunyi yang diungkapkan melalui onomatopoeia tentu tidak akan ada ujungnya, karena akan ada saja ide/tafsiran yang muncul saat komikus sedang menciptakan/menyusun cerita.
 Kata-kata yang menggambarkan atau menirukan suara juga terbagi menjadi beberapa unit, seperti ada (suara-suara yang memang sengaja dibuat-buat) misalnya "SSSSSSSS", yakni suara pancaran kekuatan yang keluar dari tangan Superhero Batman. Atau ada (suara natural yang dihasilkan dari benda jatuh) misalnya "BLUSSSH!", yakni suara benda jatuh ke dalam air, dan suara-suara lainnya.
Ketika komik dibuat, maka disitulah kebebasan berkreativitas ditawarkan dan disampaikan, sehingga bahasa yang digunakan bisa jauh lebih luas untuk memperoleh ragam kata 'berbasis suara'.
Namun, disisi lain, hadirnya onomatopoeia yang mungkin menjadi 'kata baru' untuk pembaca, agak menyulitkan untuk diterjemahkan/diserap. Itulah sebabnya komik memerlukan sisi visual yang mendukung, untuk mengenali maksud yang disampaikan oleh si komikus / pembuat komik. Seperti, saat kata-kata digambarkan, maka disitu pula visual/ilustrasi ditampilkan.
Ragam bunyi (onomatopoeia) yang ditampilkan pada komik, berkisaran dari dua sumber, yakni ucapan dan buatan. Suara 'ucapan', berasal dari kosakata yang memang masuk ke dalam aturan kebahasaan atau bahasa formal yang digunakan sehari-hari. Sedangkan, suara 'buatan', merupakan hasil buatan atau terjemahan dari si komikus, seperti benda tersenggol, bersin, angin, pukulan, dan suara buatan lainnya.
Apa jadinya jika komik tidak bersuara? Tetapi, apa jadinya juga jika komik hanya menggunakan ilustrasi?
Jika, komik tidak menggunakan suara atau onomatopoeia maka jalan cerita pun sepi dan hambar. Begitu pula jika komik hanya menggunakan ilustrasi tanpa suara atau onomatopoeia, pembaca tidak akan merasa masuk ke dalam cerita dan sontak akan merasa biasa saja.
Mewarta dari The Conversation, antara onomatopoeia dengan ilustrasi pada komik tidak bisa berdiri sendiri. Jika salah satunya berdiri sendiri, jalan cerita pun menjadi tidak berarti.
Pada dasarnya, onomatopoeia dan ilustrasi memang diposisikan sebagai pelengkap pada konteks yang tepat, karena onomatopoeia dapat menirukan atau menggambarkan bunyi asli hingga memunculkan suasana kegembiraan dan menghadirkan rasa keseruan berpetualang pada halaman-halaman komik.
Cara Komikus Memainkan Suara
Cara komikus memainkan suara dalam alur cerita dimulai dari penggunaan ukuran dan gaya font, hingga beragam efek dan bentuk bubble teks yang berbeda-beda.
Seperti misal, terdapat kata yang menirukan sebuah suara ledakan, maka disitu terdapat juga efek asap dan api di dalam bubble teks. Lainnya, seperti bahasa teriakan, maka bubble teks bisa diganti dengan ilustrasi mulut dan terdapat tanda seru seperti, "A-A-A!! A-A-AA!!".
Dalam pemilihan dan penggunaan font, biasanya komikus akan menyinkronkan/menyesuaikan gaya font dari mulai cetak miring, huruf tebal, penataan sebuah tanda baca, hingga penataan kata yang tidak beraturan atau transparan, untuk menekankan bentuk/motif yang berbeda-beda sesuai dari alur dan kata yang tertulis. Seperti, apakah komikus sedang menyampaikan suasana kegembiraan, atau sedang menggambarkan ketakutan, dan suasana/ungkapan lainnya.
Seperti, dalam komik Superman, di mana tokoh Superman terlihat sedang berkendara, tiba-tiba muncul Batman yang terbang bersama Robin, Superman pun akhirnya mengikuti dari belakang dan tetap mengendarai mobil. Pembuat komik disini, menerapkan ketebalan kata di beberapa bubble teks untuk menekankan panggilan, teriakan kejutan, dan gumaman.
Musik dinikmati Mata
Jika, umumnya musik dinikmati dengan indra pendengaran atau telinga. Maka dalam komik, musik bisa dinikmati dengan mata. Tak hanya onomatopoeia yang digunakan untuk menirukan sebuah suara makhluk hidup atau benda bergerak, melainkan komik juga turut menggambarkan sebuah melodi selayaknya alunan musik yang disetel pada audio. Dari mulai lirik, simbol not musik, ilustrasi, semua kerap hadir pada beberapa komik yang mampu dinikmati oleh mata.
Salah satu komik manga Barefoot Gen, merupakan karya Keiji Nakazawa yang mengeksplorasi beberapa pengalaman pribadinya di saat pengeboman (Hiroshima). Pada beberapa halaman, si tokoh utama bernyanyi.
Dalam menggambarkan nyanyiannya, penulis disini menerapkan simbol (not musik) di dalam bubble teks yang menunjukkan bagian tersebut merupakan sebuah lantunan musik.
Simbol musik yang diterapkan pada bubble teks dan kalimat komik, seakan membuat si pembaca menikmati sebuah alunan musik tanpa mendengarnya.
Masih selaras, Komik Si Juki juga memiliki unsur yang berisi antara kombinasi kata, ilustrasi, dan simbol untuk menunjukkan/menampilkan lagu (pengiring), "MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN...".
Dalam sudut terminologi film, irama pengiring atau alunan seperti ini biasa disapa dengan 'suara diegetic', yakni lagu atau suara yang bersumber dari lingkungan (yang berada di dalam alur cerita).
Kombinasi antara kalimat ucapan, onomatopoeia, ilustrasi, dan simbol musik dalam komik memperlihatkan betapa indahnya 'sensasi musik' dalam sebuah cerita, yang membuat alur semakin lebih hidup dan betul-betul mampu memenuhi seisi ruang.
Maka, tak heran ketika banyak orang yang amat menggemari dunia komik, selain ilustrasi, bubble, dan kalimat yang membuat cerita jadi hidup, alunan musik pun kerap mewarnai komik, yang ketika membacanya seakan suara-suara musik itu muncul di dalam kepala dan membuat mata ikut khidmat menikmatinya.
Penulis: Dina Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H